Walaupun terlahir sebagai anak yang biasa-biasa saja, saya senang sekali memikirkan apa yang akan terjadi dengan masa depan saya. Sepertinya bukan hanya saya yang seperti ini. Karena memang menyenangkan membayangkan yang indah-indah di masa yang akan datang.
Tahun lalu, saya berharap akan menjadi mahasiswa di tahun ini dan akhirnya benar terjadi. Sisanya saya tidak berharap apa-apa. Karena bagi saya tetap sehat, waras, dan memiliki uang sudah lebih dari cukup. Syukurnya ketiga hal tersebut saya miliki hingga akhir tahun. Karena memang benar, memiliki ketiga hal itu di kondisi yang mengkhawatirkan seperti saat ini sebuah kenikmatan.
Seperti yang saya bilang barusan, tetap sehat dan waras merupakan pencapaian pertama saya di tahun 2020. Saya masih sehat di tengah-tengah pandemi seperti ini dan masih waras walaupun jarang keluar rumah karena dihajar oleh pekerjaan dan tugas-tugas kuliah yang membuat saya bisa tidak bergerak dari kursi selama 3-4 jam.
Saya adalah anak yang overthinking ketika mengerjakan tugas dan tugas yang saya kerjakan tidak selesai saat itu juga. Saya ke kamar mandi kepikiran tugas, saya makan kepikiran tugas, bahkan kadang saya bangun tidur kepikiran tugas yang belum selesai bukannya kepikiran mau sarapan pakai apa atau mau ngopi apa pagi ini.
Hal itulah yang menyebabkan saya bersyukur tetap sehat pikiran meskipun jarang keluar rumah dengan kondisi harus berjibaku dengan tugas saya yang tidak pernah berhenti. Pandemi saat ini yang menyebabkan saya harus berhati-hati ketika memutuskan untuk keluar. Padahal cara terbaik memanjakan pikiran dengan keluar rumah, jalan-jalan, atau sekedar menghabiskan bensin dengan mengelilingi ringroad.
Dan ada pencapaian receh saya di tahun 2020 yang selalu saya banggakan yaitu saya bisa masak nasi goreng tanpa bumbu instan dan memasak berbagai olahan dari telur. Terkadang ketika nganggur atau sedang santai, saya kepikiran gimana nantinya saya kalau berumahtangga tapi tidak bisa masak. Sedikit berlebihan untuk anak seusia saya tapi memang begitu kenyataannya.
Dari dulu saya melihat ibu bisa masak pecel, rawon, soto, olahan daging, sop, dan masakan-masakan lainnya. Kadang saya berpikir, mulai sejak kapan ibu saya belajar memasak sampai bisa masak berbagai menu? Apa dulu saat seusia saja juga masih belajar memasak nasi goreng tanpa bumbu instan?
Sejak saya bisa memasak nasi goreng tanpa bumbu instan, saya selalu memasak menu itu saat tidak ada lauk. Dan tentu saja setelah masakan itu siap saji, saya memuji hasil nasi goreng yang saya buat walaupun terkadang rasanya berubah-ubah. Setidaknya besok kalau saya punya suami, saya bisa bangga di depannya karena bumbu nasi goreng tersebut hasil dari ulekan tangan saya sendiri.
Menu selanjutnya yang cukup berhasil saya buat adalah telur sambal kecap, telur dengan variasi potongan cabai, bola-bola mie, dan telur kuah bumbu mie. Receh sekali masakan saya yang terbuat dari telur ini. Walaupun begitu, saya bangga karena dengan satu bahan utama saya bisa membuat  berbagai varian masakan.
Kenapa saya bangga dengan masakan tersebut? Alasannya cukup menarik. Kalau suatu hari nanti saya dan suami hanya punya telur di rumah, saya masih bisa memasak makanan untuknya dengan varian yang banyak. Bukan hanya telur ceplok yang kadang saya kelebihan menuangkan minyak goreng. Jadi telur yang saya pecahkan di wajan seperti berenang dalam minyak dan tidak mengembang. Tapi jangan sampai hanya ada telur saja di rumah benar-benar terjadi.