Mohon tunggu...
Lathifah Edib
Lathifah Edib Mohon Tunggu... Penulis - Editor

Perempuan nokturnal, suka keluyuran di jalanan, dan berburu bebek goreng.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kampanye Stunting Dimulai dari Diri Sendiri dan Orang Terdekat

3 November 2022   20:05 Diperbarui: 3 November 2022   20:16 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa yang terjadi jika data dan realita tidak sesuai? Tentu saja tujuan tidak akan tercapai. Inilah masalah dalam penanganan kasus stunting di Indonesia. 

Misalnya, data menyebutkan angka kasus stunting di salah satu kecamatan menurun 10%. Namun, setelah diteliti, data tersebut tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. 

Kasus stunting hanya menurun sebanyak 5%. Memang selisih 5% terlihat sedikit, tapi angka ini sangat berpengaruh dalam proses menurunkan kasus stunting di Indonesia dari tingkat terbawah.

Hasto Wardoyo, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyampaikan, "WHO memberi standar ke negara yang baik penanganan kasus stunting, yaitu di bawah 20%. Sementara Indonesia masih jauh di atas 20%."

Overclaim penurunan kasus stunting ini perlu sekali dievaluasi. Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) begitu serius menyikapi permasalahan ini. Apa sih yang menyebabkan terjadinya overclaim? Banyak sekali sebabnya. 

Salah satunya karena ketidakpahaman masyarakat (khususnya orang tua) tentang bahaya stunting. Contohnya fenomena yang terjadi ketika ada bantuan dari pemerintah untuk anak dengan kasus stunting. 

Ada beberapa orang tua yang berupaya untuk mendapat bantuan itu, padahal anaknya tidak mengalami stunting. "Bilang stunting aja deh. Biar dapat bantuan," ucapnya. 

Nah, masalah ini berimbas sekali ke pendataan kasus stunting serta penanganan terhadap anak yang benar-benar mengalami stunting.

"Laporkan saja ke Kopmas kalau ada data dan fakta yang tidak sesuai," ucap Yuli Supriati, perwakilan dari Kopmas, saat acara webinar tentang stunting (18 Oktober 2022).

PR terbesar dalam kampanye menurunkan angka stunting di Indonesia adalah mengedukasi semua kalangan masyarakat, dari lingkup terkecil hingga terbesar.Lingkup terkecil dimulai dari diri sendiri dan keluarga. 

Berlanjut di tingkat sekolah, RT, RW, desa, dll. Kenapa dimulai dari diri sendiri? Kesadaran diri sendiri akan membuat kita peka akan kejadian di sekeliling. 

Ketika kita memiliki pengetahuan tentang nutrisi baik dan stunting, maka kita akan lebih memperhatikan kondisi di sekeliling. Bagaimana caranya? Cukup dengan memperhatikan orang-orang terdekatmu, baik keluarga, tetangga, maupun teman. Seperti obrolan di bawah ini:

A: "Mau nikah bulan depan, ya?"
B: "Iya."
A: "Sudah siap jadi orang tua?"
B: "Iya dong."
A: "Berarti sudah melek soal nutrisi dong."
B: "Hehehe.... Aku nggak suka makan sayur dan buah dari kecil."
A: "Nah, aku kemarin baru ikut webinar kesehatan anak. Aku baru tahu lho, bahwa calon ibu dari sebelum menikah perlu menjaga kesehatan. Kalau punya penyakit anemia, harus ekstra menjaga tubuh agar tetap fit. Menjaga nutrisi yang diperlukan oleh tubuh. Kenapa? Karena kesehatan ibu berpengaruh dengan kesehatan janin. Jadi, kesehatan janin nggak cuma dipikirkan saat hamil aja, tapi juga setelah hamil. Biar anak nggak stunting."
B: "Oh, begitu, ya. Aku pernah dengar tentang stunting, tapi belum paham. Nanti deh aku pelajari."

Obrolan selesai. Sesimpel itu mengedukasi orang-orang sekitar kita. Contohnya lagi nih. Misal kita melihat keponakan kita yang berusia 3 tahun asyik minum minuman manis, misalnya kental manis yang ditambah air, sirup, dll. 

Pelan-pelan beri tahu orang tuanya tentang bahaya makanan dan minuman manis bagi perkembangan kesehatan anak. Sampaikan dengan bahasa yang baik, tanpa menggurui.

Mengapa pemerintah begitu getol mengampanyekan bahaya stunting ini? Stunting bukanlah penyakit fisik saja, tapi penyakit yang mempengaruhi perkembangan otak anak. 

Kecerdasan otak tidak meningkat. Efek stunting pada anak berlangsung dalam waktu yang lama hingga dewasa. Saat dewasa, anak-anak dengan kondisi stunting akan mengalami permasalahan kesehatan, misalnya kerusakan ginjal, penyakit jantung, dll.

Masyarakat banyak yang keliru persepsi tentang manfaat sebuah makanan. Misalnya kental manis. Hingga sekarang, masih saja ada beberapa orang tua yang menganggap kental manis itu susu.

Anak-anak usia balita diasupi minuman kental manis, yang sebenarnya hanya minuman bergula. Kental manis tidak memiliki kandungan nutrisi selayaknya di susu formula maupun ASI.

Masalah stunting dan gizi buruk di Indonesia adalah permasalahan sangat serius. Sebuah PR besar untuk menurunkan angka kasus stunting di Indonesia. Angka stunting di Indonesia cukup tinggi, yaitu 24%. 

Sementara, standar dari WHO adalah di bawah 20%. Apakah akan berhasil upaya penurunan angka stunting di Indonesia? Lagi-lagi ini perlu upaya berbagai kalangan. 

Bukan sekadar program pemerintah. Masyarakat dari lini terbawah hingga teratas harus turun tangan. Yuk, mulai edukasi lingkungan terdekatmu tentang bahaya stunting. 

Bukan pula sekadar kampanye tanpa hasil. Semoga segala upaya edukasi maupun kampanye tentang stunting akan berhasil mengurangi angka kasus stunting di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun