Mohon tunggu...
Lathifa Drupadi
Lathifa Drupadi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar Indonesia yang menggeluti sastra sejak musim pandemi April 2020 dan kini menjadi kompasianer pemula

Writing is my life

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menuding dan Menggunjing dalam Era Cyber Bullying

4 September 2020   20:07 Diperbarui: 4 September 2020   20:40 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam era milenial ini, kita tentu sudah familiar dengan yang namanya media sosial. Hampir seluruh penduduk Indonesia adalah pengguna media sosial. Apalagi di musim pandemi, semua orang memiliki gawai dan potensi warga untuk mengakses media sosial meningkat. 

Dalam media sosial, ada yang namanya warganet. Dikutip dari Wikipedia bahasa Indonesia, Istilah warganet atau netizen adalah sebuah lakuran dari kata warga dan Internet yang artinya "warga internet". Kata tersebut menyebut seseorang yang aktif terlibat dalam komunitas maya atau internet pada umumnya.

Karakter dan watak warganet tidak selalu sama. Dan beberapa dari warganet, ada yang menjadi korban dari media sosial salah satunya cyber bullying. Berdasarkan Wikipedia, Cyberbullying atau pelecehan dunia maya adalah bentuk penindasan atau pelecehan dengan menggunakan sarana elektronik. 

Cyberbullying dan cyberharassment juga dikenal sebagai bullying online. Ini menjadi semakin umum, terutama di kalangan remaja, karena ranah digital telah berkembang dan teknologi telah maju. 

Dilansir dari nusantara.rmol.id, kasus bullying terus meningkat dalam 9 tahun terakhir. Situasi memperhatinkan seperti ini harus segera ditindaklanjuti agar korban tidak semakin bertambah. 

Di laman kpai.go.id terdapat satu paragraph yang menjelaskan apabila, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, mengatakan kejadian mengenai siswa yang jarinya harus diamputasi, hingga siswa yang ditendang sampai meninggal, menjadi gambaran ekstrem dan fatal dari intimidasi bullying fisik dan psikis yang dilakukan pelajar kepada teman-temannya pada Februari 2020.

Ibu Katmiati selaku salah satu guru Bimbingan dan Konseling SMPN 8 Kota Semarang, Jawa Tengah, beliau mengatakan apabila cyber bullying bisa terjadi kapan saja, karena hasrat untuk menyakiti korban bisa saja muncul secara tiba-tiba. Banyaknya jumlah pengguna medsos dan netizen yang tidak dapat dihitung membuat marakknya kasus cyber bullying. 

Ujaran kebencian atau komentar negatif, pesan yang mengancam korban, pemerasan atau pelecehan melalui medsos adalah bentuk dari cyber bullying. Bahkan tanpa kita sadari, bisa saja perilaku yang kita lakukan selama ini di media sosial  adalah tindakan yang merugikan seseorang. Motif pelaku untuk melakukan hal ini juga banyak. Bisa jadi adanya hal pribadi seperti masalah cinta/asmara yang umum dikalangan remaja. 

Menurut Ibu Katmiati, adanya suatu kelompok yang memang dibuat untuk melukai korban melalui internet dengan saling menghasut antar anggotanya juga termasuk salah satu pemicu. Canggihnya teknologi, banyak sekali kelompok atau komunitas yang dibuat oleh remaja. Bila tujuannya positif pasti tidak masalah. Namun apabila bersifat menuding dan menggunjing, perlu diperhatikan dan diwaspadai.

Korban yang menjadi sasaran pelaku biasanya akan marah, merasa tertekan, depresi sampai-sampai munculnya keinginan untuk bunuh diri karena sudah tidak kuat menanggung sakit hati akibat cyber bullying. "Luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun setelah peristiwa terjadi, kita mulai dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya kepada anak sehingga menjadi pelaku bullying," kata Jasra melalui ponsel, Sabtu (8/2/2020). 

Mengetahui perihal seperti ini, sangat jelas apabila kasus cyber bullying jangan hanya dibiarkan begitu saja. Perlu tindakan tegas dari pemerintah dalam menangani kasus cyber bullying yang bisa memengaruhi mental seseorang. Mencari ucapan yang tidak pantas di media sosial sangatlah mudah. Ketika seseorang yang merasa tidak setuju dengan apa yang ia temukan dalam media sosial, ia akan meninggalkan komentar pedas tanpa berpikir panjang tentang dampak fatal yang bisa saja terjadi pada seseorang yang ia komentari.

Beberapa tindakan yang diambil pemerintah yaitu, membuat undang-undang tentang perlindungan terhadap korban-korban cyber bullying, sanksi bagi pelaku, sosialisasi kepada masyarakat agar bijak dalam bermedia sosialisasi. Banyak komunitas di media sosial yang bertujuan untuk membela korban cyber bullying dan ikut berpartisipasi dalam menekan angka kasus cyber bullying di Indonesia. Namun sayang, masih saja ada kasus cyber bullying yang memprihatinkan. Sepatutnya ada aturan yang memperketat sehingga potensi terjadinya cyber bullying berkurang.

Ingin saya, tidak hanya pemerintah yang turut mengatasi cyber bullying. Namun peran keluarga sangatlah penting. Terkadang, anak-anak menjadikan media sosial sebagai pelarian karena masalah keluarga padahal media sosial belum tentu memberikan solusi yang lebih baik atau bahkan malah memperburuk keadaan. 

Dalam suatu keluarga, seharusnya terdapat hubungan yang baik. Jangan sampai anak merasa ditelantarkan dan tidak dipedulikan. Dan akhirnya mereka mengunggah masalah dan keadaan mereka di medsos, sementara tidak semua warganet memiliki pandangan dan pemikiran yang sama dengan anak tersebut kemudian memberikan ujaran-ujaran yang bisa membuat anak tersebut down.

Kemudian peran sekolah juga penting. Meskipun di situasi seperti ini sekolah harus online, guru BK yang tugas utamanya membimbing siswa agar tidak terjerumus dalam hal yang tidak diinginkan harus memberikan pengajaran yang tepat. Banyak orang yang mengaku mereka ahli dalam bermedia sosial, tetapi kenyataannya mereka tak mampu menggunakannya dengan bijak. 

Akhirnya semua tindakan mereka di medsos menjadi boomerang bagi mereka sendiri. Menyumbang kasus cyber bullying, membuat Indonesia terkenal akan kasus-kasus mengerikan yang seharusnya tidak terjadi. Indonesia adalah negara yang rentan terjadinya konflik melihat banyaknya perbedaan yang memerlukan toleransi dan pengertian khusus dari pihak yang berwajib tentang bermedsos. Toleransi tidak hanya di dunia nyata, namun juga di media sosial. Pendidikan tidak hanya di dunia nyata, namun juga di media sosial. 

Pada kenyataannya, kita menganggap dunia maya adalah dunia nyata dan dunia nyata adalah dunia maya. Beberapa dari kita mungkin tidak mengakui, namun mari kita lihat. Dalam sehari, berapa jam kita memegang gawai? Membuka media sosial, membiarkan berbagai informasi di dalamnya mengalir merasuki otak kita. Bermedsos boleh, namun kita harus bijak.

Semua yang pernah kita lakukan di media sosial, bisa dilihat oleh khalayak umum dan membekas di ingatan warganet lainnya. Itulah mengapa kita harus hati-hati dalam masalah dunia maya. Bagaimana cara bijak bermedia sosial? Berikut tips bijak bermedsos dalam era milenial ini:

1. Menyaring informasi sebelum memasukkannya ke dalam hati

Sebelum kita menuding dan menggunjing, kita harus menyelidiki apakah memang benar apabila warganet tersebut patut dikritik maupun dikomentari? Berdasarkan data apa kita menuding? Berpikir kritis harus digunakan. Jangan sampai kita asal-asalan menggunjing padahal korban sebenarnya tidak sesuai apa yang kita ekspektasikan. Di samping itu, kita juga tidak boleh dengan mudah memasukkan semua kata-kata yang muncul di layar ke dalam hati, memikirkannya berhari-hari, mengusik batin, merasa tertekan, hingga muncul niat jahat pada diri sendiri maupun orang lain.

2.  Menyelesaikan masalah dengan kepala dingin

Selain memberikan informasi, Ibu Katmiati juga berpesan agar kami selaku generasi muda ketika dihadapkan dengan suatu masalah jangan mudah terpancing. Selesaikan masalah dengan baik-baik. Jangan menggunakan media sosial sebagai media balas dendam dan ketika minta ditemui kita tak berani bertanggung jawab. Meski virtual, ajining dhiri ono ing lathi yang artinya, harga diri ada di mulut tetap berlaku. Apa yang kita ketik dan posting di media sosial, jangan sampai memicu perselisihan karena itu juga merugikan bagi kita. 

Jika kita dituduh melakukan kesalahan di media sosial, tenangkan pikiran dan jelaskan dengan baik. Karena bisa saja kita tidak tau oknum yang menuduh kita itu seperti apa, namanya saja dunia maya. Kepribadian dan isi hati seseorang saja tidak bisa dilihat melalui dunia nyata apalagi dunia nyata. Dan kita tak boleh diadu domba oleh suatu pihak, ikut terhasut dan menuduh seseorang, memberikan label 'korban cyber bullying'  kepada seseorang dan mencoreng nama ibu pertiwi.

3. Menggunakan media sosial untuk mencari hal baik yang tidak mengandung unsur-unsur pemicu cyber bullying

Media sosial seperti restoran yang menyajikan berbagai menu. Kita tinggal menunjuk mana yang akan kita pilih dan kita konsumsi. Informasi yang mengandung vitamin positif ada, yang mengandung racun juga ada. 

Remaja yang masih dalam fase mencari jati diri, pemikirannya masih labil, rentan terkontaminasi isu-isu hoax dan mudah tergiur dengan informasi yang terlihat menarik, menyantapnya mentah-mentah tanpa tau efek sampingnya. Hindari informasi yang memicu kita untuk berbuat tidak sesuai dengan hukum agama dan negara. Indonesia punya undang-undang sehingga jangan dianggap sepele apabila kita menggunakan media sosial seenaknya sendiri. 

Layaknya surga tanpa aturan, seperti pemilik restoran yang diperbolehkan memakan apa saja, bukan. kita adalah manusia yang terikat dengan aturan. Cyber bullying dan efek negatif media sosial lainnya harus dilawan. Isi hari-hari dengan hal yang positif sehingga tidak ada pemikiran untuk melakukan hal tidak baik. 

Berbagai konten yang ada di media sosial ada yang bisa kita terima ada yang harus kita tolak. Hati dan mental kita harus kuat. Jangan mudah dihasut. Mau Indonesia terkenal dengan generasinya yang berpikiran kusut padahal setiap hal punya usut?

Di era yang serba instan, terkadang kita malas untuk mengecek suatu kebenaran, menyelesaikan masalah dengan buru-buru, bertindak tanpa berpikir, hanya menuruti hawa nafsu. Kita ini generasi muda yang dituntut untuk berpikir secara nalar dan logika. Tidak bisa jika hanya mengandalkan satu sumber, sharing tanpa menyaring, ketika ditanya buktinya kita menjawab "katanya ini, katanya itu," tidak memiliki prinsip dan pendirian. 

Tadi adalah 3 tips bijak bermedia sosial menurut sudut pandang saya. Kita adalah generasi yang di pundak kita ada janji negeri yang tak kasat mata. Kita sudah berikrar untuk menepati dan tak boleh mengingkari. Inginkah kita melihat Indonesia hancur karena penduduknya adalah pelaku dan korban cyber bullying semua? Ingat, kita yang mengendalikan media sosial, bukan media sosial yang mengendalikan kita.

Sumber:
kpai.go.id
rmol.id
wikipedia.org/wiki/Cyberbullying
wikipedia.org/wiki/Warganet

Tulisan ini dibuat oleh Peserta Remaja Belajar Menulis Konten Musim 3 Bastra ID

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun