Malam gelap gulita…..
Seperti tak menaruh iba kasihan, angin yang kuat mengadu pohon mangga yang besar dan telah berpuluh-puluh tahun umurnya. Rumput-rumput di bawah pohon yang besar itu, basah lecap oleh hujan yang bagaikan air mata raksasa-raksasa belukar itu bercucuran ke bawah.
Sekali-sekali terang menyerbu bumi, seperti diserang oleh api, tetapi dengan sekejap mata juga hilanglah sekalian cahaya yang berani menyerbukan dirinya di tengah peperangan, pertemuan antara gemuruh keras yang menggema dengan kilatan bunga terang itu, kemudian dimusnahkan oleh musuh lamanya “sang raja gulita” dan bunyi guruh di langit sesudah kilat itu taklah bedanya dengan tempik-sorak kemenangan bala-tentara “Gulita”.
Angin sepertinya ingin turut menampakkan keberadaannya malam itu. Ketika semua telah menampakkan kekuatannya masing-masing, dirinya terus bertiup, membawa rasa dingin yang dapat membuat siapapun yang terkena terpaannya dapat menggigil hebat.
Di dalam kamar kos kecil itu, menyala sebuah pelita minyak tanah, yang sebentar-sebentar hampir-hampir padam dihembus oleh angin yang menyapa masuk dari sela-sela jendela yang tidak tertutup rapat. Hujan yang terus mengguyur, seakan-akan bersepakat dengan terangnya lampu malam itu, agar kegelapan bertahta pada malam yang dingin itu. Listrik yang semenjak 47 menit yang lalu padam, menyepakati perjanjiannya dengan sang hujan.
Di sana. Di sudut dekat pintu duduk seorang lelaki berusia remaja. Sendiri. Hanya sendiri. Dari temaramnya pelita, air mukanya yang keruh, pipinya yang kempis dan matanya yang cekung, seakan-akan berkisah tentang perjalanan hidupnya saat ini. Hidupnya yang telah di atur oleh Sang Khalik terkadang membuatnya bingung dengan kehidupan ini. Sempat dia protes dengan apa yang didapatkannya. Namun, agaknya dia telah mengerti, bahwa mengeluh dan tetap berpasrah adalah jalan terbaik untuk dirinya.
Ya… sebenarnya dia masuk pada kategori manusia, yang meskipun selalu mencari dan berikhtiar dengan sepenuh hatinya, tiada juga yang dia inginkan menghampiri dirinya. Banyak benar selisih hidupnya dengan manusia lain yang seolah-olah bahagia dengan kehidupan yang mereka miliki. Karena kehidupan itu yang memang mereka inginkan. Namun, dia menerima nasibnya dengan tulus dan ikhlas, dan tidak menaruh dengki dan khianat sebab dia tahu bahwa semuanya itu kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Bukankah sekalian perbuatan Allah itu penuh rahmat dan kemurahan dari-Nya?
Dalam temaramnya pelita yang tetap memberikan sedikit cahaya baginya, dia mulai berfikir. Membayangkan semua yang dia jalani saat ini. Menjadi seorang mahasiswa. Melingkup ke dalam sel buatan-Nya. Dia yang sama sekali tak paham dengan apa yang setiap hari otaknya dapatkan di tempat yang seharusnya dia memanen ilmu. Boleh dikata, raganya di situ, jiwanya di tempat lain. Entah mengapa Tuhan harus mempertemukan dia pada sekelumit kata-kata yang diapun tak tahu apa maknanya. Deras keringatnya mengalir, padahal dingin berhembus sangat kencang. Dalam kalutnya fikiran, dalam dinginnya angin, dalam deraian hujan yang mulai berubah menjadi titik-titik gerimis, dia bergumam.
“ Hmm… apa gunanya belajar integral parsial?”
Namanya Ridwan. Seorang yang kurang beruntung, karena keinginan yang tak pernah sampai. Dia telah dihadapkan pada sebuah keadaan yang tidak dia inginkan sama sekali. Namun, dia mencoba bersyukur dengan keadaannya sekarang. Meski, dengan berat dia menjalani keadaan yang telah diberlakukan padanya…
Di malam yang masih bernuansa dingin dan gelap itu, dia mencoba tetap tegar. Dia tak ingin nasib mempermainkan dirinya.
***
Hari panas terik ketika mobil pete-pete, sebuah mobil jenis angkutan umum yang selalu mengantarkan dia setiap hari dari tempat kost menuju kampunsya yang dia tumpangi melaju membelah aspal panas yang mengeluarkan bayangan fatamorgana yang sangat indah. Tujuannya tak lain adalah pergi menuntut ilmu di bangku kampus. Namun, terlalu formal jika dikatakan pergi menuntut ilmu. Karena, entah mengapa, sudah dua semester berjalan, namun ilmu yang dia dapatkan tak kunjung bertambah. Tetap begitu saja. Tetap dengan hal remeh temeh yang dahulu dia dapatkan.
Sekitar sejam perjalanannya, akhirnya dia menginjakkan kaki pada area yang hampir setiap hari ditemuinya. Kelas telah terisi pengajar yang dideskripsikan mencoba untuk membagi ilmu yang mereka miliki padakunya, namun dia tahu, dia pasti tak mampu. Otaknya terlalu sulit mencerna kata demi kata yang beliau ungkapkan pada dia. Fikirannya melayang bebas setiap kali sang pengajar berceloteh di depannya, mengungkapkan semuanya dengan sesuka hatinya, tanpa mau tahu apa dia tahu yang dia celotehkan atau tidak. Salah! Dia bukanya tidak tahu. Tapi, tidak mau tahu.
Sang pengajar terus berceloteh. Inilah salah satu wajah muram pendidikan. Tatkala mereka terus bergumam dengan ilmu-ilmu hebat mereka, namun mereka tak pernah tahu apa ilmu hebat mereka telah sampai kepada mereka atau tidak sama sekali. Entah, hanya mereka yang tahu.
Detik demi detik terus berlalu. Hari pun beranjak usai. Kembali lagi, hanya sebuah waktu yang terbuang sia-sia. Tanpa sepatah ilmu pun diperolehnya. Kepalanya makin pening. Sampai kapan ini akan berakhir???
***
Di sebelah barat matahari telah hampir terbenam. Awan berkumpul, kehitam-hitaman sebagai gua besar penuh rahasia. Disitulah raja siang akan beristirahat dikelilingi oleh para pengiringnya yang berpakaian kemerah-merahan seolah-olah bertahtakan ratna mutu manikam. Pintu gua itu gilang-gemilang , berkilau-kilauan, tak dapat dipandang nyata, seperti dibalut dengan emas perada.
Senja telah turun.
Dia mencoba merangkai hal-hal yang membuat hidupnya saat ini tak tenang. Mencoba menerka-nerka penyebabnya. Imajinya melayang mencari di sudut-sudut kamar kosnya yang catnya mulai melapuk termakan usia. Sekali lagi, dia hanya sendiri. Rangkaian imaji yang kosong tadi perlahan-lahan datang membawa semua kegundahan hatinya. Dia telah tahu. Mengerti akan semua teka-teki di hidupnya. Tentunya, karena hal itu.
Sebuah imajinasinya kini bermain-main. Mencoba mengkhayalkan kehidupan yang sangat dia inginkan. Khayalannya membawa dia bernostalgia dengan sebuah kebahagiaan abadi yang dia impikan. Betapa besarnya kekuatan khayalan, dapat membuat seorang manusia merasa dunia adalah miliknya. Namun, betapa ngerinya sebuah khayalan tatkala semua tersadar bahwa khayalan itu tetaplah hanya sebuah khayalan.
***
Dia tak tahu dan tak pernah tahu mengapa Tuhan inginkan dia bertemu dengan sekelumit simbol-simbol indah yang berjejeran di buku-buku milik para profesor-profesor dan matematikawan handal itu. Kumpulan simbol yang dinamakan oleh mereka “rumus-rumus” membuat otaknya harus bertarung mati-matian agar simbol aneh itu dapat terpecahkan.
Hari di saat penentuan kehidupannya sekitar enam bulan yang lalu masih teringat jelas. Saat itulah nasibnya dikehendaki berubah haluan oleh-Nya. Dia menerima sebuah pesan singkat dari tantenya.
“ Kamu lulus SNMPTN”.
Senangnya bukan kepalang mendengarnya. Sujud syukur pada-Nya segera dia lakukan. Sepertinya dunia ini begitu indah. Malam itu, langit seakan-akan turut bahagia. Bintang-bintang berkelap-kelip sangat indah. Dia tak tahu lagi bagaimana perasaannya saat itu. Ayahnya pun turut serta pada kegembiraannya. Telepon dari ayahnya menambah semangatnya untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, pertanyaan ayahnya seakan-akan sebagai awal kematiannya dari semua harapannya.
“Kamu lulus jurusan apa”?
“Tidak tahu juga. Aku belum lihat”. Hanya jawaban itu yang dapat dia berikan pada sosok yang jauh darinya itu. Ayahnyan merantau jauh untuk membiayai semua keinginannya untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat Universitas. Ayahnya kini menempuh kehidupan yang jauh dengan dirinya dan keluarganya. Mencari nafkah di negeri orang lain.
Dia kembali kepada pertanyaan ayahnya itu. Dia tak dapat menjawabnya. Karena memang dia belum mengetahuinya. Namun, entah mengapa saat dia memandang langit malam tiba-tiba berubah jingga. Bintang-bintang mulai menghilang, dan tak lama titik-titik gerimis mulai menyapan bumi. Fikirannya kini tiba-tiba resah. Ada harapan tersirat di balik kelulusan yang dia terima ini. Hatinya bergumam.
“ Ya Allah, mudah-mudahan aku tidak lulus di jurusan itu”.
Namun, tampaknya Tuhan sudah tahu fikiran Ridwan. Tuhan memberikan apa yang tak Ridwan inginkan. Dia berbahagia dengan kelulusan di jurusannya itu, namun hatinya sangat menolaknya. Dia tak mau. Betul-betul tidak mau.
Namun, Dia tak mau orangtuanya kecewa. Apalagi ayahnya. Beliau menginginkannya memilih itu. Tak mungkin dia kecewakan ayahnya hanya karena keegoisanku. Karena, beliau rela berpisah dari Ridwan, dari ibu, dan adik-adiknya. Mungkin, doa orangtuanya lebih diterima Allah daripada doanya.
***
“Waktu” adalah raksasa yang besar, yang tak kunjung berhenti berjalan. Sifatnya tak tentu, ada kalanya dia ganas, kejam, bersalah ataupun tidak, dia tak mau tak tahu. Tetapi, ada kalanya dia pengasih, pengiba, halus, dan lembut layaknya seorang ibu.
Begitulah waktu. Ridwan pun merasakan keangkuhannya. Dia kini terbawa pada hal yang sebenarnya tak dia kehendaki. Hal yang hatinya telah dengan tegas menolaknya. Namun, tak dapat dihentikan kekuatan raksasa besar ini. Dia mengikuti semua kemauannya.
Hari demi hari kulalui. Tak ada yang dapat dia tangkap dari semua yang telah dia terima dari celotehan pengajarnya. Dia tak tahu apa yang mereka berikan padanya. Semua mereka berikan tanpa meminta sarannya, apakah dia ingin menerimanya atau tidak? Apakah otaknya mau menampung itu atau justru menolaknya?
Hari ini, dia menemukan lagi kata aneh bersarang di otaknya. Integral Parsial. Entah apa itu dan buat apa itu diberikan untuknya. Tak pernah dia tahu makna dasar dari kata-kata itu. Simbol-simbol yang sungguh aneh itu terpampang jelas di depan matanya. Matanya sakit menyaksikan apa yang dituliskan pengajar di papan putih bersih itu. Mencoret-coret secara bebas. Semaunya dan sesuka hatinya.
“Bu, anda menulis apaan sich? Aku tidak ngerti. Bisa tidak Ibu hentikan coretan itu. Hapus semua yang anda tulis itu. Membuat kepalaku pusing saja”. Katanya pada pengajarnya dalam hati. Sungguh ini bukanlah dirinya yang sebenarnya. Sekali lagi dia katakan bahwa raganya duduk terpaku di sini, namun sebenarnya jiwanya bukan di sini. Jiwanya inginkan tempat yang lain. Dia ingin di tempat lain.
Sungguh, isi dunia ini semuanya adalah permainan-Nya, disepakragakannya sekehendak hati-Nya. Sebentar dihembuskannya ke udara dan seketika lagi dihempaskannya pula ke bumi. Begitu pula dengan Ridwan. Menjadi salah satu item permainan itu. Mengapa Allah memberikannya semua ini, padahal dia sama sekali tak menginginkannya? Sama sekali tak dia inginkan berada di sini. Bisakah dia bertahan dengan kehidupan yang seperti ini? Bertahan dengan semua yang membuat otaknya selama ini seakan-akan mengalami kebuntuan tingkat tinggi.
***
“ Aku harus bagaimana kawan? Haruskah aku mengulangi perjuanganku, dan menyia-nyiakan perjuanganku selama dua semester ini?” Tanya Ridwan pada sahabatnya itu.
“ Tergantung kamu. Ikuti kata hatimu”. Katanya terkesan singkat, namun mengandung banyak makna tersirat.
Jawaban Dias memberikan sebuah pilihan baru. Apakah dia harus bertahan dengan yang dia jalani saat ini, atau kembali mengulang perjuangan
Aku mulai ragu dengan keinginanku untuk mendaftar ulang tahun depan. Kuraguanku ini diperkuat oleh kedua orang tuaku yang sangat menginginkanku bertahan di sini. Meski, mereka tidak tahu bahwa aku tersiksa di sini. Sungguh pilihan yang teramat sulit.
Ayah. Ku sangat menghormati dirimu. Ibu. Aku sangat mencintaimu. Aku sangat menyayangi dirimu. Tapi, salahkah aku jika aku harus mengikuti kata hatiku? Aku benar-benar sangat bingung menghadapi semua ini.
Malam perlahan-lahan makin larut. Langit hitam sebagai dicat dengan tinta. Dari jauh sayup-sayup bunyi ombak memecah di pantai. Sang dewi malam yang belum sempurna bentuknya turut memeriahkan malam. Fikiran makin kalut saat ini. Di sana, di sebelah selatan langit mulai agak jingga pertanda di sana sedang mendung. Ataupun mungkin saja sudah turun hujan.
***
Kurasakan sesuatu yang aneh pada diriku akhir-akhir. Mengapa disaat dukungan orangtuaku telah aku genggam untuk mengikuti apa kemauanku, tapi disaat itu pula sesuatu terjadi padaku. Entah mengapa aku tak mau kehilangan teman-temanku saat ini. Aku tak mau mereka tidak ada di kehidupanku. Hatiku merasa bergejolak setiap mengingat dan membayangkan berpisah dari mereka semua. Aku terlanjur sayang pada sahabat-sahabatku. Aku telah mengganggap mereka adalah keluargaku. Aku tak rela kehilangan mereka. Sungguh.
Detik detik mendebarkan dalam hidupku kembali terjadi. Saat pengumuman SNMPTN untukku yang kedua kalinya. Namun, entah mengapa saat ini aku berdoa agar aku tidak lulus dan terus bertahan di sini. Entahlah, mengapa fikiranku menjadi rancu seperti ini.
Dan, akhirnya moment itupun tiba.
Dunia ini penuh keajaiban dan keheranan. Mengapa kehidupan kadang dituruti kemujuran, keuntungan, kesejahteraan, dan kemuliaan. Mengapa untuk beberapa hal yang tidak diinginkan justru itu yang diberikan kepada kami. Mungkin, itulah permainan kehidupan. Dan, memang beginilah jalan hidup yang diberikan Dia untukku. Waktu itulah rupanya aku telah sampai di mercu keberuntunganku.
***
Ah. Alangkah beruntungnya dia waktu itu. Di sisinya jantung hatinya, sahabatnya yang membantunya dalam segala hal dengan bersungguh-sungguh. Boleh dikatakan pada masa itu apa yang dipegangnya akan menjadi emas. Hidupnya kini tak seperti yang dulu lagi. Kini, kata hatinya telah merestui kehidupannya sekarang. Tampaknya, dia memang telah menyenangi kehidupan ini. Kehidupan bersahabat dengan sahabat-sahabatnya. Dan, kehidupan dimana dia harus terus menyaksikan simbol-simbol aneh bernama integral parsial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H