Mohon tunggu...
JONATHAN.WS
JONATHAN.WS Mohon Tunggu... Administrasi - LAKI-LAKI

PERUM PDK LAMBANGSARI BLOK.G NO.6 TAMBUN SELATAN BEKASI

Selanjutnya

Tutup

Politik

Netralitas Gubernur Lukas Enembe Sedang Diuji dalam Pilkada Yalimo 2020

14 September 2021   19:42 Diperbarui: 14 September 2021   19:50 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini saya temukan dalam sebuah Media Sosial dan mengingatkan saya tentang Kultur Indonesia yang begitu erat Hubungan Persaudaraan dan kekeluargaan serta pertemanan , bahkan masalah persoalan idologi atau Keyakinanpun kadang kala dengan kata Kerabat atau persaudaraan

tapi sebagai seorang Pemimpin ditengah tengah masyarakat majemu ini peristiwa itu ,sAYA  tidak mau melihat dari sisi PEMBENARAN namun dari Sisi KEBENARAN  Jika dikatakan dia seseorang yang namanya Pemimpin.

Saya teringat ketika  beberapa puluh tahun lalu ketika saya bertemu Salah seorang  sahabat saya,  dia salah satu tokoh di  adat  tanah papua pada waktu itu kami bertemu ditempat kediamannya di daerah Sabron yaitu Distrik Sentani Barat saya mengatakan begini pada dia " Kakak sangat sulit mempersatukan untuk mencapai  cita cita Kemerdekaan hidup , menuju kemerdekaan saja sangat sulit apalagi mencapai kemerdekaan oleh karena terlalu banyak orang yang mau jadi pemimpin dan yang dipimpin pada akhirnya hilang tertelan bumi , dia pun sambil tertawa tunduk  tertegun dengan muka murung sambil menatap kelangit-langit rumahnya yang sangat sederhana itu , rumah itu rumah berkat walaupun tidak seperti limpahnya harta kekayaan yang dihasilkan tanah papua.

Dan ketika saya membaca Tulisan Ibrahim Peyon , Ph.D  orang yang saya juga belum  kenal namun dilihat dari Gelar dan narasi tulisannya gambaran saya tentang  perkataan puluhan tahun yang lalu ternyata sirna  dan pupus sudah , tapi apakah harapan itu masih ada.......................????

Hanya waktu yang menjawabnya  dan semua  itu nantinya anak-anak Papau yang menentukan masa depan mereka semuanya berpulang dan terletak pada kepemimpinan dan moral dari  seorang pemimpin agar tanggung jawab terhadap dipimpinnya ada dalam diri dan keputusannya.

Ibrahim Peyon , Ph.D bukanlah  menagih janji tapi memberi pesan Moral untuk Rakyat Papua dan Khususnya pemimpin-pemimpin masyarakat  Papua di masa mendatang bahwa dengan lahirnya generasi per generasi yang terdidik seperti Saudara Ibrahim Peyon , Ph.D.

Dan oleh karena itu saya sajikan kelengkapnya  Tulisan beliau tersebut paling tidak curahan hatinya  dan menjadikan inspirasi moral buat anak-anak papua dan intelektual Papau dimasa mendatang.

 KISAH INIpun  DIMULAI ......!!!!!!!!

Tahun 2013-2014 saya diminta oleh ibu Yoliti Yulce Wenda Enembe ( Ibu Gubernur sekarang) untuk membantu mengatur strategi politik kemenangan calon Gubernur, tim kecil ini dikoordinir oleh Ibu Yulce  Enembe sendiri. Kami kerja tanpa imbalan apa pun hanya karena sebagai solidaritas sesama orang gunung. 

Menurut saya, Lukas Enembe terpilih, dia akan tampil sebagai orang Papua untuk memimpin tanah ini tanpa membedakan latar belakang apapun, dan menciptakan keadilan bagi semua orang. Hanya itu, harapan saya dan teman-teman yang terlibat dalam tim kecil kemenangan Lukmen itu. Sesudah Lukmen menang, saya tinggalkan Papua menuju Eropa untuk waktu yang lama.

Selama dua periode ini, saya mengikuti melalui media masa semua kebijakan yang dilakukan oleh Gubernur Enembe dan saya mengapresiasinya. Beberapa gebrakan telah dilakukan adalah sejarah baru dan monumental untuk provinsi ini selama 50 tahun terakhir, seperti pembangunan station, pembangunan rumah sakit, rumah Gubernur, dan rencana pembangunan kantor gubernur 10 lantai.

Selain itu, gubernur Enembe juga secara konsisten bersuara bila ada kebijakan Jakarta yang dinilai merugikan orang asli Papua. Karena kepolosannya untuk memihak rakyatnya, ia terkadang dimusuhi oleh Jakarta, seperti digambarkan dalam buku biografinya "Jatuh Bangun Lukas Enembe" ditulis Elpius Hugi. Atau mengikuti dari berbagai media masa dan media sosial.

Dibalik semua keberhasilan dan kesuksesan ini, ada tiga hal yang menjadi dasar utama menciptakan ketidak adilan dan sumber konflik perpecahan diantara orang asli Papua ;

PERTAMA , Distribusi of power. Pembagian kekuasaan dalam adminitrasi Gubernur Lukas Enembe dinilai tidak merata untuk semua orang Papua sesuai dengan janjinya. Pembagian kekuasaan lebih banyak tertumpuk atau didominasi pada satu suku atau beberapa suku asli Papua. Kondisi ini dinilai dapat menciptakan dikodomisasi antara sesama orang Papua. 

Dalam dua periode ini, tidak ada representasi dari suku-suku atau wilayah-wilayah yang telah memberikan suaranya dalam pemilu Lukemn jilid I dan jilid II. Misalnya, representasi Tapil Mamta, Representasi wilayah Selatan, dan representasi Dapil 5 Yalimo, Yahukimo dan Pegunungan Bintang.

KEDUA Distribusi Ekonomi dan Pembangunan. Bila kembali ke masa kampanye lalu gubernur telah memberikan berbagai janji dan harapan kepada masyarakat tentang proyek pembangunan dan kesejatraan. Misalnya, di Yalimo dan Yahukimo dalam kampanye mengatakan akan membangun sejumlah proyek pembangunan di wilayah itu. Karena itu, dalam kampanye di Degai-Yahukimo masyarakat di wilayah itu telah memberikan noken sebagai simbol untuk mengisi janji pembangunan itu dan noken itu harus dikembalikannya dengan mengisi berbagai janji pembangunan tersebut. Pertanyaannya adalah apakah telah mengembalikan noken itu??

KETIGA , Kasus Pilkada di Kabupaten Yalimo. Dalam pengamatan saya bahwa pilkada di Kabupaten Yalimo ini berbeda dari pilkada sebelumnya, atau pilkada di tempat lain. Karena kedua calon Bupati yang maju ini memiliki relasi kekerabatan dan darah dan seharusnya situasi politik tidak terjadi seperti sekarang ini. Setelah saya mengamati proses ini, ada empat aktor yang memanfaatkan momendum ini, dan empat aktor itu memiliki kepentingan masing-masing dalam Konflik pilkada di Yalimo, karena bukan konflik pilkada murni. Aktor konflik di Yalimo ini memiliki misi besar untuk menciptakan konflik horizontal di daerah itu.

Dalam kondisi seperti itu, Gubernur Enembe sebagai pemimpin di daerah ini seharusnya memposisikan diri netral untuk memadamkan konflik di daerah ini, karena gubernur adalah pemimpin daerah yang bertugas untuk menjaga dan melindungi seluruh rakyat yang dipimpinannya. Menjaga perdamaian dan keamanan masyarakat, dan menetralisir situasi.

Meskipun gubernur Enembe sendiri memiliki hubungan keluarga dengan kanditat  tertentu. Gubernur harus netral, karena kedua kanditat ini pernah terlibat dalam tim kemenangan Lukmen  Jilid.

 I dan  II dan dalam periode pertama, almarhum Er Dabi dan Lakius Peyon adalah Ketua dan Wakil tim kemenangan di Yalimo, dan periode kedua Lakius Peyon sebagai ketua tim sukses Lukmen di Kabupaten  Yalimo. Hasilnya jelas suara 90% dari Kab. Yalimo untuk Lukmen. Lepas dari itu, kedua kanditat adalah kadar-kader terbaik, dari Lukas  Enembe  dan Lukas Enember seharusnya  tampil sebagai kakak atau senior pemersatu diantara mereka.

Dalam posisi ini, Gubernur Lukas Enembe seharusnya tampil sebagai penengah, sebagai pendamai, sebagai pelindung masyarakat, sebagai pemadam konflik, dan bukan sebaliknya. Enembe tidak boleh memihak salah satu kanditat, tetapi dia harus memposisikan diri untuk mendamaikan situasi politik di daerah itu.

Dalam penyebaran misi Kekristenan misionaris Jerman di daerah Yalimo awal tahun 1960-an dibantu dan disebarkan oleh orang-orang dari Suku Lani, dari Bokondi, Tiom, Maki dan sekitarnya. Bapak Liwat Wenda, Ayah kandung dari Ibu Yulce Wenda Enembe adalah salah satu penginjil pertama di daerah ini, dan istrinya bapak Liwat Wenda, mama kandung dari ibu Yulce Enembe/menantu Gubernur dikuburkan di kampungnya Lakius Peyon. 

Kuburan mama masih ada di sana sampai hari ini sebagai Prasasti, Mereka telah membawa damai, mereka telah menjadi penengah bila ada konflik dalam masyarakat. Para penginjil Lani ini tidak memihak kepada salah satu pihak. 

Ketika ada konflik atau perang suku antara kampung, para penginjil asal suku Lani ini yang dikirim ke sana, dan mereka berhasi damaikan masyarakat disana. Pelayanan mereka dengan hati yang tulus , dan mereka pun diterima dengan baik. dan Buah dari karya mereka itu, daerah Yalimo dan Yahukimo masih sangat aman dan damai selama ini , beberapa konflik terakhir ini karena kehadiran Kabupaten baru. Gubernur Lukas Enembe harus mencontohi para penginjil asal suku Lani ini. 

Bertanya kepada mereka, bagaimana cara mereka (para penginjil) menjadi menengah, melakukan pendekatan, dan mendamaikan masyarakat di Yalimo. Bertanya kepada Ibu Yulce Wenda Enembe, atau bertanya langsung kepada bapak Liwat Wenda karena bapak Wenda masih hidup di kampung halamannya.

Tulisan singkat ini dibuat untuk ungkapan keprihatinan saya sebagai intelektual atas berbagai persoalan yang terjadi selama ini. Karena dampak dari salah kebijakan tersebut di atas muncul dikotomi antara gunung vs pantai dan Gunung vs Selatan yang kita lihat sekarang ini. 

Sejumlah tokoh politik dari pesisir pantai seperti Fredy Numberi, Yan Mandenas, Yoris Rawayei mengeluarkan pernyataan terkait itu (mungkin juga ada misi lain). Meskipun hal itu dipantau oleh banyak pihak, tetapi pernyataan mereka itu karena adanya  dasar ketidak adilan dan salah kebijakan gubernur saat ini. 

Tidak ada distribusi kekuasaan, distribusi ekonomi dan distribusi keadilan. Dan kasus kedua, yang sangat memprihatinkan pada saat pelantikan Ribka Haluk sebagai PJS Bupati Yalimo kemarin 26 Agustus 2021, pernyataan Enembe secara jelas memihak salah satu kanditat, dan ini dapat menciptakan potensi konflik horizontal terbuka di Yalimo, tanpa melihat proses, dan keputusan hukum tetap dan Putusan Mahkamah Konstitusi. 

Enembe sebagai pengedali hukum dan kekuasaan harus kembali kepada hukum yang mengantur negara ini, karena hukum adalah panglima tertinggi semua negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini menunjukkan Guberrnur secara sengaja dan sadar menciptakan dikodomisasi dan konflik horizontal dalam masyarakat Yalimo yang telah memberikan suara 90% kepada Lukmen pada pilgub jilid I dan jilid II.

Demikian tulisan singkat ini sebagai kegelisahan hati atas kondisi di tanah Papua saat ini. Kritik berarti bukan dimusuhi tetapi untuk memperbaiki keadaan.

Pertanyaan Kritis saya adalah jika seseorang  yang dianggap sebagai simbol pemersatu tidak berdiri di posisi netral, siapa yang menjadi simbol pemersatu orang Papua ?????

Semoga bisa jadi renungan kita anak-anak Papau.

Salam damai dan salam Sejahtera buat kita semua

(Ibrahim Peyon, Ph. D)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun