[caption caption="Sumber Gambar : grosirsepatu.usa.cc"][/caption]Bel panjang melengking dari sudut sekolah, pertanda jam pelajaran telah usai. Lembaran hari ini harus ditutup untuk dilanjutkan esok hari. Semua siswa bergegas merapikan setiap buku yang berantakan di atas meja. Sorak gembira keluar dari mulut mereka. Berharap sampai di rumah tepat waktu, agar dapat dengan segera menyantap makan siang. Pukul 14.10 WIB memang sudah terlalu sore bagi mereka untuk mendapatkan makan siang. Belum lagi ditambah dengan waktu untuk menunggu ojek, jemputan maupun harus berjalan kaki menuju rumah masing-masing. Hari yang melelahkan memang. Perjuangan yang tak boleh berakhir dengan sisa-sia.
Seperti biasa, pandanganku tak lepas dari seorang siswa yang selalu menyita perhatianku. Sejak masuk sekolah sebulan yang lalu, sosok itu memang tak luput dari pantauanku. Kuperhatikan tangan kecilnya dengan cepat memasukkan buku tulis yang buram ke dalam tas. Buku tak bersampul dengan cover yang mulai robek tiap sudutnya. Penuh coretan, tak layak lagi disebut  buku belajar. Bekas basah memberi gambar pulau pada cover. Tertera nama dengan tulisan yang tak jelas. Belum lagi coretan lainnya. Jika dibukapun, buku itu akan penuh dengan gambar robot, film kartun atau kepala orang.
Hafis memang sedikit berbeda dengan temannya. Sosok yang sering sibuk dengan dunianya sendiri. Tak peduli ocehan maupun ejekan teman. Ya, anak laki-laki ini memang sering jadi guyonan bagi kawan-kawannya. Penampilan sederhana, bahkan tak memperlihatkan penampilan anak seorang guru PNS. Apalagi jika telah siang seperti ini, dia akan terlihat lebih lusuh. Dia memang sering tak mandi saat berangkat sekolah. Itulah yang pernah ia akui kepadaku pada suatu kesempatan beberapa waktu lalu.
Siang ini kurasakan matahari lebih terik dari biasanya. Sinarnya tajam mengulik setiap langkahku. Tak kuasa aku menahan rasa panas, kulitku seakan terbakar oleh cahayanya yang menyilaukan. Tapi aku harus tetap melawan kejamnya mentari ini, tak boleh kalah sedikitpun.
Kupaksakan langkahku berjalan ke luar pekarangan sekolah, menunggu ojek agar cepat sampai rumah. Tak kuat jika harus kupaksakan berjalan. Siswa telah berlarian di sampingku, dengan tujuan yang sama. Yaitu mendapatkan energi kembali dengan sesuap nasi. Begitu  juga dengan anak laki-laki itu. Tubuh kecil dan pendek itu memakai baju seragam putih dongker. Baju putih yang tak lagi bisa dibilang putih. Karena telah kalah dengan warna kuning bekas kotoran, yang mungkin saja kena sisa makanan atau akibat bermain dan kena getah. Kucel. Baju itu tak lagi masuk ke dalam celana layaknya seorang siswa. Ujung baju bagian depan telah keluar dari pinggang celana, bagian samping tetap masuk, sedangkan bagian belakang sebagian masuk dan sebagian lagi keluar. Pinggang yang sangat kecil, tanpa ikat pinggang. Mungkin karena kait ikat pinggang tak lagi cukup. Hanya beberapa, itupun tak lagi utuh. Celana dan baju itu sepertinya juga tak pernah disetrika, karena bagian ujung celana dan baju terlihat menggulung serta punggungnya sangat kusut.
Hafis berlarian keluar dengan Halim, sambil tertawa dan bercengkrama. Yah, memang Halim yang mampu menerima Hafis apa adanya. Sambil menyandang tas berwarna hitam pudar yang telah robek, Hafis tetap tegap dengan langkahnya. Tak ada tanda-tanda bahwa ia akan berhenti di jalan ini untuk menunggu ojek. Ia sepertinya akan tetap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Seperti yang biasa ia lakukan di hari-hari sebelumnya.
Sebagai sulung dari lima bersaudara, Hafis harus membiasakan diri untuk mengasuh adik-adiknya saat pulang sekolah. Tak ada yang mesti ia keluhkan. Hanya perlu bersyukur. Ayahnya bekerja sebagai guru PNS di sebuah Madrasah Aliyah, sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Ayahnya memang melarang ibu bekerja meski juga bergelar sarjana. Gaji pas-pasan dengan anak yang melebihi kapasitas untuk ber KB, membuat ayahnya harus bersabar untuk membesarkan anak-anaknya.Â
Perjalanan selama 3 km harus ia tempuh agar dapat rehat dari penat. Rehat dari satu aktivitas artinya siap melakukan aktivitas selanjutnya. Memasuki rumah tak ada cerita baginya untuk bermain lagi keluar. Didikan orang tua yang sangat disiplin membuat Hafis tak memiliki waktu untuk berleha-leha di rumah. Belajar, mengaji dan mengasuh adik adalah agenda yang harus ia lakoni tiap hari sepulang dari sekolah.
Itulah yang ku tau tentang dia, dari guru yang juga berdekatan rumah dengan Hafis. Mungkin itulah yang menyebabkannya tak lagi memperhatikan pakaiannya sendiri. Adik yang kecil dan juga banyak dengan rumah yang sempit, tentu bukanlah perkara yang mudah. Mungkin itu juga yang membuatnya kadang berbeda dari kawannya. Nakal, acuh namun pintar, sepintar ayahnya.
Tidak bisa dipungkiri Hafis adalah anak yang cerdas. Meski ia jarang memperhatikan guru, namun jawabannya selalu benar saat ditanya. Pertanyaannya yang kritis, juga kadang membuat ia jadi bahan pembicaraan di kantor. Kenapa tidak, tidak pernah mau mencatat namun ia mengerti akan bahasan yang sedang disampaikan. Seandainya saja ia terlahir dengan kondisi yang sedikit berbeda, tentu ia akan mengalahkan teman-temannya yang harus belajar dulu untuk memahami sesuatu. Itulah yang sering kami sayangkan selaku guru, kepintarannya tak didukung dengan keadaan yang lebih baik.Â
Aku telah duduk di bandul tembok tepi jalan, ketika Hafis lewat dengan Halim. Mataku tertuju pada sesuatu yang ada di tangan Hafis. Sesuatu yang dari kemarin telah kuperhatikan. Ia lebih sering memegangnya saat pulang sekolah. Aku sangat ingin menanyakan hal itu padanya. Akhirnya hari ini ku beranikan diri untuk bertanya.