Terlahir dari keluarga kurang mampu, tak banyak yang dapat kuberikan untuk mengabdikan diri seutuhnya. Tetapi dengan alasan itu juga, telah menuntunku untuk mengerti banyak hal tentang hidup ini. Mungkin perasaan itulah yang ingin kusampaikan saat berhadapan dengan mereka. Jiwa-jiwa muda yang masih sering merasa haus. Haus akan pengetahuan, haus akan ilmu. Aku merasa bahagia saat mampu berbagi pengalaman. Sebagaimana aku bangga menjadi bagian dari hidup mereka. Bagiku, mereka adalah kamus kehidupan.
Agustus 2008 sembari menunggu waktu wisuda, aku di perkenalkan dengan hidup yang sebenarnya. Aku dituntun untuk mengerti arti keikhlasan, kebersamaan, kekeluargaan dan kesederhanaan. Begitu banyak ruang dan waktu yang kuhabiskan bersama mereka, untuk berbagi kebahagiaan dengan cara yang sederhana tapi berguna. Mereka adalah remaja berumur antara sebelas hingga empat belas tahun. Siswa Madrasah setingkat SMP. Berangkat sekolah dengan jarak hingga 6 km lebih, tetap ditempuh sekalipun kadang harus jalan kaki. Silih berganti mereka hadir dalam hidupku, membawa cerita yang berbeda.
Ketika pertama kali melangkahkan kaki di halaman sekolah ini, aku termangu karena seolah tidak ada kehidupan. Kuketuk salah satu pintu kelas, dan aku tersentak. Seorang wanita tua membuka pintu. Wanita tua itu adalah guru, namun tetap bersahaja di depan muridnya. Hening tanpa suara mereka tetap semangat belajar. Malu aku pada diriku sendiri, karena telah memandang sekolah ini hanya dari luarnya saja. Padahal kualitasnya luar biasa. Bahkan sekarang melahirkan siswa yang membanggakan. Meraih peringkat dimana mereka melanjutkan sekolah, diberi kepercayaan lebih, diterima di sekolah unggul, hingga ada yang menjadi TNI. Di sinilah langkahku dimulai.
Sekolah ini merupakan bangunan semi permanen berlantai dua yang sudah tua. Lantai pertama adalah ruang belajar siswa. Terdiri dari tiga lokal, berlantaikan semen tanpa keramik. Dinding semen tampak buram termakan usia, sepertinya telah lama tidak dicat. Kursi kayu yang juga tidak dicat berjejer rapi menambahkan kesan suram. Lantai dua merupakan kantor, tempat para guru melepas penat. Tak jauh dari gedung ini, masih di lokasi yang sama, terdapat satu ruang perpustakaan yang baru. Kini, semua kegiatan telah pindah ke bangunan yang lebih memadai.
Sempat aku mempertanyakan kemampuanku untuk mengajar di sini. Namun, ketakutan itu lama kelamaan mampu kutepis. Perlahan-lahan aku mulai memahami dan masuk ke dalam lingkungan. Bahkan aku sempat rindu dengan mereka, jika satu hari saja kami tidak bertemu.
Kurangnya minat masyarakat memasukkan putra-putrinya ke sekolah swasta, menyebabkan sekolah ini sempat vakum beberapa tahun. Bermodal tekad yang kuat dari pendirinya, beserta tokoh masyarakat yang peduli akan pendidikan agama, madrasah ini digeliatkan kembali pada tahun 2004. Siswa diterima tanpa dipungut biaya sedikitpun, selagi mampu baca tulis Al Qur’an dan memiliki budi pekerti yang baik.
Setahun mengabdi, aku diberi kepercayaan untuk menjadi wali kelas IX. Siswa tingkat akhir yang akan menghadapi ujian nasional. Meski telah mencoba menolak karena takut tidak amanah, namun pihak sekolah tetap mempercayakan posisi itu kepadaku. Sembilan belas orang siswa, dari beragam latar belakang harus aku bina dan tumbuhkan semangat belajarnya. Meski sedikit tapi ini bukanlah perkara mudah.
Aku sempat kewalahan, karena berbekal pengalaman yang sedikit. Maklum, sekolah ini bukanlah sekolah layaknya sekolah perkotaan. Namun bukan juga sekolahan yang berada di pelosok daerah terpencil. Sekolah kecil ini berada di daerah ramai, pusat kecamatan. Namun memiliki siswa yang berasal dari kampung jauh dan pada umunya berasal dari keluarga kurang mampu. Kondisi alam tempat asal dan sulitnya transportasi membuat mereka kesulitan untuk menjangkau sekolah.
Satu persatu meja siswa kusinggahi saat mengajar. Kubimbing mereka mulai prinsip dasar dari setiap materi yang kusampaikan. Siswa yang telah menguasi pelajaran harus bisa berbagi ilmu dengan siswa yang belum paham. Sehingga secara tidak langsung mereka telah mendapatkan dua hal. Yaitu ilmu dan berbagi ilmu. Menjadi siswa sekaligus menjadi guru bagi teman.
Tak jarang aku mengajar di luar ruangan, belajar sambil mengenal alam, Meski mungkin akan sedikit mengganggu konsentrasi, setidaknya hal itu mengubah paradigma mereka bahwa belajar itu  bukanlah hal yang membosankan. Beruang kali kutanamkan, bahwa keberhasilan yang diperoleh oleh orang-orang yang jauh menuju sekolah dengan keterbatasan ekonomi akan lebih membanggakan. Ada banyak hal yang mampu disampaikan dari sebuah kesederhanaan. Jadi tak ada satupun dari siswaku yang boleh merasa malu dengan keterbatasannya.
Ku luangkan waktu untuk berbagi dengan mereka. Memilih berdiam di sekolah dibandingkan cepat pulang setelah mengajar. Banyak hal yang bisa aku kerjakan. Membantu wakil kurikulum, bagian kepegawaian, perpustakaan  bahkan aku masuk ke lokal sekiranya guru yang bersangkutan berhalangan hadir. Sebisa mungkin waktu kuhabiskan untuk melakukan hal yang berguna di sekolah.
Meski bukanlah pemilik ide dalam setiap langkah pengembangkan sekolah, namun aku sealu berusaha ikut serta dalam setiap kegiatan yang dicanangkan. Belajar dari guru lain yang lebih memiliki pengalaman. Mereka tak pernah putus asa dalam berbagi ilmu. Sesuai dengan nama Madrasah, sekolah ini sering unggul dalam masalah kegiatan agama yang dilaksanakan tingkat Kecamatan. Aku kagum pada guru yang telah mendedikasikan dirinya secara utuh. Jiwa yang penuh semangat, tanpa pamrih. Meski imbalan yang diterima tidak setimpal secara materi, bahkan hanya diterima sekali enam bulan. Itupun kadang harus berjalan kaki menuju sekolah.
Keakraban guru dan muridpun terjalin layaknya satu keluarga. Meskipun dalam hal-hal tertentu, kami meletakkan sesuatu sesuai kapasitasnya. Sekolah ini hidup kembali berkat usaha yang tak pernah pupus. Beberapa orang guru yang pernah menjadi seniorku waktu sekolah dulu, mencetuskan ide-ide kreatif. Mabid, rohis, muhadharah, pramuka mampu membangun kembali kepercayaan diri siswa. Setiap lomba selalu diikuti, dan tak jarang menuai keberhasilan. Drumband adalah kegiatan yang kami banggakan. Karena kegiatan ini mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat sekitar. Hal ini terbukti, dengan dipanggilnya kami untuk memeriahkan acara yang dibuat oleh sekolah lain. Seperti Khatam Al Qur’an, perpisahan maupun pawai lainnya.
Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari dua malam. Hari pertama diisi dengan kegiatan bersih-bersih, penyampaian materi, pengenalan tata tertib tak lupa juga kegiatan ibadah. Hari kedua, akan ada senam pagi, penyampaian materi, outbond bahkan sampai bedah film. Malamnya adalah malam penutupan. Malam ini dihadiri oleh orang tua murid, perangkat desa, yayasan, komite dan keluarga besar madrasah. Malam puncak ini dimeriahkan dengan api unggun diiringi kesenian tradisional kami yang disebut dengan tambua.
Api unggun dinyalakan sekitar jam sebelas malam. Menjelang itu, melalui layar in focus orang tua murid dihidangkan makanan sambil menonton aktivitas anak mereka selama kegiatan. Tak lupa pencapaian apa  yang telah diraih oleh sekolah selama berdiri. Ramai dan meriah. Tapi tetap menjalin persaudaraan. Itulah yang selalu kubanggakan ketika mengenang sekolah ini. Tetap berupaya mencapai teknologi, dengan menyediakan fasilitas lengkap.
Esok paginya, setelah berbenah siswa akan dilepas pulang ke rumah orang tuanya masing-masing. Berharap saat memulai pelajaran, mereka telah memiliki bekal tentang kondisi sekolah, keluarga besar, agama dan hidup.
Itulah yang kulakukan selama enam tahun mengabdi di sekolah ini. Berbagi ilmu pada siswa, meski kuyakin aku tak pernah sempurna. Sebaliknya, aku mendapat pelajaran berharga tentang makna kehidupan sembari mengisi mada mudaku dengan hal kecil namun berguna.
Tapi sayangnya di tahun keenam, aku harus berbagi hati ke sekolah yang lain. Yakni SMA saya dulu. Masih dengan prinsip yang sama, aku mengajar sambil belajar. Menambah pengalaman melalui kamus hidup yang ada dalam setiap diri siswa.
Hingga akhirnya, satu tahun mengajar di SMA saya benar-benar harus meninggalkan keduanya. Berpetualang dengan cerita yang lain di daerah baru. Masih dengan I’tikad yang sama. Membangun jiwa muda melalui pemerataan pendidikan di daerah yang jauh dari jangkauan pendidikan. Akankah mimpi itu akan terwujud juga di sini?
Â
Linggau, 28 Oktober 2015
Â
Untuk membaca karya peserta lainnya silahkan menuju akun Mudasiana dan FB Mudasiana
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H