Ku luangkan waktu untuk berbagi dengan mereka. Memilih berdiam di sekolah dibandingkan cepat pulang setelah mengajar. Banyak hal yang bisa aku kerjakan. Membantu wakil kurikulum, bagian kepegawaian, perpustakaan  bahkan aku masuk ke lokal sekiranya guru yang bersangkutan berhalangan hadir. Sebisa mungkin waktu kuhabiskan untuk melakukan hal yang berguna di sekolah.
Meski bukanlah pemilik ide dalam setiap langkah pengembangkan sekolah, namun aku sealu berusaha ikut serta dalam setiap kegiatan yang dicanangkan. Belajar dari guru lain yang lebih memiliki pengalaman. Mereka tak pernah putus asa dalam berbagi ilmu. Sesuai dengan nama Madrasah, sekolah ini sering unggul dalam masalah kegiatan agama yang dilaksanakan tingkat Kecamatan. Aku kagum pada guru yang telah mendedikasikan dirinya secara utuh. Jiwa yang penuh semangat, tanpa pamrih. Meski imbalan yang diterima tidak setimpal secara materi, bahkan hanya diterima sekali enam bulan. Itupun kadang harus berjalan kaki menuju sekolah.
Keakraban guru dan muridpun terjalin layaknya satu keluarga. Meskipun dalam hal-hal tertentu, kami meletakkan sesuatu sesuai kapasitasnya. Sekolah ini hidup kembali berkat usaha yang tak pernah pupus. Beberapa orang guru yang pernah menjadi seniorku waktu sekolah dulu, mencetuskan ide-ide kreatif. Mabid, rohis, muhadharah, pramuka mampu membangun kembali kepercayaan diri siswa. Setiap lomba selalu diikuti, dan tak jarang menuai keberhasilan. Drumband adalah kegiatan yang kami banggakan. Karena kegiatan ini mendapat apresiasi yang tinggi dari masyarakat sekitar. Hal ini terbukti, dengan dipanggilnya kami untuk memeriahkan acara yang dibuat oleh sekolah lain. Seperti Khatam Al Qur’an, perpisahan maupun pawai lainnya.
Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari dua malam. Hari pertama diisi dengan kegiatan bersih-bersih, penyampaian materi, pengenalan tata tertib tak lupa juga kegiatan ibadah. Hari kedua, akan ada senam pagi, penyampaian materi, outbond bahkan sampai bedah film. Malamnya adalah malam penutupan. Malam ini dihadiri oleh orang tua murid, perangkat desa, yayasan, komite dan keluarga besar madrasah. Malam puncak ini dimeriahkan dengan api unggun diiringi kesenian tradisional kami yang disebut dengan tambua.
Api unggun dinyalakan sekitar jam sebelas malam. Menjelang itu, melalui layar in focus orang tua murid dihidangkan makanan sambil menonton aktivitas anak mereka selama kegiatan. Tak lupa pencapaian apa  yang telah diraih oleh sekolah selama berdiri. Ramai dan meriah. Tapi tetap menjalin persaudaraan. Itulah yang selalu kubanggakan ketika mengenang sekolah ini. Tetap berupaya mencapai teknologi, dengan menyediakan fasilitas lengkap.
Esok paginya, setelah berbenah siswa akan dilepas pulang ke rumah orang tuanya masing-masing. Berharap saat memulai pelajaran, mereka telah memiliki bekal tentang kondisi sekolah, keluarga besar, agama dan hidup.
Itulah yang kulakukan selama enam tahun mengabdi di sekolah ini. Berbagi ilmu pada siswa, meski kuyakin aku tak pernah sempurna. Sebaliknya, aku mendapat pelajaran berharga tentang makna kehidupan sembari mengisi mada mudaku dengan hal kecil namun berguna.
Tapi sayangnya di tahun keenam, aku harus berbagi hati ke sekolah yang lain. Yakni SMA saya dulu. Masih dengan prinsip yang sama, aku mengajar sambil belajar. Menambah pengalaman melalui kamus hidup yang ada dalam setiap diri siswa.
Hingga akhirnya, satu tahun mengajar di SMA saya benar-benar harus meninggalkan keduanya. Berpetualang dengan cerita yang lain di daerah baru. Masih dengan I’tikad yang sama. Membangun jiwa muda melalui pemerataan pendidikan di daerah yang jauh dari jangkauan pendidikan. Akankah mimpi itu akan terwujud juga di sini?