"Kim, sini. Disana saja yang ruangannya dingin", ucap seorang lelaki paruh baya.
"Siap, pak", jawabku agak kikuk. Segera Aku betulkan celana beludru yang sedari tadi melorot karena tergopoh-gopoh menaiki tangga.
"Kenalkan, Kim. Ini Bang Jose. Ketua umum HMI Jakarta sekitaran tahun 1995". Segera lelaki yang disebut namanya oleh Pak rahmat menjabat tanganku mantap. Seolah ingin menyeringai dan menerkamku.Â
"Hahahaha, Dinda, sehebat apapun kamu, pasti akan ciut nyali juga saat mendengar kisah kepatriotanku dimasa lalu", mungkin itu yang ada di dalam benak lelaki dengan perawakan gempal yang ada di depanku.
Masih ingin mendengar ceritaku? Tunggu, Aku seduh dulu kopi yang sedari tadi telah diantarkan salah seorang pedagang di pelataran TIM.
"Srrrtttttttt. Sial. Pahit juga kopi buatan Si Abang." gerutuku.
Segera aku seduh lagi kopi di hadapanku. Pahittttt, tapi tetap aku paksakan untuk menenggaknya.
*
"Dinda, tahu tidak kenapa aktivis sekarang cenderung bermain aman", ucap Bang Jose membuyarkan lamunanku.
"Kurang tahu, Bang. Sekiranya Bang Jose berkenan, tolonglah berbagi kepada Dinda yang masih miskin ilmu dan pengalaman ini",
"Kita itu hidup di era keemasan. Dimana kemerdekaan menjadi hak setiap masyarakat Indonesia. Tapi sejatinya kita masih terjajah", Bang Jose menjelaskan.