Aku kerapkali kehilangan arah dalam tidur-tidurku yang panjang. Aku tenggelam dalam mimpi-mimpi yang menggairahkan. Lebih menyenangkan hidup di dalam mimpi, ketimbang menjalani pagi demi pagi yang membosankan. Pada pengembaraanku yang tak tentu arah itu, kadang-kadang, bila aku sedang beruntung, aku akan menemukan sebuah makna. Bahkan terkadang malah cinta.
Aku adalah keinginan yang tertidur di awal malam. Hanya mampu melayari mimpi demi mimpi. Janji demi janji. Haruskah aku menyerah? Mampukah aku menyerah? Malam begitu erat memeluk. Nafasku pun turut takluk. Sedangkan dirimu bermain bersama angan-angan.
Kau tahu, mengapa angin lebih memilih bersahabat denganmu? Karena angin terlalu pengecut untuk menjadikanmu musuhnya.
Angin memang pengecut, tapi juga picik. Demi menjatuhkanmu, angin bersekongkol dengan hujan dan badai. Rintik hujan memang menyakitkan, apalagi jika disambut dengan wajah yang menengadah. Pun dengan petir. Akan selalu memekakkan daun telinga.
Tapi tunggu. Ketinganya juga tak mampu menyusutkan semangatmu menjemput tanggung jawabmu. Menyusuri setiap jalanan Tanjungsari-Ringinsari,Ringinsari-Tanjungsari, dan tak lupa tanjakan gedung hijau.
Iya. Ini tentang kamu. Mokhamad Abdul Azis, Ketum HMI Komda pertama yang melayaniku.
Manusia adalah makhluk penipu, dan pemalsu. Siapakah yang benar-benar berkata jujur di masa sekarang ini. Dari seribu ungkapan kebenaran, seringkali terselip satu kebohongan. Kadang kebohongan itu adalah pemanis, kadang kebohongan itu adalah penepis. Kita tidak pernah benar-benar tahu. Misalnya saja sosok yang berada di samping kita saat ini. Siapakah dia? Benarkah dia kepada kita?
Belum lagi permainan-permainan Dunia yang semarak di bawah naungan matahari, dan semakin gemerlap pada malam yang bermandikan cahaya bulan. Jika ada satu harapan yang layak dimiliki Bumi, harapan itu tentu bukan ada padaku. Aku hanya pengalah yang selalu kalah. Aku mengembara dari satu mimpi ke mimpi yang lain. Menari di atas kegelapan yang getir dan sedih.
Aku memejamkan mataku. Perlahan, datang suara-suara masa lalu. Beberapa serupa mimpi. Beberapa adalah janji. Mataku tetap terpejam. Hatiku tetap terdiam. Hanya rinduku, yang lantang berteriak. Menembus batas-batas waktu. Mencari siapa jatidiriku. Yang dahulu hilang bersama angin pagi. Meninggalkan sekeping idealisme di depan pintu.Pintu masuk sebuah gedung serba hijau, namun selalu kuning yang nampak di pelupuk mata.
"Mahasiswa harus segera bangun dan mengambil sikap. Jangan sampai kampus kita tercinta ini menjadi kandang ayam"
Gaung lantang suaramu menggema ke segenap penjuru. Orasimu terdengar sendu, tapi lebih merdu dari sajak Gibran. Riuh cengkok suaramu penuh parau, serupa raungan singa yang siap menikam.
Dan kau, apakah masih ingat dengan Vega biru butut?Pesanku, apapun keadaannya dan seberapapun terhimpitnya, jangan pernah menggadaikannya. Karena kelak,motor usangmu akan lebih berharga dari segunung berlian.
Kamu. Kumarudin. Ketua Umum HMI Komda, tepat setahun sebelumku.
Aku ingin lebih banyak mendengar daripada berbicara. Pada situasi yang sunyi seperti ini, aku berbicara dan mendengar. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Aku mendengar suaraku sendiri. Aku mendengar kenangan-kenangan itu memanggil-manggil. Aku mendengar desahanmu yang tertahan. Tapi aku pura-pura tak peduli. Aku ingin tidur dan terbangun di dalam mimpi yang cerah seperti pagi.
Sudah sepantasnya aku berdoa. Kamu pernah bilang begitu. Menasehatiku. Aku tidak pernah benar-benar paham apa itu nasehat. Bagaimana aku mesti menasehati diriku sendiri. Bagaimana aku menjagamu dari kekejaman dunia. Aku tak tega membangunkanmu. Mungkin mimpimu lebih baik dari mimpiku. Mungkin mimpimu lebih menggairahkan dari diriku. Matamu tenggelam bersama malam. Fajar datang. Aku jatuh tertidur.
Tiada lagi kenangan yang dapat aku ceritakan. Tiada lagi semenjak aku lupa ingatan. Hanya album-album foto yang menjadi saksi bisu. Catatan-catatan lama di mana kita sempat menitipkan cinta. Ini tentang kamu. Sekelebat bayangan yang sempat menyapa menemani berjuang. Iya, Cuma sekejap. jadi tak perlu aku ungkap.
Biasanya aku akan menggerutu jika aku akhirnya kalah oleh malam. Ternyata aku tidak pernah benar-benar mengenal diriku sendiri. Ke mana angin di seberang sana bertiup? Aku menuliskan kata-kata ini sembari mengingat caci makimu yang terakhir. Kamu jelas bukan seorang yang tabah. Namun dalam kegelapan yang lembut seperti ini, kamu mungkin akan mengalah. Aku pernah basah bersamamu. Aku pernah membasahimu. Aku kadang merasa kesendirian mengajari kita kegilaan yang murni. Sehingga kita dapat melihat kemungkinan-kemungkinan. Aku melompat dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Kadang-kadang aku mengenggam tanganmu. Tanganmu itu seperti salju. Sedangkan warna matamu, aku benar-benar lupa.
Ada juga beberapa luka di sana. Luka yang semakin menua. Hingga kini mulai menjelma ampas-ampas senjakala. Kemudian hilang dikecup malam.
Semuanya hilang. Semuanya menjadi malam. Semua menjadi luka yang redam oleh diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H