Dan kau, apakah masih ingat dengan Vega biru butut?Pesanku, apapun keadaannya dan seberapapun terhimpitnya, jangan pernah menggadaikannya. Karena kelak,motor usangmu akan lebih berharga dari segunung berlian.
Kamu. Kumarudin. Ketua Umum HMI Komda, tepat setahun sebelumku.
Aku ingin lebih banyak mendengar daripada berbicara. Pada situasi yang sunyi seperti ini, aku berbicara dan mendengar. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Aku mendengar suaraku sendiri. Aku mendengar kenangan-kenangan itu memanggil-manggil. Aku mendengar desahanmu yang tertahan. Tapi aku pura-pura tak peduli. Aku ingin tidur dan terbangun di dalam mimpi yang cerah seperti pagi.
Sudah sepantasnya aku berdoa. Kamu pernah bilang begitu. Menasehatiku. Aku tidak pernah benar-benar paham apa itu nasehat. Bagaimana aku mesti menasehati diriku sendiri. Bagaimana aku menjagamu dari kekejaman dunia. Aku tak tega membangunkanmu. Mungkin mimpimu lebih baik dari mimpiku. Mungkin mimpimu lebih menggairahkan dari diriku. Matamu tenggelam bersama malam. Fajar datang. Aku jatuh tertidur.
Tiada lagi kenangan yang dapat aku ceritakan. Tiada lagi semenjak aku lupa ingatan. Hanya album-album foto yang menjadi saksi bisu. Catatan-catatan lama di mana kita sempat menitipkan cinta. Ini tentang kamu. Sekelebat bayangan yang sempat menyapa menemani berjuang. Iya, Cuma sekejap. jadi tak perlu aku ungkap.
Biasanya aku akan menggerutu jika aku akhirnya kalah oleh malam. Ternyata aku tidak pernah benar-benar mengenal diriku sendiri. Ke mana angin di seberang sana bertiup? Aku menuliskan kata-kata ini sembari mengingat caci makimu yang terakhir. Kamu jelas bukan seorang yang tabah. Namun dalam kegelapan yang lembut seperti ini, kamu mungkin akan mengalah. Aku pernah basah bersamamu. Aku pernah membasahimu. Aku kadang merasa kesendirian mengajari kita kegilaan yang murni. Sehingga kita dapat melihat kemungkinan-kemungkinan. Aku melompat dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Kadang-kadang aku mengenggam tanganmu. Tanganmu itu seperti salju. Sedangkan warna matamu, aku benar-benar lupa.
Ada juga beberapa luka di sana. Luka yang semakin menua. Hingga kini mulai menjelma ampas-ampas senjakala. Kemudian hilang dikecup malam.
Semuanya hilang. Semuanya menjadi malam. Semua menjadi luka yang redam oleh diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H