Pesantren dan Falsafah Hidup dalam Film Negeri 5 Menara
Film Negeri 5 Menara adalah hasil dari adaptasi novel dengan judul yang sama karya A. Fuadi yang merupakan buku pertama dari sebuah trilogi dan telah menjadi best seller sejak diluncurkan tahun 2009. Film ini mendapat dukungan dari iB Perbankan Syariah juga Bank Indonesia sebagai sponsor utama, dengan harapan film ini nantinya bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk berjuang keras dlam meraih mimpi.
Bisa dikatakan A. Fuadi adalah merupakan penulis yang cerdas menangkap peluang, bagaimana tidak; alumni Gontor (1988-1992) ini mampu menggabungkan konsep novel “Ayat-Ayat Cinta” (Habiburrahman El-Shirazy) dengan setting lingkungan religius serta percintaan; dengan novel “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) yang kondang dengan konsep mimpi besar khas anak daerah, yang keduanya mampu mencatat sukses besar di tanah air, dan A. Fuadi merangkumnya menjadi novel berjudul: “Negeri 5 Menara”. Film garapan Million Pictures dan KG Production yang kemudian ditampilkan secara apik oleh sang Sutradara, Affandi Abdul Rachman pada Film Pendidikan pertamanya: Negeri 5 Menara.
Film ini sendiri merupakan kisah perjuangan menggapai mimpi di balik persahabatan dan persaudaraan (dalam konsep Islam disebut “Ukhuwwah”) antara seorang Alif Fikri Chaniago (Gazza Zubizzaretha) asal Bukittinggi, Sumatera Barat sebagai pemeran utama dengan kelima teman barunya: Baso Salahuddin (Billy Sandi) asal Gowa, Sulawesi Selatan; Atang Yunus (Rizki Ramdani) asal Bandung, Jawa Barat; Raja Lubis (Jiofani Lubis) dari Medan, Sumatera Utara; Said Jufri (Ernest Samudera) asal Surabaya, Jawa Timur; dan Dulmajid (Aris Adnanda Putra) asal Sumenep, Madura; pada sebuah pesantren modern di sudut kota Ponorogo, Jawa Timur, yang bernama Pondok Madani. Pada adegan-adegan dalam film ini, konsep ukhuwwah berupa ta’aruf (saling mengenali), tafahum (saling memahami), ta’awun (saling menolong), dan takaful (saling memikul beban) sungguh terlihat secara visual.
Kebiasaan mereka yang senantiasa berkumpul di bawah menara sebelah kanan mesjid Jami’ Pondok Madani, membuat teman-teman di pondok menggelari mereka berenam dengan istilah: Sahibul Menara. Satu adegan yang menjadi benang merah, antara pengwujudan mimpi dan menara, sehingga novel dan film dinamai sama-sama “Negeri 5 Menara” adalah tatkala mereka berimajinasi mengukir mimpi dengan bentuk awan yang mereka lihat di bawah menara berupa visualisasi benua yang akan mereka kunjungi. Jika menilik bukunya, kelak akan didapati pemetaan awan mimpi Alif (Menara 3) yang menggambarkannya seperti Benua Amerika: Baso (Menara 6) dan Atang (Menara 4) yang sama-sama melukiskannya seperti Benua Asia & Afrika; Raja (Menara 2) yang mengilustrasikannya seperti Benua Eropa; Said (Menara 1) dan Dulmajid (Menara 5) yang juga sama-sama mengkhayalkannya seperti Benua Asia alias Indonesia.
Tokoh sentralnya sendiri sebetulnya diperankan oleh Alif yang setelah kelulusannya di Madrasah Tsanawiyah Negeri Maninjau, bersama Randai (Sakura “Kipli” Ginting) dalam novel, nama asli Randai adalah Raymond Jeffry, teman sekelas sekaligus sahabatnya, memiliki hasrat (passion) untuk bersama-sama melanjutkan ke SMA Bukittinggi, Sumatera Barat; kemudian diteruskan kuliah di ITB sebagaimana tokoh idola mereka saat itu B.J. Habibie. Namun, Amak (Lulu Tobing) justru menginginkan Alif masuk ke pondok pesantren untuk mendalami ilmu agama agar kelak dewasa menjadi Tokoh Nasional yang bermanfaat bagi banyak orang seperti Buya Hamka.
Di sinilah sebetulnya inti cerita yang menggambarkan pergolakan batin seorang Alif dalam mewujudkan passion-nya untuk sukses dengan versi yang dia pahami. Namun, mimpinya itu terkendala dengan harus menuruti permintaan orangtua sebagai bukti baktinya atas nama seorang anak. Semangat pembuktian pepatah “Man Jadda Wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil) yang pertama kali diperkenalkan Ustadz Salman (Donny Alamsyah) inilah; tervisualisasikan pekat pada setiap adegan film dan alur cerita yang skenarionya digarap segar, modern, menghibur, dengan cerita kuat oleh Salman Aristo sekaligus Produser yang sempat sukses juga di balik skenario film “Ayat-Ayat Cinta”, “Laskar Pelangi”, dan “Garuda di Dadaku”.
Ujian aplikasi “Man Jadda Wajada” masih terus bergejolak di pergolakan batin Alif, saat Baso dengan berat hati memutuskan berhenti sebelum waktunya dari pondok demi merawat keluarga satu-satunya, sang nenek, yang tengah sakit keras. Belum lagi ketika Randai sering mengabari perkembangan sekolahnya yang menyenangkan di SMA demi menuju ITB. Ditambah kepergian Ust Salman, wali kelasnya, meninggalkan pesantren untuk fokus mencari uang di luar pesantren demi persiapan menggenapkan setengah agamanya dengan pernikahan. Sungguh, godaan eksternal itu rentan menggoyahkan pilihan hidup Alif untuk selanjutnya tetap bertahan atau keluar dari pondok demi mewujudkan mimpinya.
Kendati akting keenam pemain baru itu tergolong sukses, kehadiran aktor-aktris Senior pun lebih menghidupkan plot yang terbangun seperti Ikang Fauzi, Inez Tagor, Donny Alamsyah, Lulu Tobing, David Chalik, Andhika Pratama, Mario Irwinsyah, dan Aryo Wahab.
Jika dibenturkan antara novel versus film, dibandingkan “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” yang lebih baik saya baca novelnya; maka untuk “Negeri 5 Menara” saya lebih baik menonton film-nya. Memang sungguh tidak bijak mengomparasikan sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan novel itu sendiri. Lantaran baik film maupun novel memiliki dunia interpretasinya masing-masing. Itupun salah satu alasan, mengapa setelah “Ayat-Ayat Cinta” dituang ke dalam bentuk layar lebar; kendati memang resmi mencetak box office dengan total penonton 4 juta orang, tetap saja mengundang kekecewaan bagi sebagian orang karena di luar ekspektasi para pembaca fanatiknya.
Selain karena kecerdikan sang Sutradara yang secara teknik pengambilan gambar, piawai membedakan suasana masa lampau di Maninjau dan masa kini di London, penata sinematografi pun lihai menangkap rangkaian-rangkaian keindahan panorama alam pedesaan baik di Sumatera maupun Jawa; Detail-detail mengagumkan Art Director dari Eros Eflin untuk meyakinkan penonton akan setting tahun ’80-an yang memang sangat terasa mulai dari kalender, Toyota kijang kotak, Honda CB 100, televisi kotak yang klasik, jas almamater biru ITB (kini hijau lumut), bus Harmonis tua, hingga tokoh-tokoh penting seperti Liem Swie King dan Habibie (kendati hanya tampilan auditorial); Termasuk original score dan original soundtrack yang digarap apik oleh Yovie Widianto; sesungguhnya satu hal mencolok yang bagi saya Affandi Abdul Rachman sangat sukses memvisualisasikannya, yaitu penggambaran sisi lain pesantren modern yang utuh.
Coba bandingkan konsepsi pesantren dalam film “Negeri 5 Menara” dengan konsepsi pesnatren dalam film “Perempuan Berkalung Surban” yang memang mengusung nilai-nilai feminis sehingga pesantren dicitrakan tak ubahnya penjara pengekang kreativitas. Tolong bandingkan juga dengan konsepsi pesantren ala film “Ketika Cinta Bertasbih” sekuel 1 hingga 2 yang mengesankan pesantren selain nampak begitu tradisional juga konservatif. Ataupun, sekalipun hanya sekilas, tolong bandingkan pula konsepsi pesantren dalam film “Bukan Cinta Biasa” yang digambarkan hanya tempatnya orang-orang “kotor” untuk menyucikan diri. Satu-satunya film bersetting pesantren yang sedikit banyak sanggup mengimbangi “Negeri 5 Menara” adalah film “Baik-Baik Sayang”.
***
Ada beberapa falsafah hidup yang saya catat dari film Negeri 5 Menara ini. Yang pertama adalah ketika ibunda Alif yang diperankan oleh Lulu Tobing, menginginkan Alif sekolah di sekolah agama. Memang ini bertentangan dengan keinginan Alif yang ingin bersekolah di SMU agar bisa mendaftar di ITB. Alif bercita-cita seperti Pak Habibie. Ibunda Alif berusaha mengesampingkan ego anaknya dan egonya sebagai orang tua. Ibunda Alif memikirkan ummat. Memikirkan masyarakat. Siapa lagi yang bisa diharapkan selain Alif. Ibunda Alif sudah berpikir selangkah lebih jauh bahwa hidup matinya Alif harus bisa bermanfaat bagi kepentingan ummat. Bukan kepentingan keluarga atau keinginan orang tua semata. Ibunda Alif bahkan menyandingkan foto anaknya itu di sebelah foto Hatta dan Hamka. Berharap Alif bisa mengikuti jejak kesederhanaan Hatta dan menguasai ilmu agama seperti Hamka.
Yang kedua adalah ketika ayah Alif yang diperankan oleh David Chalik, menjual kerbaunya untuk biaya sekolah Alif ke Jawa. Transaksinya dilakukan dengan cara bersalaman dan memberikan kode di dalam sarung menggunakan jari jemari. Cara seperti ini di tanah Minang disebut marosok. Tradisi tawar menawar turun temurun sejak zaman raja-raja yang masih digunakan sampai saat ini. Tentu saja Alif yang melihat dari luar merasa apa yang dilakukan Ayahnya itu cukup aneh. Namun ayahnya Alif menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya itu sarat dengan pembelajaran. Apa yang dilihat dari luar tidak seburuk dengan apa yang terjadi di dalam. Hal ini seolah menyampaikan pesan bahwa pesantren itu tidak seburuk yang dibayangkan. “Jalani dahulu baru kita akan tahu” begitu tutur Ayahanda Alif. Jika kita menghindarinya kita tak pernah tahu apa yang tersembunyi itu baik atau buruk bagi kita.
Pada masa itu bagi sebagian orang memang pesantren dianggap pendidikan kelas dua. Pesantren dianggap sebagai sekolah bagi anak-anak yang bermasalah. Pesantren dianggap sebagai bengkel akhlak atau budi pekerti. Stigma negatif inilah yang sepertinya ingin dirubah Ahmad Fuadi melalui novel dan filmnya. Pesantren masa kini bisa bersaing dan disejajarkan dengan sekolah-sekolah unggul lainnya. Pesantren kini berubah menjadi pesantren modern yang tak melulu mengajarkan kitab kuning. Lab IPA, lab komputer, lab Bahasa sudah jamak ditemukan di pesantren-pesantren modern. Bahkan sudah banyak lulusan pesantren yang menjadi tokoh nasional di Indonesia. Tak terhitung jua alumni Gontor yang menjadi pemimpin-pemimpin institusi formal dan non formal. Tentu juga kita tahu bahwa comunnity editor kompasiana Iskandar Zulkarnen adalah alumnus Gontor.
Bahkan pesantren adalah pelopor pendidikan di daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau oleh fasilitas pemerintah. Pesantren memiliki peran membangun desa, memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar. Madrasah-madrasah menjadi alternatif pendidikan bagi mereka yang tinggal jauh dari peradaban kota di masa sulit. Sekolah Muhammadiyah di Gantong, Belitong adalah bukti nyata bahwa sekolah agama memiliki peran penting dalam mendidik anak-anak bangsa.
Yang ketiga adalah bolpen yang diberikan oleh Ayah Alif untuknya. Bolpen itu diisi tinta malam hari sebelum Alif ikut ujian tes masuk pondok Madani. Ayahanda Alif menyampaikan bahwa bolpen itu adalah bolpen pemberian kakek Alif dan masih terjaga keasliannya. Adegan tersebut mengajarkan kita bahwa warisan yang paling berharga bukanlah rumah besar, mobil mewah atau tanah berhektar-hektar. Warisan yang paling mulia adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir pahalanya ketika kita berpulang kelak. Sebaik-baiknya warisan adalah meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi anak cucu kita. Harta dan benda akan habis. Sedangkan ilmu akan kekal jika diamalkan.
Yang keempat adalah ketika Alif memandangi menara yang menjulang tinggi. “Tinggi ya menara itu?” Tanya Baso yang menghentikan bacaannya. Baso seakan menyentil kita bahwa manusia ini kecil, tidak ada apa-apanya dibandingkan menara itu. Di akhir cerita pun Kyai Rois menyampaikan bahwa ‘untuk menjadi orang besar adalah menjadi orang yang paling bermanfaat bagi orang lain’. Tak ada artinya punya pangkat tinggi, harta banyak, dan kemewahan berlimpah ruah jika tak bisa bermanfaat bagi orang lain.
Yang kelima adalah mantra yang menjadi motivasi besar Alif dalam meraih kesuksesan. “Man Jadda Wajada” adalah kalimat yang kerap kali diajarkan di pesantren. Namun hanya sedikit sekali yang bisa mengamalkannya. Alif dan sahabat-sahabatnya termasuk orang orang yang berhasil mengamalkan dan membuktikan kekuatan sebuah mantra “Man Jadda Wajada.”
Beruntung mantra ini diberikan pertama kali ketika Alif belajar di pondok Madani. Terlebih dahulu ustadz Salman mendeskripsikannya dengan memotong sebilah bambu dengan sebuah golok yang telah berkarat. Dengan susah payah akhirnya bamboo itu terbelah dua. “Bukan yang paling tajam, tetapi yang paling bersungguh-sungguh” tuturnya dengan sorot mata tajam dan penuh keyakinan. Semua orang hakikatnya bisa meraih kesuksesan dengan syarat selalu konsisten dan pantang menyerah.
Yang keenam dan yang paling penting adalah konsep orang besar dalam kacamata Kyai Rais. ‘Orang besar bukanlah mereka yang duduk di posisi penting, bukan mereka yang memiliki harta berlimpah hingga tak kan habis hingga tujuh turunan. Melainkan mereka yang lulus pondok kemudian mengajar di pelosok pelosok desa dan mengamalkan ilmunya. Itulah orang besar. Menjadi orang yang bisa bermanfaat ilmunya, umurnya dan tenaganya. Minimal untuk keluarga dan utamanya untuk kepentingan masyarakat luas’.
Sosok yang paling menonjol dalam film Negeri 5 Menara adalah Baso. Seorang anak yang memiliki mimpi yang berasal dari Sulawesi. Baso selalu menebarkan perasaan positif dan selalu berusaha optimis. Kepiawaiannya dalam menghafal Al-Quran berpengaruh besar terhadap perilakunya sehari-hari. Baso selalu murah senyum dan tak sedikitpun pernah terlihat murung. Tak heran jika Baso menjadi salah satu inspirasi bagi kawan-kawannya.
***
Scene terbaik dalam film Negeri 5 Menara ini adalah ketika Baso berpamitan pada teman-temannya di Pondok Madani. Baso yang biasanya menjadi pemimpin Sahibul Menara harus pulang untuk merawat neneknya yang sedang sakit keras, karena tak ada lagi keluarga yang dapat mengurus neneknya selain dirinya. Tangis Sahibul Menara mengiringi kepergian Baso. Mereka seperti ayam yang kehilangan induknya. Lantas semangat untuk bisa tampil di acara pentas seni seakan pergi mengikuti Baso yang keluar dari Pondok. Alif pun mulai bimbang dan berniat untuk ikut keluar dari Pondok Madani. Di sinilah sahabat menemukan peran sejatinya. Sahabat adalah teman di kala suka maupun duka. Sahabat adalah penyemangat dalam hidup. dan Baso harus menunda impiannya agar dapat merawat neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan.
Di bagian scene yang lain juga tidak kalah serunya, saat Alif mengurung diri di kamarnya sebagai tanda protes kepada sang Amak, kemudian saat berpamitan pada Amak dan kedua adiknya dengan perasaan tak menentu, seolah emosi penonton larut terbawa. Atau ketika ia berhadapan dengan Kyai Rais untuk wawancara. Ada juga adegan lucu yang membuat penonton tergelak. Ketika sahibul menara mendapat hukuman jewer dari ustad Tyson, atau ketika Alif yang sedang berbunga-bunga tapi akhirnya gagal berfoto dengan Sarah dan Nissa.
Film Negeri 5 Menara dianggap kurang greget seperti beberapa penuturan para penggemar novel Negeri 5 Menara. Tak sengaja saya menemukan kekurangtelitian dalam proses editing. Ketika Alif dan Ayahnya berangkat dari rumah menggunakan bus. Bus itu divisualisasikan melewati danau Maninjau yang indah. Coba perhatikan ketika bus tersebut melewati danau. Ada tower berwarna merah putih menjulang tinggi di sebelah kanan layar. Tower itu tentu saja merusak imajinasi penonton.
Secara keseluruhan saya menilai film Negeri 5 Menara ini dalam skala 1 - 5 dengan nilai bintang 4,8. Beberapa kekurangan memang konsekuensi adaptasi yang tidak akan sepenuhnya berhasil dituangkan dalam sebuah durasi film yang terbatas. Terlepas itu semua film ini layak disandingkan dengan film Laskar Pelangi atau Ayat Ayat Cinta. Isinya menyentuh, menginspirasi dan membuat para lulusan pesantren bernostalgia dengan kehidupannya semasa di pesantren.
Masyarakat Indonesia pasti bangga dengan insan perfilman yang telah bekerja keras sepenuh hati dan sepenuh tenaga mencurahkan segala daya demi menciptakan kualitas film Indonesia yang terbaik seperti Film Negeri 5 Menara. Walau tentu saja, film Negeri 5 Menara bukan tanpa kekurangam, yang tetap saja memiliki hal-hal yang perlu dipertimbangkan kembali dalam catatan kecil saya.
Sebutlah adegan saat Alif dan Randai lulus sekolah dengan mencoret-coret pakaian dengan spidol warna-warni. Apakah kebiasaan jelek itu memang sudah menggejala sejak tahun ’80-an? Kemudian sangat disayangkan adegan pertama divisualisasikan ayahanda Alif yang sedang merokok dengan cukup jelas. Meski saya bukan termasuk orang yang anti rokok. Phillip Morris tentu saja senang jika salah satu scene dalam film negeri lima menara secara tidak langsung mempromosikan rokok secara gamblang. Ada baiknya jika adegan tersebut dikaburkan/blur.
Kritik sosial yang Salman Aristo selipkan pada dialog saat Sahibul Menara, diwakili Atang sebagai juru bicara, mengeluhkan generator kepada Kyai Rais (Ikang Fauzi) sebagai pimpinan pondok; selain memang di novel adegan tersebut tidak pernah ada, bagi saya terlalu verbalistik dengan statement-nya: “jika berani protes harus bisa memberikan solusi, tidak hanya protes saja!”.
Pada adegan bab generator ini pula, Atang memang dimunculkan sebagai karakter kritis bak Politikus. Tapi, entah kenapa, pada adegan selanjutnya, Atang pun multi tasking tak ubahnya Teknisi yang mengepalai proyek perbaikan generator! Kenapa tidak adegan ini dipercayakan pada tokoh Dulmajid yang menurut saya kurang memiliki andil? Open ending yang dipilih pun menurut saya kurang menggigit untuk sebuah film bermisi “bagaimana-mewujudkan-mimpi”. Kok, nampaknya terlalu mudah seorang Alif tiba-tiba sudah go international, menjadi Jurnalis internasional yang sedang meliput suatu acara United Union (PBB) di London! Saya memang menduga, adegan dramatis jatuh-bangun membangun karir Alif sebagai Jurnalis baru ditampilkan pada sekuelnya “Ranah 3 Warna”. Namun, sekedar penggalan-penggalan pendek perjalanan karirnya sebagai Jurnalis kelas dunia untuk meyakinkan penonton nampaknya perlu divisualisasikan.
Rasanya sebuah film kurang lengkap kalau belum dibumbui kisah asmara. Di sini Alif dikisahkan tertarik dengan keponakan kyai Rais yang cantik jelita. Dan kebetulan keduanya punya hobi yang sama yaitu fotografi. Meski kisa ini terbilang minim namun mampu memberi warna yang lumayan menarik bagi keutuhan film.
***
Di atas segala kelebihan dan kekurangannya; Salman Aristo, Affandi Abdul Rachman, dan sederet pemain baru maupun kawakan berhasil mengubah karya tulisan Ahmad Fuadi setebal 405 halaman; menjadi bentuk audio visual berdurasi 120 menit dengan tanpa mengurangi semangat, pesan dan substansi cerita novel aslinya sehingga menjadi film Negeri 5 Menara yang sangat layak ditonton. Selain itu kesan atau persepsi bahwa pesantren melulu mempelajari ilmu agama sontak berubah. Seperti yang digambarkan dalam film bahwa Pondok Madani bukanlah tempat yang membosankan. Ternyata banyak sekali kegiatan lain yang cukup menyenangkan. Pondok juga bukan ‘tempat pembuangan’ anak-anak nakal ataupun ‘tempat penitipan’ bagi anak-anak orang tak mampu. Tapi pondok adalah kawah candradimuka tempat menggembleng anak-anak muda menjadi pribadi yang luar biasa.
Seperti pendidikan dalam pesantren pada umumnya, tempaan yang keras di Pondok Madani membentuk jiwa yang mandiri, ulet, penuh semangat, pekerja keras, dan berani mempunyai impian setinggi langit. Itu terbukti saat Baso bertekad menghafal Al Qur’an sebelum lulus. Ia juga belum fasih berbahasa Inggris, namun dengan dorongan dan bantuan dari kelima sahabatnya berhasil menjadi juara dua dalam lomba pidato berbahasa Inggris. Alif yang mulai menikmati penyaluran hobi menulisnya dalam ekstra kurikuler jurnalistik di bawah asuhan kak Fahmi yang diperankan oleh Andika Pratama dan berhasil mewawancarai Kyai Rais. Atang yang sukses memimpin para Sahibul Menara untuk memperbaiki genset yang sering mati. Dan yang terakhir tekad seorang Baso agar Sahibul Menara bisa tampil dalam pentas seni yang biasanya hanya diikuti oleh santri kelas 3 dan 4.
Film Negeri 5 Menara membuktikan bahwa lulusan pesantren yang menurut pandangan banyak orang sebelumnya ‘tidak masuk hitungan’ ternyata juga bisa sukses menjadi orang-orang besar di tengah-tengah masyarakat Indonesia bahkan sampai ke luar negeri. Karena mimpi adalah sebuah keniscayaan bila dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Man jadda wajada. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H