Mohon tunggu...
Laras Sekar
Laras Sekar Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswi yang hobi menggambar, baca novel, dan nyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Trade Off Kurva Phillips pada Masa Pandemi

9 Januari 2021   13:56 Diperbarui: 9 Januari 2021   14:14 3477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

(Oleh Laras Sekar)

Fenomena Pengangguran Akibat Pandemi

            Kasus Covid-19 pertama di Indonesia tercatat pada 2 Maret 2020 yang lalu. Dua kasus pertama ini terjadi pada seorang ibu (61 tahun) dan anaknya (31 tahun). Mereka tertular setelah melakukan dansa dengan seorang warga Jepang. Kedua pasien tersebut awalnya tidak dirawat di ruang isolasi karena gejala yang dirasakan hanya batuk berkepanjangan. Implikasinya adalah virus ini menyebar dengan sangat cepat karena ketidaktahuan pemerintah dan tenaga medis. Virus Covid-19 menyebar dengan sangat cepat karena gejalanya serupa dengan penyakit lain, yaitu influenza. Saat tulisan ini dibuat, 20.994 orang di Indonesia meninggal akibat Covid-19.

            Dampak pandemi Covid-19 dirasakan oleh berbagai sektor, seperti pendidikan, pariwisata, kesehatan, hingga ekonomi. Ekonomi menjadi salah satu sektor yang paling terdampak sehingga pada kuartal III 2020, Produk Domestik Bruto Indonesia adalah minus 3,49 persen (year on year/yoy). Oleh karena itu, Indonesia resmi memasuki jurang Resesi. Menurut Ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, dampak resesi ekonomi yang paling terasa adalah pelemahan daya beli masyarakat. Krisis ekonomi akibat Covid ini membuat kelompok yang rentan semakin terpuruk. Kelompok yang dimaksud adalah sektor usaha yang membutuhkan keramaian massa, pekerja harian lepas, pedagang kaki lima, para buruh yang terkena PHK, petani, dan masyarakat miskin (Eddyono et al., 2020).

            Pandemi Covid-19 membuat pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah di Indonesia. Awalnya, PSBB hanya diterapkan di wilayah-wilayah yang memiliki status zona merah. Namun, saat ini, PSBB diterapkan di hampir seluruh wilayah di Indonesia karena cepatnya penyebaran virus Covid-19 di tengah masyarakat. Kebijakan PSBB menyebabkan perubahan berbagai aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa pada fase awal, ada sekitar 25 juta pekerjaan di dunia yang akan hilang akibat pandemi Covid-19. Kebijakan PSBB juga membuat banyak industri menjalankan skema kerja dari rumah (work from home). Lebih lanjut, menurut Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), krisis ekonomi ini bisa memunculkan zombie companies. Artinya adalah perusahaan masih bisa membayar upah pekerja, namun tidak mampu mencetak keuntungan atau break even point.

            Menurut Sukirno (2008: 13) dalam penelitian Rovia Nugrahani Pramesthi (2013), pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Sementara itu, menurut BPS, pengangguran terbuka adalah mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha, mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, serta mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran bertambah menjadi 9,77 juta orang per Agustus 2020. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 212.394 pekerja dari sektor formal terkena PHK. Kelesuan ekonomi ini berdampak pada berbagai sektor. Dcode (2020) memperkirakan bahwa ada beberapa sektor yang akan "kalah" akibat pandemi dalam jangka pendek, seperti pariwisata, transportasi, dan konstruksi. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD-UI), dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Ketenagakerjaan melaksanakan survei online tentang dampak COVID- 19 terhadap tenaga kerja. Berdasarkan survei tersebut, wilayah dengan PHK tertinggi adalah Bali- Nusa Tenggara (39,9 persen) dan Banten (24,8 persen). Hal ini terjadi karena perekonomian di Bali digerakkan oleh tiga sektor utama, yaitu pariwisata, industri pengolahan, dan pertanian.

            Masalah pengangguran bisa diakibatkan oleh berbagai hal. Saat ini, tingkat pengangguran juga diperparah dengan adanya PHK oleh industri yang terdampak pandemi. Industri-industri tersebut, selain melakukan PHK, juga mengurangi upah atau gaji bagi pekerjanya. Akibat kelesuan ekonomi, seseorang mungkin tidak mendapat insentif untuk menciptakan lapangan kerja yang baru. Akibatnya adalah angkatan kerja semakin susah mencari pekerjaan. Ketika pendapatan masyarakat menurun secara drastis, pertumbuhan ekonomi juga akan ikut menurun.

Inflasi

            Indikator perekonomian yang sering menjadi perhatian para ekonom adalah tingkat inflasi dan pengangguran yang terjadi di suatu negara. Mereka ingin mengetahui keterkaitan antara dua indikator tersebut dalam pengaruhnya terhadap perekonomian. Secara umum, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga berbagai barang yang berlangsung terus-menerus (Sukirno, 2004). Negara dengan kondisi ekonomi yang baik biasanya mengalami inflasi sebesar 2% hingga 4% per tahun. Inflasi dinilai terlalu tinggi jika besarnya mencapai 7% hingga 10% per tahun. Kondisi tersebut pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1956 dengan tingkat inflasi sebesar 600% sebagai imbas dari ambisi Presiden Soekarno dalam mewujudkan Politik Mercusuar. Inflasi dapat diukur dengan beberapa indikator. Yang pertama adalah IHK atau Indeks Harga Konsumen. IHK menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang dibeli konsumen pada periode waktu tertentu. Yang kedua, Indeks Perdagangan Besar. Indeks ini juga dikenal dengan indeks harga produsen. Indeks Harga Produsen menunjukkan besarnya perubahan harga pada tingkat harga perdagangan besar atau harga grosir dari komoditas-komoditas yang diperdagangkan di suatu negara. Yang ketiga adalah GNP Deflator. GDP Deflator berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan tingkat kenaikan atau penurunan harga secara umum dalam suatu periode.  

Kurva Phillips

            Seorang ekonomi A.W. Phillips menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara inflasi dan pengangguran. Artikel berjudul "The Relationship between Unemployment and the Rate of Change of Money Wages in United Kingdom 1861-1957" ini terbit pada tahun 1958. Phillips menampikan data yang jumlah pengangguran dan tingkat inflasi pada periode waktu tertentu. Pada tahun-tahun dengan jumlah pengangguran yang rendah, tingkat inflasi justru terlihat tinggi. Sebaliknya, ketika jumlah pengangguran tinggi, tingkat inflasi pun rendah. Artinya terdapat korelasi negatif (berbanding terbalik) antara jumlah pengangguran dan tingkat inflasi. Inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Sesuai dengan teori permintaan, ketika permintaan naik, maka harga juga akan naik. Karena harga menjadi semakin tinggi (inflasi), maka produsen akan meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan pasar. Produsen akan menambah jumlah tenaga kerja karena hal tersebut adalah satu-satunya input yang mampu meningkatkan output. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap, maka tingkat pengangguran akan menurun.

Apakah Konsep Kurva Phillips Berlaku saat Pandemi Covid-19 di Indonesia?

            Berdasarkan jurnal berjudul "Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia periode 1980-2016 dengan Pendekatan Kurva Phillips" yang diterbitkan tahun 2018 oleh Universitas Islam Indonesia, kurva Phillips hanya berlaku dalam jangka pendek. Hal ini senada dengan beberapa ekonom masa lalu yang menyatakan bahwa antara inflasi dan pengangguran tidak selalu terjadi trade-off. Saat terjadi depresi ekonomi di Amerika Serikat tahun 1929, tingkat inflasi sangat tinggi. Rupanya peningkatan inflasi tersebut juga diikuti dengan tingginya tingkat pengangguran. Selanjutnya, pada periode 1950-1982, inflasi dan pengangguran sama-sama menunjukkan peningkatan. Artinya adalah tidak terjadi trade-off antara inflasi dan pengangguran. Jurnal berjudul "Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia periode 1980-2016 dengan Pendekatan Kurva Phillips" ini menggunakan metode analisis Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi VECM jangka pendek dan panjang menunjukan bahwa Kurva Phillips di Indonesia hanya berlaku jangka pendek dan tidak berlaku jangka panjang. Hal ini sesuai dengan kritik dari Milton Friedman pada tahun 1976 yang mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang (Samuelson, 2004). Dalam jangka pendek, jika pembuat kebijakan moneter ingin meningkatkan kegiatan perekonomian dengan cara meningkatkan permintaan agregat, maka tingkat pengangguran akan turun untuk sementara waktu, namun umumna diikuti dengan kenaikan harga-harga barang (inflasi yang lebih tinggi). Jika pembuat kebijakan ingin menurunkan kegiatan perekonomian dengan mengurangi permintaan agregat, inflasi akan menurun, namun diikuti dengan peningkatan pengangguran untuk sementara waktu.

            Mengutip nasional.kontan.co.id, BPS menyatakan bahwa inflasi tahunan hingga Maret 2020 mencapai 2,96%. Terkendalinya inflasi pada tahun ini merupakan pengaruh dari dampak negatif pandemi Covid-19, yaitu perlambatan ekonomi domestik. Penurunan laju konsumsi rumah tangga akan membatasi demand pull inflation. Kepala BPS, Suhariyanto menyatakan bahwa inflasi pada Juli 2020 adalah minus 0,1% alias deflasi. Mengutip tirto.id, jika mengikuti pola tahun 2019, deflasi baru akan terjadi tiga bulan setelah Ramadan. Perubahan pola inflasi pada tahun 2020 terjadi karena  penurunan daya beli masyarakat.

            Tingkat inflasi Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini mengalami fluktuasi.  Tahun 2016 inflasi sebesar 3,02%, 2017 sebesar 3,5%, 2018 sebesar 3,13%, dan 2019 sebesar 2,27%. Sementara itu, inflasi pada November 2020 tercatat menurun, yaitu sebesar 1,59%. Serupa dengan tingkat fluktuasi, tingkat pengangguran di Indonesia selama 5 tahun terakhir juga mengalami fluktuasi, namun tidak terlalu banyak berubah dari tahun ke tahun. Tahun 2016 tingkat pengangguran sebesar 7,03 juta, 2017 sebesar 7,04 juta, 2018 sebesar 7 juta, dan 2019 sebesar 7,05 juta orang. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka melonjak tinggi pada tahun 2020, yaitu sebesar 9,77 juta orang. Trade-off antara inflasi dan tingkat pengangguran tidak selalu terjadi. Contohnya ketika inflasi meningkat dari 3,02% menjadi 3,5%, tingkat pengangguran juga ikut naik dari 7,03 juta menjadi 7,04 juta. Meskipun begitu, trade-off terjadi pada tahun 2018, 2019, dan 2020.

Kebijakan Strategis untuk Mengatasi Kelesuan Ekonomi di Tengah Pandemi

            Pemerintah telah menerbitkan sembilan produk hukum terkait penanganan Covid-19.  Sembilan produk hukum tersebut berupa 4 Keputusan Presiden, 2 Peraturan Presiden, 1 Peraturan Pemerintah, 1 Instruksi Presiden, dan 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Seluruh produk hukum ini  bertujuan mengatasi pandemi dari sisi kesehatan, birokrasi, dan keuangan. Contohnya adalah Perppu  Nomor  1 Tahun  2020  tentang Kebijakan  Keuangan  Negara  dan  Stabilitas  Sistem  Keuangan. Salah satu poin penting dalam Perppu ini adalah kebijakan penambahan anggaran sebesar Rp405,1 triliun yang sebelumnya tidak ada dalam APBN 2020. Dengan adanya pembiayaan ini, pemerintah mengizinkan defisit anggaran yang melebihi 3% dari PDB.

            Terdapat tiga kebijakan strategis dalam bidang ekonomi dan keuangan untuk menghadapi pandemi Covid-19 di Indonesia. Yang pertama adalah realokasi anggaran. Pemerintah dapat melakukan realokasi anggaran terhadap beberapa proyek negara yang masih dapat ditunda serta memotong gaji pejabat. Pemerintah juga bisa memotong Dana Alokasi Khusus (DAK). Sayangnya, pemerintah juga memotong dana abadi pendidikan yang sebetulnya justru sangat dibutuhkan untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar yang terhalang pandemi. Kebijakan yang kedua adalah distribusi. Pemerintah dapat memberi bantuan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan paket sembako, serta memberi stimulus kepada UMKM secara luas. Dengan pemberian bantuan yang bersifat tunai ini, perputaran uang di tengah masyarakat bisa semakin meningkat. Kebijakan yang ketiga adalah stabilisasi. Kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah dengan cara memberi jaminan sembako bagi masyarakat yang rentan sampai beberapa bulan mendatang, menurunkan suku bunga acuan, hingga memberi subsidi bunga untuk meringankan beban para pelaku usaha kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun