Apakah Konsep Kurva Phillips Berlaku saat Pandemi Covid-19 di Indonesia?
      Berdasarkan jurnal berjudul "Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia periode 1980-2016 dengan Pendekatan Kurva Phillips" yang diterbitkan tahun 2018 oleh Universitas Islam Indonesia, kurva Phillips hanya berlaku dalam jangka pendek. Hal ini senada dengan beberapa ekonom masa lalu yang menyatakan bahwa antara inflasi dan pengangguran tidak selalu terjadi trade-off. Saat terjadi depresi ekonomi di Amerika Serikat tahun 1929, tingkat inflasi sangat tinggi. Rupanya peningkatan inflasi tersebut juga diikuti dengan tingginya tingkat pengangguran. Selanjutnya, pada periode 1950-1982, inflasi dan pengangguran sama-sama menunjukkan peningkatan. Artinya adalah tidak terjadi trade-off antara inflasi dan pengangguran. Jurnal berjudul "Analisis Hubungan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia periode 1980-2016 dengan Pendekatan Kurva Phillips" ini menggunakan metode analisis Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi VECM jangka pendek dan panjang menunjukan bahwa Kurva Phillips di Indonesia hanya berlaku jangka pendek dan tidak berlaku jangka panjang. Hal ini sesuai dengan kritik dari Milton Friedman pada tahun 1976 yang mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang (Samuelson, 2004). Dalam jangka pendek, jika pembuat kebijakan moneter ingin meningkatkan kegiatan perekonomian dengan cara meningkatkan permintaan agregat, maka tingkat pengangguran akan turun untuk sementara waktu, namun umumna diikuti dengan kenaikan harga-harga barang (inflasi yang lebih tinggi). Jika pembuat kebijakan ingin menurunkan kegiatan perekonomian dengan mengurangi permintaan agregat, inflasi akan menurun, namun diikuti dengan peningkatan pengangguran untuk sementara waktu.
      Mengutip nasional.kontan.co.id, BPS menyatakan bahwa inflasi tahunan hingga Maret 2020 mencapai 2,96%. Terkendalinya inflasi pada tahun ini merupakan pengaruh dari dampak negatif pandemi Covid-19, yaitu perlambatan ekonomi domestik. Penurunan laju konsumsi rumah tangga akan membatasi demand pull inflation. Kepala BPS, Suhariyanto menyatakan bahwa inflasi pada Juli 2020 adalah minus 0,1% alias deflasi. Mengutip tirto.id, jika mengikuti pola tahun 2019, deflasi baru akan terjadi tiga bulan setelah Ramadan. Perubahan pola inflasi pada tahun 2020 terjadi karena  penurunan daya beli masyarakat.
      Tingkat inflasi Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini mengalami fluktuasi.  Tahun 2016 inflasi sebesar 3,02%, 2017 sebesar 3,5%, 2018 sebesar 3,13%, dan 2019 sebesar 2,27%. Sementara itu, inflasi pada November 2020 tercatat menurun, yaitu sebesar 1,59%. Serupa dengan tingkat fluktuasi, tingkat pengangguran di Indonesia selama 5 tahun terakhir juga mengalami fluktuasi, namun tidak terlalu banyak berubah dari tahun ke tahun. Tahun 2016 tingkat pengangguran sebesar 7,03 juta, 2017 sebesar 7,04 juta, 2018 sebesar 7 juta, dan 2019 sebesar 7,05 juta orang. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka melonjak tinggi pada tahun 2020, yaitu sebesar 9,77 juta orang. Trade-off antara inflasi dan tingkat pengangguran tidak selalu terjadi. Contohnya ketika inflasi meningkat dari 3,02% menjadi 3,5%, tingkat pengangguran juga ikut naik dari 7,03 juta menjadi 7,04 juta. Meskipun begitu, trade-off terjadi pada tahun 2018, 2019, dan 2020.
Kebijakan Strategis untuk Mengatasi Kelesuan Ekonomi di Tengah Pandemi
      Pemerintah telah menerbitkan sembilan produk hukum terkait penanganan Covid-19.  Sembilan produk hukum tersebut berupa 4 Keputusan Presiden, 2 Peraturan Presiden, 1 Peraturan Pemerintah, 1 Instruksi Presiden, dan 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Seluruh produk hukum ini  bertujuan mengatasi pandemi dari sisi kesehatan, birokrasi, dan keuangan. Contohnya adalah Perppu  Nomor  1 Tahun  2020  tentang Kebijakan  Keuangan  Negara  dan  Stabilitas  Sistem  Keuangan. Salah satu poin penting dalam Perppu ini adalah kebijakan penambahan anggaran sebesar Rp405,1 triliun yang sebelumnya tidak ada dalam APBN 2020. Dengan adanya pembiayaan ini, pemerintah mengizinkan defisit anggaran yang melebihi 3% dari PDB.
      Terdapat tiga kebijakan strategis dalam bidang ekonomi dan keuangan untuk menghadapi pandemi Covid-19 di Indonesia. Yang pertama adalah realokasi anggaran. Pemerintah dapat melakukan realokasi anggaran terhadap beberapa proyek negara yang masih dapat ditunda serta memotong gaji pejabat. Pemerintah juga bisa memotong Dana Alokasi Khusus (DAK). Sayangnya, pemerintah juga memotong dana abadi pendidikan yang sebetulnya justru sangat dibutuhkan untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar yang terhalang pandemi. Kebijakan yang kedua adalah distribusi. Pemerintah dapat memberi bantuan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan paket sembako, serta memberi stimulus kepada UMKM secara luas. Dengan pemberian bantuan yang bersifat tunai ini, perputaran uang di tengah masyarakat bisa semakin meningkat. Kebijakan yang ketiga adalah stabilisasi. Kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah dengan cara memberi jaminan sembako bagi masyarakat yang rentan sampai beberapa bulan mendatang, menurunkan suku bunga acuan, hingga memberi subsidi bunga untuk meringankan beban para pelaku usaha kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H