Saat SMA dulu, saat malam 1 suro saya sering melihat Kakek (yang saat itu masih menganut Islam kejawen) melakukan ritual jamasan.
Jamasan adalah pembersihan benda-benda pusaka yang mempunyai daya "magis".Â
Ritual jamasan ini diawali oleh pencucian keris-keris dengan air dan bunga tujuh rupa.
Kemudian di lap pakai handuk bersih lalu di beri minyak wangi khas (biasanya dulu pakai minyak cap putri duyung).
Terakhir di tutup dengan bakaran menyan, yang membuat suasana rumah menjadi "berbeda" sukses membuat bulu kuduk berdiri.Â
Setelah Kakek meninggal, tradisi itu sudah tidak lagi dilakukan oleh anak cucu keturunannya. Dan semua benda-benda (seperti keris dan beberapa batu) di buang ke sungai dekat rumah.
Berbeda dengan cerita ibu. Ibu saya asli orang Jawa Tengah.
Kata ibu, waktu kecil saat malam 1 suro bersama dengan teman-temannya dan penduduk desa berduyun-duyun datang ke pematang sawah (yang saat itu masih luas).
Ada yang mereka tunggu, kalau memang "rejekinya" mereka bisa melihat di tengah-tengah sawah iringan obor.
Paling depan ada sapi albino besar dan di ikuti oleh obor-obor yang tidak terlihat siapa yang membawanya. Mereka bergerak menuju selatan.
Ibu bilang konon mereka mau ke pantai selatan. Allahu A'llam.Â
***
Indonesia adalah negeri yang kaya akan tradisi dan budaya, di mana interaksi antara kepercayaan lokal dan agama mayoritas kerap menghasilkan bentuk-bentuk perayaan yang unik dan penuh makna.
Salah satu contoh harmonisasi ini terlihat dalam perayaan 1 Suro dan 1 Muharam, yang masing-masing menandai tahun baru dalam kalender Jawa dan kalender Islam.
1 Suro dan 1 Muharam, meski berasal dari akar tradisi yang berbeda, bertemu dalam semangat yang sama: momen refleksi, pembaruan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual.Â
Perayaan 1 Suro di Jawa dipenuhi dengan ritual yang sarat akan makna mistik dan penghormatan terhadap leluhur, sementara 1 Muharam dalam tradisi Islam dirayakan dengan kegiatan ibadah dan pengingatan terhadap hijrah Nabi Muhammad, simbol transformasi menuju keadaan yang lebih baik.
Perpaduan antara ritual tradisional dan keagamaan ini mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, mampu memadukan warisan budaya dengan praktik keagamaan sehari-hari.Â
Dalam upaya melestarikan tradisi sambil tetap menjalankan ajaran agama, kedua perayaan ini tidak hanya memperkaya identitas budaya, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual dalam masyarakat.
Asal-usul dan Makna
1 Suro
Sejarah 1 Suro dalam Tradisi Jawa dalam Kalender Jawa yang dimulai pada 1 Suro diperkenalkan oleh Sultan Agung pada abad ke-17 sebagai upaya menyatukan kalender Islam dengan unsur-unsur penanggalan Hindu. Hari ini menandai tahun baru dalam kalender Jawa.
Makna 1 Suro dianggap sakral, yaitu waktu untuk introspeksi, berdoa, dan melakukan ritual untuk membersihkan diri dari energi negatif. Ini juga waktu untuk menghormati leluhur dan merayakan kebijaksanaan tradisional.
Ritual-ritual yang biasa dilakukan malam 1 suro diantaranya:
Tapa Bisu: Ritual berdiam diri sambil berjalan kaki mengelilingi tempat-tempat keramat, seperti Keraton Yogyakarta. Ini mencerminkan pengendalian diri dan introspeksi.
Jamasan: Pembersihan benda-benda pusaka seperti keris. Ini melambangkan penyucian diri dan penghormatan terhadap warisan leluhur.
Nyekar: Mengunjungi makam leluhur, berdoa, dan memberi sesajen sebagai penghormatan dan untuk meminta berkah.
1 MuharamÂ
Sejarah 1 Muharam dalam Islam dalam kalender Hijriyah yang dimulai pada 1 Muharam didasarkan pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.
Muharam adalah bulan suci dalam Islam, yang menandai awal tahun baru Islam.
Makna 1 Muharam adalah bulan yang dianggap sebagai waktu untuk refleksi spiritual, memperbaiki diri, dan memperbanyak ibadah.
1 Muharam menjadi pengingat pentingnya hijrah sebagai transformasi menuju kehidupan yang lebih baik.
Kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan malam 1 Muharam diantaranya:
Puasa Asyura: Puasa sunnah pada tanggal 10 Muharam sebagai tanda syukur atas keselamatan Nabi Musa dari Firaun. Ini memperdalam rasa syukur dan kesadaran spiritual.
Majelis Taklim: Mengadakan pengajian, ceramah, dan diskusi untuk memperdalam pemahaman agama. Ini memperkuat komitmen terhadap ajaran Islam.
Doa dan Dzikir: Kegiatan doa dan dzikir untuk memohon perlindungan dan berkah di tahun baru.
Dinamika Modern
Di era modern, perayaan 1 Suro dan 1 Muharam terus berkembang namun tetap mempertahankan elemen-elemen tradisionalnya.
Dalam masyarakat perkotaan, upacara-upacara tersebut mungkin disesuaikan dengan konteks perkotaan dan sering melibatkan lebih banyak elemen simbolik ketimbang ritual fisik.
1. Pelestarian Budaya:Pemerintah dan komunitas lokal sering mengadakan festival untuk merayakan 1 Suro dengan cara yang lebih terbuka dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk pariwisata budaya.
2. Peningkatan Spiritual:Banyak komunitas Muslim menggunakan 1 Muharam sebagai kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan agama melalui ceramah dan kegiatan keagamaan, memperkuat komitmen mereka terhadap nilai-nilai Islam.
Harmoni antara Budaya dan Agama
Meskipun 1 Suro dan 1 Muharam berakar dari tradisi yang berbeda, keduanya memiliki elemen refleksi dan pembaruan yang mirip.
Ini mencerminkan bagaimana budaya lokal dan agama Islam di Indonesia dapat berinteraksi dan saling memperkaya.
1. Integrasi Ritual: Banyak masyarakat Jawa yang juga Muslim merayakan kedua perayaan ini dengan menggabungkan tradisi lokal dan ibadah Islam, seperti mengawali 1 Suro dengan doa bersama dan mengikuti upacara-upacara adat.
2. Simbol Kesucian dan Pengendalian Diri: Kedua perayaan menekankan pentingnya memulai tahun baru dengan kebersihan batin dan fisik, serta pengendalian diri, meskipun metode dan simbol-simbol yang digunakan berbeda.
Ritual 1 Suro dan peringatan 1 Muharam adalah representasi harmonis dari kolaborasi antara tradisi lokal dan agama dalam masyarakat Jawa.Â
Mereka menawarkan wawasan tentang bagaimana elemen-elemen budaya dan agama dapat hidup berdampingan, saling memperkaya, dan memperkuat identitas kolektif masyarakat.
Dengan pelestarian yang tepat dan adaptasi yang bijaksana, warisan ini akan terus menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual di Indonesia.
Semoga bermanfaat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H