Yang semula kami pikir kami adalah orang yang paling sial, setelah beberapa waktu anggapan itu berubah menjadi kami lah ternyata orang yang paling beruntung.
Kalimat-kalimat positif terus kami gaungkan di hati dan pikiran kami, hingga akhirnya tanpa kami duga satu persatu "hadiah" itu datang.
Mulai dari teman-teman yang benar-benar ada saat kami dalam keadaan apapun, hingga kami bisa menemukan dan mengembangkan hal-hal baru yang tidak kami temukan di tempat sebelumnya.
Kejadian yang terjadi atas diri kami mengajarkan pada kami bahwa masih ada sisi baik atas apapun yang terjadi. Bila kita menyadari bahwa semua yang terjadi merupakan bagian dari irisan takdir yang harus dilalui, dan mengubah sudut pandang, bagaimana cara kita memandang kejadian itu.
Boleh jadi apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Begitupun sebaliknya.
Musibah itu awalnya penuh duka, namun perlahan tetapi pasti akan berganti menjadi sukacita dan bahagia, mengajarkan pentingnya bersikap optimistis karena kehidupan itu tidak selamanya dalam kesulitan dan kedukaan, menumbuhkan rasa kemanusiaan universal untuk berempati dan berbagi, dan musibah itu menjadi penggugur dosa.
"Tiada sebuah musibah pun yang menimpa Muslim melainkan dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahannya." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H