Mohon tunggu...
Larasati Hidiaputri
Larasati Hidiaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Interseksionalitas dalam Gerakan Feminisme Afrika-Amerika Abad ke-20

16 Oktober 2024   14:25 Diperbarui: 16 Oktober 2024   14:53 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Feminisme tidak dapat disamakan dengan rasa kebencian terhadap laki-laki. Feminisme adalah bagaimana laki-laki dan juga perempuan dapat meniadakan pemikiran seksis yang telah tertanam dalam masing-masing individu sejak mereka kecil. Oleh karena itu, perempuan maupun laki-laki dapat menjadi feminis asalkan saling berjuang melawan kebudayaan patriarkis.

Di Amerika Serikat, gerakan-gerakan feminisme tidak dapat dipisahkan dengan isu rasial. 

Ketika Amandemen ke-19 diratifikasi oleh pemerintah pada 1920 dan perempuan di Amerika mendapatkan hak pilih, perempuan kulit hitam atau Afrika-Amerika masih banyak mendapatkan diskriminasi. Adanya pajak pemungutan suara, tes literasi, dan terorisme berbau ras secara sistematis dilakukan oleh negara sehingga perempuan Afrika-Amerika tidak dapat menggunakan hak pilihnya secara penuh. 

Bahkan, dalam perjuangannya menuntut hak pilih perempuan, salah satu organisasi feminis yang prominan pada saat itu, National American Woman Suffrage Association (NAWSA) tidak melibatkan organisasi feminis kulit hitam dalam parade hak pilih berskala nasional pada 3 Maret 1913.

Kompleksitas Feminisme Afrika-Amerika 

Perempuan Afrika-Amerika tidak hanya ditindas karena gender mereka, tetapi juga identitas ras mereka. Feminisme gelombang pertama yang mengadvokasikan hak pilih perempuan, misalnya, hanya fokus pada tuntutan-tuntutan perempuan kulit putih.

 Alhasil, pengalaman dan kebutuhan spesifik dari perempuan Afrika-Amerika tidak terakomodasi dalam undang-undang. Dari sini, muncul pemahaman dan gerakan perempuan Afrika-Amerika yang memandang bagaimana penindasan itu bersifat kompleks dan beragam, terutama terhadap perempuan dari kelompok minoritas. 

Sosiolog Afrika-Amerika bernama Patricia Hill Collins menyatakan penindasan perempuan kulit hitam secara struktural ini terdiri atas tiga dimensi yang saling bergantung. Dimensi pertama berhubungan dengan eksploitasi ekonomi. 

Hal ini terjadi ketika perempuan kulit hitam dipekerjakan tanpa mendapat upah yang cukup dan penempatan posisi perempuan sebagai "ibu rumah tangga" yang tidak digaji. 

Rasio antara perempuan kulit hitam dan kulit putih yang bekerja di pekerjaan yang upahnya rendah sendiri meningkat dari 1,99 pada 1910 menjadi 3,27 pada tahun 1920. Dimensi kedua adalah pembatasan hak-hak politik perempuan kulit hitam, seperti hak pilih dan akses yang setara untuk mendapatkan pendidikan. Faktor pendidikan sendiri berpengaruh besar terhadap upah yang didapatkan perempuan. .

Dimensi terakhir melihat pembentukan citra perempuan kulit hitam, sebagai seseorang yang emosional, malas, dan patuh. Stereotip ini kerap menjadi pembenaran bagi perlakuan buruk terhadap perempuan kulit hitam. 

Melalui sudut pandang ini, Collins berargumen bahwa pembentukan citra ini merupakan dimensi yang cukup signifikan dalam mempertahankan penindasan. Pada akhirnya, diskriminasi terhadap perempuan kulit hitam tidak dapat berjalan tanpa justifikasi ideologis, seperti stereotip, yang kuat.

Signifikansi Konsep Interseksionalitas 

Oleh karena itu, konsep interseksionalitas penting untuk disorot. Menurut Kimberly Crenshaw, interseksionalitas adalah gagasan yang melihat bentuk, cara, atau proses penindasan yang bersifat tumpang tindih karena saling bercampurnya identitas yang dimiliki oleh orang-orang tertindas. Berhubung dengan konsep ini, maka feminisme Afrika-Amerika perlu dilihat dari dua aspek yang penting, yaitu gender dan ras.

 Feminisme ini menekankan konteks sosial-historis yang melatarbelakangi perjuangan kesetaraan perempuan di Amerika Serikat. Feminisme jenis ini mengkritik dualitas feminis arus utama yang membagi feminisme menjadi dua cabang, yaitu feminisme kulit putih dan non-kulit putih. 

Feminisme kulit putih sering dianggap sebagai sesuatu yang resmi, utama, dan universal, sedangkan feminisme non-kulit putih sebagai terlarang dan terpinggirkan.

Tokoh dan Organisasi Penggerak

Salah satu tokoh prominan dalam feminisme kulit hitam adalah Sojourner Truth. Dari perspektifnya, pengalaman seorang perempuan adalah suatu kekuatan. 

Kesetaraan dan kebebasan perempuan dapat dicapai melalui tindakan atau action, bukan omongan saja. Bagi Truth, apabila perempuan menginginkan kekuasaan maka ia harus mengambilnya tanpa harus meminta izin dahulu. 

Selain itu, National Association of Colored Women (NACW) menjadi organisasi feminis yang berperan besar dalam mengadvokasikan hak pilih untuk semua perempuan di AS, termasuk perempuan kulit hitam. 

Berdasarkan pandangan mereka, hak pilih merupakan sarana untuk menjamin kewarganegaraan seseorang dan akses terhadap sumber daya dalam masyarakat, baik itu dalam bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan lain sejenisnya. 

Penemu NACW, Lugenia Burns Hope, juga membentuk Atlanta's Neighborhood Union pada 1908. Di bawah kepemimpinannya, Union tersebut melaksanakan kampanye pendidikan kesehatan dan mensponsori kegiatan seni untuk kaum muda. 

Kritik dan Implikasi

Gerakan ini tidak bebas dari kritik. Bagi sebagian feminis di AS, feminisme jenis ini bersifat problematik. Para pengkritik memiliki pandangan bahwa dengan mengkategorisasikan sekelompok orang berdasarkan warna kulit, hal ini justru akan mencegah masyarakat AS untuk beranjak dari masa lalu yang gelap. 

Namun, pembela gerakan feminisme Afrika-Amerika menekankan pentingnya penggunaan istilah "black", "African-American", dan "colored". Penggunaan istilah khusus menjadi krusial untuk menonjolkan pengalaman perempuan-perempuan kelompok minoritas dari yang sebelumnya terpojokan, menjadi lebih teberdayakan.

Dari kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan dalam mencapai kesetaraan gender berjalan secara kompleks. Identitas sebagai perempuan dapat bersifat universal, tetapi juga partikular pada saat yang sama. Tidak hanya di Amerika Serikat, banyak orang di berbagai belahan dunia memiliki pengalaman yang berbeda sebagai perempuan. 

Oleh karena itu, penting untuk dipahami bahwa kesetaraan gender tidak dapat dicapai dengan pendekatan yang seragam dan oleh satu kelompok masyarakat saja. Tiap-tiap perempuan mengalami tantangan sosial-budaya yang berbeda. Alhasil, kebijakan dan gerakan feminis harus inklusif serta memperhitungkan interseksionalitas identitas perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun