"Meong!! Meong!!" Srek.... aku tercakar, badanku terjatuh dari puncak tumpukan sampah. Terguling dan mendarat di tanah yang becek. Rupanya aku diusir, tentu saja karena masuk kewilayahnya. Betapa rakusnya dia, tak bisakah dia sedikit berbagi? Percuma, aku tak bisa melawan. Badanku lebih kecil, lemah, dan rapuh darinya. Daripada berkelahi, lebih baik aku pergi. Masih banyak tumpukan sampah yang lain.
Hari semakin panas, aku kehausan. Air, air, aku butuh air. Untung kemarin turun hujan, setidaknya aku dapat minum dari air yang tergenang. Slup... slup...Â
"Meong..., meong,.... lucu banget," seorang manusia datang padaku, seorang anak perempuan. Â Sial, dia mengingatkanku kembali pada orang itu. Tingginya sepantaran dengan pemilikku sebelumnya. Mereka juga sangat mirip.
"Meong, kubawa kamu kerumah ya? Ibu suka kucing," anak itu berkata dengan riangnya seakan-akan dunia memang begitu indah. Dia menggendongku, pelan dan hangat. Dia segera berlari, melewati beberapa rumah, melintasi jalan kecil dengan cepatnya, aku bahkan sempat melihat mobil tempatku berteduh semalam. Anak itu terus melihat kearahku, wajahnya dihiasi senyuman menghangatkan.Â
Kuputuskan, meski aku akan dibuang lagi, itu tidak masalah. Selama aku masih dapat merasakan kasih sayang, kenyamanan, dan makanan. Sakit hatiku mudah hilang bersama kehangatan yang kurasakan. Aku memang murahan, mudah didapat dan dibuang, tapi itulah aku. Si Kucing Liar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H