Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Si Kucing Liar

18 Maret 2017   09:54 Diperbarui: 18 Maret 2017   10:52 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku si Kucing Liar. Aku tidak punya rumah maupun tujuan. Aku merupakan makna dari kata 'kesepian' dan 'kelaparan'. Akulah yang terlantar. 

Malam itu, angin berhembus dengan sangat kencang. Hujan turun dengan lebat bersama kilatan petir. Didalam kardus rongsokan yang sudah penyot dan dingin, aku mengintip lewat bolongan-bolongan yang menempel di dinding kardus. Ah, rupanya dia sudah letih denganku. Itulah pikiran pertamaku saat melihat wajahnya yang datar tanpa rasa bersalah. Sekali, dua kali, dia mencoba mengintip kedalam kardus yang dibawanya. Mungkin dia berusaha mengetahui keadaanku yang ada didalam. Tetapi untuk apa? Toh aku juga bakal ditelantarkan. Tiba- tiba dia berhenti, ditengah-tengah hujan yang semakin lebat, dia meletakkan 'rumah' baruku di pinggiran lapangan kosong. Dibalik semak-semak belukar yang mampu melukai tubuh kecilku, dia segera meninggalkanku. 

"Meong..., meong,..." aku berteriak, "meong,... meong,..." sekali lagi aku berteriak, "meong,..."

Percuma. Sekeras apapun aku mencoba berteriak memanggilnya, dia tidak dapat mendengarnya. Suaraku kalah keras dengan hujan yang turun. Lagian, dia tidak bakalan mengubah pikirannya untuk menjemputku. 

Kini bagaimana nasibku? Pemilikku sudah membuangku, aku sudah tidak lucu lagi baginya. Baginya, aku hanya mainan murah yang dapat dengan mudah dia dapat dan buang. Kemana aku harus mencari makan? Rumah? Kasih sayang? Bukankah kami sama-sama mahluk ciptaan Tuhan? Tapi mengapa hanya jenisku yang terlantar.

Dalam kegelapan tak henti-hentinya aku mengeong, setidaknya aku berharap ada seseorang berhati malaikat yang mau membawaku. Cukup malam ini saja. Aku sudah tidak kuat dengan 'rumah' yang basah dan penyot ini. Aku kedinginan karena bulu-buluku yang basah. Suaraku makin rintih karena perut yang keroncongan. Oh tuhan, bantulah aku kali ini saja. Tidak bisa, aku tidak bisa berdiam diri disini. Aku bisa mati.

Dengan kakiku yang rapuh dan kedinginan, aku merangkak keluar dari sini. Kupaksakan diriku untuk memanjat. Memanjat, terjatuh, terbalik, sekali lagi aku memanjat. Aku tau tubuh ini sudah lemah, tapi aku harus tetap berusaha. Aku tidak ingin mati. Berkali-kali aku terjatuh, tapi kupaksakan diriku. Berhasil! 

Kini kemanakah aku harus pergi? Ya sudahlah, aku berpasrah saja. Hujan kini mulai mereda. Kaki belakangku sudah tidak kuat lagi berjalan, maka kuseret kaki-kakiku ini. Selamat, ada mobil didepan. Setidaknya aku dapat berteduh disana. Dibawah kolong mobil yang gelap, kurebahkan diri. Di atas aspal yang dingin, kotor dan kasar, aku terlelap. Aku tertidur dengan memimpikan hal-hal indah, meski ku tahu kalau itu tidak mungkin aku dapatkan lagi.

Sinar matahari mulai menyelinap ke kolong mobil, aku pun terbangun akibat suara kendaraan yang berisik. Lapar. Dimana aku bisa mendapat makanan? Dari kejauhan kulihat tumpukan sampah, baunya sangat menyerbak sampai aku bisa menciumnya dari kejauhan. Aku bangkit, aku harus mencari makanan. Aku berjalan melewati jalan yang luas dan panas, tidakku indahkan lagi bahaya dari kendaraan yang lalu lalang di jalan itu. Entah pergi kemana semangat 'tak mau mati'ku semalam? Sekarang aku hanya ingin menghilangkan rasa sakit di perutku ini.

Tumpukan sampah didepan mataku, bahkan lebih tinggi dari tubuhku sendiri. Lalat-lalat hijau yang besar, menghingap di antara tumpukan sampah. Beberapa dari mereka menghingap di bulu-buluku yang masih basah. Bauku yang busuk, dan buluku yang basah mungkin sudah dianggap bak sampah bagi mereka. Ya, memang itu kenyataannya.  Kugaruk tumpukan sampah-sampah itu, cairan kotor keluar dari plastik warna-warni yang kugaruk. Bau busuk kembali menyerbak. Ku tahan bau ini, toh rasa laparku lebih menyakitkan. 

"Meong!!!" teriak seekor kucing, dia lebih besar dan tua dariku. Wajahnya sudah rusak penuh cakaran binatang lain, bulu-bulu hitamnya rontoh dan beruban. Dia mungkin pemilik wilayah ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun