sufisme, Hindu memiliki Yoga, Kristen memiliki Kebiaraan / Santo. Dalam islam, sufisme mendapat serangan dari para ulama karena dianggap bertentangan dengan Teks2 suci, Qur'an & Hadis. Di sisi lain, sufisme mendapat serangan dari luar agama karena dianggap bersifat irrasional-mistis, anti-akal & ilmu, dan sumber kemuduran peradaban. Sebagian orang2 luar islam melihat agama tampak irrasional & anti-akal karena keberadaan sufisme. Sebagian orang2 dalam islam sendiri tidak mau mengakui keberadaan sufisme sebagai bagian dari mereka. "Kenapa sufisme mewakili islam?" Kata mereka.
Diantara yang paling disalahpahami terhadap agama sepanjang sejarahnya adalah aspek spiritualitasnya. Islam memilikiSufisme pada akhirnya terpinggirkan dari masyarakat muslim. Apa sih yang dilakukan dalam sufisme? Kenapa ada sebagian dari dalam atau dari luar islam yang membencinya? Sufisme sebagaimana spiritualitas lainnya adalah epistemologi realita spiritual. Dalam sufisme, orang2 muslim melakuakan satu injungsi/eksperimen kontemplasi intuitif tertentu; pendisiplian diri untuk menggapai data2 alam spiritual. Data2 alam spiritual atau yang sering disebut pengalaman religius ini, lalu dikonfirmasikan validitasnya ke komunitas expert; para salik senior / mursyid / syeikh yang telah menjalani injungsi yang sama sebelumnya. Untuk apa mengejar data2 alam spiritual? Untuk bertransformasi; meningkatkan level eksistensi muslim lebih tinggi, lebih dekat dengan Wujud Nirbatas. Dalam epistemologi spiritual, mengetahui samadengan menjadi. Mendapatkan data2 spiritual sama dengan mengubah diri kita menjadi lebih spiritual. Lalu dimana irrasional, anti-akal, sumber kemunduran, dan anti-Qur'an anti-hadisnya?
Uniknya 3 komponen yang terjelaskan di atas; injungsi, data-pengalaman, dan konfirmasi/falsifikasi-kolektif adalah syarat sesuatu bisa disebut ilmiah. Jadi, sufisme bersifat ilmiah! Sangat bertentangan dengan klaim orang2 luar agama yang menyebut karena sufisme, islam menjadi anti-akal, dan kemajuan.
Pertanyaannya, dimana posisi hadis & Qur'an dalam sufisme? Apa sih output hadis & Qur'an? Outputnya ialah Fiqih / yurispundensi. Apa itu fiqih? Fiqih merupakan tatanan model praktis keberagamaan islam dalam hal sosial-muamalah atau pun ritual. You know what? Tatanan model praktis inilah yang disebut Injungsi. Kenapa suatu agama diharuskan memiliki tatanan model praktis? Apa hakikatnya tatanan model praktis ini? Apalagi kalau bukan sebagai upaya2 / metode2 investigasi akan alam spiritual untuk menggapai Wahdatul Wujud (pencerahan)... Sebagian menyebutnya "untuk menggapai ridho Allah SWT," sebagian lagi menyebutnya "untuk menggapai keselamatan dunia-akhirat." Jadi apanya dari sufisme yang anti-Qur'an dan hadis?
Ketika investigasi alam spiritual terhenti dalam proses kita beragama, yang tertinggal kemudian hanya komponen mental & simbolis dari agama. Agama kalau bukan menjadi alat perdebatan teologis, ia menjadi kumpulan simbol2 dan mitos-mitos literal belaka yang hampa dari makna. Esensi agama kemudian terletak di komponen spiritualnya, bukan di komponen mental atau simbol2-nya. Menyebutnya dengan lebih tepat, esensi agama adalah transformasi eksistensial.
Spiritualitas atau transformasi eksistensial spiritual inilah inti agama, itulah yang mendefinisikan agama sebagai agama. Dengan kata lain sufisme adalah inti islam. Iman, Islam tiada guna jika tidak mengantarkan muslim pada ihsan. Di tataran ihsan inilah sufisme/tasawwuf "bermain". Sufisme selain ia bersifat sangat ilmiah, ternyata juga menjadi inti islam. Lalu dimana irrasional, anti-akal, sumber kemunduran, dan anti-Qur'an anti-hadisnya?
Muslim sufi adalah muslim yang berislam dengan sejati. Mereka yang mengerjakan sholat, zakat dan puasa bukan sekadar kewajiban, melainkan praktek/injungsi/eksperimen kontemplatif intuisi untuk menggapai data2 alam spiritual. Sebagaimana ilmuan melakukan eksperimen di lab tuk mendapatkan data penelitian mengenai molekul sell, para muslim sufi melakukan sholat, zakat, khidmat & puasa di mihrab2 tuk mendapatkan data2 di alam spiritual. Kalau muslim awam sholat sekadar karena kewajiban, muslim sufi sholat untuk mengumpulkan data! Kalau muslim awam zakat untuk mendapatkan bidadari pemuas hasrat di akhirat, muslim sufi zakat untuk menggapai-Nya; menyatu kembali dengan-Nya di alam dunia ini juga!
Diantara perdebatan mengenai teks suci (Al-Qur'an & Sunnah) vis a vis sufisme juga adalah mengenai tolok ukur kebenaran. Sufisme yang cenderung mendasari kebenarannya pada intuisi-kontemplatif, "diklaim" menyampingkan teks, yaitu Al-Qur'an & hadis. Â Ada yang mengklaim sufisme bahkan bertentangan dengan teks suci (Al-Qur'an & hadis) sama sekali. Yang mana kita ingin jadikan tolok ukur kebenaran agama? Apakah teks, intuisi, atau rasio? Jika teks, kebenaran keberagamaan kita ditentukan dari seberapa ia berlandaskan Al-Qur'an & hadis. Jika intuisi, kebenaran keberagamaan kita ditentukan dari pengalaman religius yang kita dapatkan. Jika rasio, kebenaran keberagamaam kita ditentukan dari seberapa rasional kita dalam beragama. So, which one?
Pertama2, agama adalah modul praktek / tatanan praktis & interpretatif yang dilalui para juru kunci (Nabi; Muhammad, Isa, Musa, Buddha, dll) menggapai pencerahan / Wahdatul Wujud. Setelah menggapai pencerahan, para juru kunci "turun gunung" untuk mengajak manusia ikut naik mencapai pencerahan. Dengan apa? Dengan melalui jejak yang sama dilakukan para juru kunci. Untuk bisa menjangkau manusia dengan tingkat akal terendah, modul praktek / tatanan praktis & intepretatif yang dilalui para juru kunci itu lalu dipublikasikan/disampaikan/dimasyarakatkan dengan sangat sederhana. Hal ini memungkinkan semua orang bisa memahami dan menjalaninya agar tergapai pencerahan. Muhammad menyampaikan Qur'an dan Islam. Isa menyampaikan Bible dan Kristen. Musa menyampaikan Taurat dan Yahudi, dll. Qur'an dan hadis pada hakikatnya adalah tatanan modul praktis & interpretatif ini.
Kedua, yang dimaksud tolok ukur kebenaran berdasarkan teks suci ialah tidak benar2 teks suci tersebut, melainkan rasio-tekstual terhadap teks suci (Al-Qur'an & hadis). Ada Qur'an dan hadis. Dengan apa kita memahami keduanya kalau bukan dengan akal? Karena itu yang disebut teks-suci sebenarnya adalah rasio-tekstual. Dan yang disebut rasio adalah rasio-bebas; rasionalitas tanpa sekat2 / batasan2 tekstual tertentu.
Posisi yang sangat nendang dalam mendudukkan teks, intuisi & rasio ini adalah paradigma Mulla Shadra. Teks diperlukan bagi kita supaya mendapatkan injungsi (yang berfungsi) untuk menembus alam spiritual. Intuisi diperlukan untuk memampukan kita mendapatkan data2 yang ada di alam spiritual melalui injungsi yang dilakukan. Setelah mendapatkan data2 spiritual, kita perlu menginterpretasikan dan mengungkapkannya secara rasional sesuai teks. Saat memersepsi data2 spiritual, ilmu yang didapatkan bersifat hudhuri, artinya pasti benar! Tetapi saat mengungkapkan data2 spiritual, ilmu yang didapatkan bersifat hushuli, artinya bisa salah! Saat kita demam misalnya, demam yang kita rasakan bersifat ilmu hudhuri, artinya tiada ragu, yang kita rasakan pasti demam. Tetapi ketika ditanya, "coba deskripsikan seperti apa demam yang kamu rasakan," cara kita mengungkapkannya bersifat ilmu hushuli, pasti bisa salah. Orang bisa saja menjawab, "demam yang saya rasakan dok seperti orang mau mati." Apa maksudnya "seperti mau mati?" Apa kriteria manusia mau mati? Sekarat. Apakah demam sama dengan sekarat? Tidak. Data2 spiritual-transformatif yang kita dapatkan (pengalaman2 religius-spiritual yang kita alami) perlu bisa diungkapkan secara tepat! (Rasional & sesuai alat / tatanan interpretasi yang kita gunakan)
Dari paparan diatas dapat dipahami kendalanya hanya terletak pada bagaimana memosisikan teks, intuisi, dan rasio saja. Terlihat kita dapat mengharmoniskan teks, intuisi & rasio. Kita dapat simpulkan dengan begitu, tolok ukur rasio-tekstual digunakan untuk menguasai injungsi. Setelah menguasai injungsi yang benar, kita lanjut lakukan injungsi tersebut pakai intuisi. Tolok ukur intuisi-kontemplatif digunakan untuk memungkinkan kita memersepsi data2 spiritual yang ada di alam (world-space) spiritual. Setelah dapat (data), pakai kembali rasio-tekstual. Tolok ukur rasio-tekstual sekali lagi digunakan untuk menginterpretasi & mengungkapkan data2 yang kita dapatkan untuk kemudian diuji via falsifikasi-kolektif. Terdapat satu hal lain yaitu, rasio-bebas, digunakan di tahap paling awal pra-injungsi agar orang2 (menemukan alasan kenapa) mau menjalani injungsi2 tertentu.
Karena kemajuan hebat spiritualitas, sejak abad post-modern, terdapat dua fitur rasio-tekstual. Fitur surface dan fitur deep. Perkembangan spiritualitas abad ini berhasil menemukan ternyata realita spiritual adalah realita yang dipersepsi sama, hanya disebut dengan banyak nama. Surga adalah realita yang sama, hanya saja disebut Jannah oleh Muslim, Heaven oleh Kristen dan Valhalla oleh orang2 Viking. Surga sebagai realita yang sama adalah fitur deep dari konsep ini. Jannah, Heaven, dan Valhalla adalah fitur surfacenya. Penemuan ini semakin memungkinkan spiritualitas diteguhkan sebagai sesuatu yang ilmiah.
Saat dikatakan "ber-islam-lah anda!" Maknanya bisa dua; pertama, mengajak orang bersyahadat dan pindah ke agama islam. Kedua, mengajak orang memasrahkan diri sepenuhnya pada Wujud Absolut, entah apapun agamanya bagaimana pun caranya. Yang pertama adalah fitur surface; fitur partikular yang khusus, sedangkan yang kedua adalah fitur deep; fitur universal yang umum, dari suatu teks suci. Saat ada ayat Bible menyebutkan, "Akulah jalan, hanya lewat Aku kalian sampai pada Bapa." Maknanya bisa mengajak orang dibaptis masuk Kristen atau mengajak orang mengambil perantara juru kunci; orang-orang suci (bukan sembarang orang) yang otoritatif dari agama mana pun tuk menapaki jalan transformasi kembali kepada-Nya.
Nah, tolok ukur rasio-tekstual yang digunakan menguasai injungsi yang benar di awal berbeda dengan rasio-tekstual yang digunakan menginterpretasi data di akhir. Di awal kita menggunakan tolok-ukur rasio-tekstual berbasiskan fitur surface (surface-based). Di akhir kita gunakan tolok-ukur rasio-tekstual berbasiskan fitur deep (deep-based).
Jadi, rasio-bebas digunakan sebagai tolok ukur kebenaran fundamental di tahap pra-injungsi. Rasio-tekstual surface-based digunakan sebagai tolok ukur kebenaran teknis di tahap penguasaan injungsi. Intuisi-kontemplatif digunakan sebagai tolok ukur kebenaran esensial di tahap menggapai data-pengalaman spiritual melalui injungsi. Rasio-tekstual deep-based digunakan sebagai tolok ukur kebenaran interpretatif sebelum tahap falsifikasi-kolektif (dimana salik menginterpretasikan & mengungkapkan data spiritual yang dialami tuk uji validitas). Seperti inilah epistemologi (seni) transformasi transmental (epistemologi tasawwuf).
Sebagai suplemen, kita bisa menjalankan seiring waktu epistemologi sains transmental, yaitu neurotheology dan behaviorisme religio-spiritual. Hal ini membantu percepatan proses transformasi yang dilakukan. Kedua cabang ilmu tersebut juga menjadi temuan modernitas yang tidak bisa kita remehkan; memberikan, pada faktanya, kontribusi luar biasa bagi transformasi spiritual kita.
Sebagai kesimpulan, keberagamaan kita harus berbasiskan rasionalitas sebelum mengambil satu injungsi tertentu (sebelum beragama, kita perlu yakin secara rasional kenapa kita beragama & mengapa agama & aliran agama itu yg dipilih). Keberagamaan kita lalu harus berbasiskan fitur surface Al-Qur'an dan hadits dalam menguasai injungsi tertentu (sholat kita wudhunya harus benar, bacaannya harus sesuai tajwid, prosedur & gerakannya harus sesuai Qur'an & hadis), keberagamaan kita harus berdasarkan pengalaman religius saat menjalankan Injungsi tertentu. Terakhir, keberagamaan kita harus berbasiskan fitur deep Al-Qur'an & hadis saat kita menginterpretasi & mengungkapkan data2 spiritual yang diperoleh tuk diuji-kolektif.
Dalam pengujian falsifikasi-kolektif, penguji melandaskan pada rasio-bebas untuk menguji latar belakang mengambil injungsi (bagai bab 1 & bab 2). Penguji melandaskan pada rasio-tekstual suface-based tuk menguji kesesuaian injungsi (bagai bab 3). Penguji melandaskan pada intuisi-kontemplatif tuk menguji kevalidan data spiritual yang didapat (bagai bab 4 "hasil penelitian"). Penguji melandaskan pada rasio-tekstual deep-based tuk menguji ketepatan interpretasi data (bagai bab 4 "pembahasan"). Esensi pengujian falsifikasi-kolektif tepatnya ada di 2 pengujian terakhir.
Secara singkat,
1. Pastikan mengambil injungsi berdasarkan landasan (fundamental) rasional-bebas.
2. Pastikan menguasai injungsi berdasarkan landasan (teknis) rasional-tekstual surface-based.
3. Pastikan menjalankan Injungsi berdasarkan landasan (esensial) intuisi-kontemplatif individual.
4. Pastikan pemaknaan data injungsi berdasarkan landasan (interpretatif) rasional-tekstual deep-based.
Ingat dalam epistemologi seni transformasi spiritual mengetahui samadengan menjadi. Dengan kata lain epistemologinya adalah aksiologinya itu juga. Karenanya, selesainya tahap falsifikasi-kolektif (tahap setelah poin 4 di atas) menandai titik akhir dari 1 siklus proses perubahan eksistensial sang salik (pejalan spiritual). Setelah semua proses epistemik dilakukan, diri dan kehidupan sang salik resmi berubah / bertransformasi sepenuhnya (titik harakah jauhariy). Salik sebelum proses berbeda dengan salik setelah melalui proses tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H