Dari paparan diatas dapat dipahami kendalanya hanya terletak pada bagaimana memosisikan teks, intuisi, dan rasio saja. Terlihat kita dapat mengharmoniskan teks, intuisi & rasio. Kita dapat simpulkan dengan begitu, tolok ukur rasio-tekstual digunakan untuk menguasai injungsi. Setelah menguasai injungsi yang benar, kita lanjut lakukan injungsi tersebut pakai intuisi. Tolok ukur intuisi-kontemplatif digunakan untuk memungkinkan kita memersepsi data2 spiritual yang ada di alam (world-space) spiritual. Setelah dapat (data), pakai kembali rasio-tekstual. Tolok ukur rasio-tekstual sekali lagi digunakan untuk menginterpretasi & mengungkapkan data2 yang kita dapatkan untuk kemudian diuji via falsifikasi-kolektif. Terdapat satu hal lain yaitu, rasio-bebas, digunakan di tahap paling awal pra-injungsi agar orang2 (menemukan alasan kenapa) mau menjalani injungsi2 tertentu.
Karena kemajuan hebat spiritualitas, sejak abad post-modern, terdapat dua fitur rasio-tekstual. Fitur surface dan fitur deep. Perkembangan spiritualitas abad ini berhasil menemukan ternyata realita spiritual adalah realita yang dipersepsi sama, hanya disebut dengan banyak nama. Surga adalah realita yang sama, hanya saja disebut Jannah oleh Muslim, Heaven oleh Kristen dan Valhalla oleh orang2 Viking. Surga sebagai realita yang sama adalah fitur deep dari konsep ini. Jannah, Heaven, dan Valhalla adalah fitur surfacenya. Penemuan ini semakin memungkinkan spiritualitas diteguhkan sebagai sesuatu yang ilmiah.
Saat dikatakan "ber-islam-lah anda!" Maknanya bisa dua; pertama, mengajak orang bersyahadat dan pindah ke agama islam. Kedua, mengajak orang memasrahkan diri sepenuhnya pada Wujud Absolut, entah apapun agamanya bagaimana pun caranya. Yang pertama adalah fitur surface; fitur partikular yang khusus, sedangkan yang kedua adalah fitur deep; fitur universal yang umum, dari suatu teks suci. Saat ada ayat Bible menyebutkan, "Akulah jalan, hanya lewat Aku kalian sampai pada Bapa." Maknanya bisa mengajak orang dibaptis masuk Kristen atau mengajak orang mengambil perantara juru kunci; orang-orang suci (bukan sembarang orang) yang otoritatif dari agama mana pun tuk menapaki jalan transformasi kembali kepada-Nya.
Nah, tolok ukur rasio-tekstual yang digunakan menguasai injungsi yang benar di awal berbeda dengan rasio-tekstual yang digunakan menginterpretasi data di akhir. Di awal kita menggunakan tolok-ukur rasio-tekstual berbasiskan fitur surface (surface-based). Di akhir kita gunakan tolok-ukur rasio-tekstual berbasiskan fitur deep (deep-based).
Jadi, rasio-bebas digunakan sebagai tolok ukur kebenaran fundamental di tahap pra-injungsi. Rasio-tekstual surface-based digunakan sebagai tolok ukur kebenaran teknis di tahap penguasaan injungsi. Intuisi-kontemplatif digunakan sebagai tolok ukur kebenaran esensial di tahap menggapai data-pengalaman spiritual melalui injungsi. Rasio-tekstual deep-based digunakan sebagai tolok ukur kebenaran interpretatif sebelum tahap falsifikasi-kolektif (dimana salik menginterpretasikan & mengungkapkan data spiritual yang dialami tuk uji validitas). Seperti inilah epistemologi (seni) transformasi transmental (epistemologi tasawwuf).
Sebagai suplemen, kita bisa menjalankan seiring waktu epistemologi sains transmental, yaitu neurotheology dan behaviorisme religio-spiritual. Hal ini membantu percepatan proses transformasi yang dilakukan. Kedua cabang ilmu tersebut juga menjadi temuan modernitas yang tidak bisa kita remehkan; memberikan, pada faktanya, kontribusi luar biasa bagi transformasi spiritual kita.
Sebagai kesimpulan, keberagamaan kita harus berbasiskan rasionalitas sebelum mengambil satu injungsi tertentu (sebelum beragama, kita perlu yakin secara rasional kenapa kita beragama & mengapa agama & aliran agama itu yg dipilih). Keberagamaan kita lalu harus berbasiskan fitur surface Al-Qur'an dan hadits dalam menguasai injungsi tertentu (sholat kita wudhunya harus benar, bacaannya harus sesuai tajwid, prosedur & gerakannya harus sesuai Qur'an & hadis), keberagamaan kita harus berdasarkan pengalaman religius saat menjalankan Injungsi tertentu. Terakhir, keberagamaan kita harus berbasiskan fitur deep Al-Qur'an & hadis saat kita menginterpretasi & mengungkapkan data2 spiritual yang diperoleh tuk diuji-kolektif.
Dalam pengujian falsifikasi-kolektif, penguji melandaskan pada rasio-bebas untuk menguji latar belakang mengambil injungsi (bagai bab 1 & bab 2). Penguji melandaskan pada rasio-tekstual suface-based tuk menguji kesesuaian injungsi (bagai bab 3). Penguji melandaskan pada intuisi-kontemplatif tuk menguji kevalidan data spiritual yang didapat (bagai bab 4 "hasil penelitian"). Penguji melandaskan pada rasio-tekstual deep-based tuk menguji ketepatan interpretasi data (bagai bab 4 "pembahasan"). Esensi pengujian falsifikasi-kolektif tepatnya ada di 2 pengujian terakhir.
Secara singkat,
1. Pastikan mengambil injungsi berdasarkan landasan (fundamental) rasional-bebas.
2. Pastikan menguasai injungsi berdasarkan landasan (teknis) rasional-tekstual surface-based.
3. Pastikan menjalankan Injungsi berdasarkan landasan (esensial) intuisi-kontemplatif individual.
4. Pastikan pemaknaan data injungsi berdasarkan landasan (interpretatif) rasional-tekstual deep-based.
Ingat dalam epistemologi seni transformasi spiritual mengetahui samadengan menjadi. Dengan kata lain epistemologinya adalah aksiologinya itu juga. Karenanya, selesainya tahap falsifikasi-kolektif (tahap setelah poin 4 di atas) menandai titik akhir dari 1 siklus proses perubahan eksistensial sang salik (pejalan spiritual). Setelah semua proses epistemik dilakukan, diri dan kehidupan sang salik resmi berubah / bertransformasi sepenuhnya (titik harakah jauhariy). Salik sebelum proses berbeda dengan salik setelah melalui proses tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H