Sebuah hadiah kemerdekaan untuk kita yang lalai, bahkan abai
Kegilaan itu, mulanya hanya sesuatu seukuran tai kambing menjijikkan. Bentuknya yang bulat, padat, keras, dan berwarna hitam legam menempel di atas tempayan yang baru selesai kubuat. Tak peduli aku mulanya. Tapi, semenjak sepuluh kali panen padi, aku amati kegilaan itu hampir menutupi sepertiga bibir tempayan. Membesar dan terus membesar tiap harinya, sama seperti hasratku memusnahkannya!
Berbagai alat sudah aku pakai guna melenyapkannya, dari mulai pakai pisau dapur sampai pakai linggis. Pun berbagai cara sudah aku coba, dari mulai membelahnya sampai mencongkelnya. Keparat! Tetap saja usahaku sia-sia.
"Sialan! Malah tempayanku jadi cuil!" umpatku. Aku yang kadung emosi berniat membuang tempayan yang kubuat susah payah ke halaman belakang. Ya, Â tempat yang sama dimana Bapak mebuang sampah dan seonggok tai anjing kesayangannya Tuan Gubernur Jendral de Graeff.
Sesampainya di halaman belakang, aku tak sampai hati meluapkan hasrat kedongkolanku. Hasrat itu selalu mandek, tersangkut di antara dinding tenggorokkan meskipun aku mencoba memuntahkannya. Maka kutinggalkan tempayan cuil yang dilekati kegilaan itu di barat liang yang penuh sampah dan taik anjing. Sebuah liang besar. Lebih besar bila dibandingkan pusara Bonifacius Cornelis de Jonge.
"Toh tempayan ini hanya cuil sedikit. Masih bisa buat padasan kalau Bapak selesai membuang taik anjing dan semua sampah pekarangan majikannya. Tak bisa lagi Ia mengelak dengan alasan ini-itu kalau kusindir atau kusampaikan terang-terangan kebiasaan buruknya: Mmakan dengan kuku-kukunya yang panjang hitam-hitam menjijikkan! Atau kususruh cuci tangan. Sedikit tenanglah aku, kemungkinan Bapak selangkah lebih jauh dari bahaya cacingan!
Puspa Tajem. Ayam-ayam belum beranjak memulai pengembaraannya, mengorek setiap rezeki yang ditebar Sang Kekal ke tiap kiblat. Rezeki yang jatuh tanpa memilih tempat, bahkan di selokan sekalipun.
Sebuah pewarta lelayu mengumandang. Memecah ketenangan dan kemalasan yang disebabkan hawa dingin dari puluhan ribu titik embun. Dua mayat ditemukan di halaman belakangku.
"Aku tak mengada-ada. Aku berani sumpah! Sebelum Chalid memukul titir satu, sekelebat Banaspati dari Timur melewati rumahnya dan hilang di rimbun pohon bambu belakang rumahnya," kata Mounsjou sambil menghujamkan pandangannya yang tajam kepadaku. "Aku yang mulai merasa tak enak langsung lari ke arah Banaspati itu lenyap. Chaid Salim yang lintang pukang, keringatan, napasnya kacau sampaikan -- Ia temukan dua mayat di halaman belakang rumahnya. Salim kusuruh buru-buru ke pos wartakan ada raja pati, sementara aku ke lokasi. Dua mayat sekaligus! Tak main-main" tambahnya menekan, mendesakku jadi dalang.
"Tak mau lah aku ikut-ikutan, nanti malah jadi korban tumbal," ujar seseorang sambil meninggalkan kerumunan. Beberapa orang saling toleh, berbisik. Tiga, empat, tujuh orang menyusul meninggalkan, tanpa mengutarakan alasan satupun. Acuh.
"Hati-hati! mereka mati tak wajar, jangan-jangan jadi tumbal pesugihan. Kalian bisa lihat, tak ada tanda bacokan parang, lilitan tali, atau keracunan. Tubuh mayat itu tercabik seperti dimakan buaya!" teriak mereka dari kejauhan. "Di kampung gersang ini buaya tak berkeliaran, kalau bukan buaya jadi-jadian!" sahut yang lain.