Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar hidup

Lahir di negeri cincin api, hidup sebagai penyaksi, enggan mati sekedar jadi abu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita yang Tak Patut Diceritakan

5 Desember 2016   22:59 Diperbarui: 5 Desember 2016   23:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

  Kepada Yth Para Mahasiswa

           Kabarnya dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia peran pemuda terpelajar tak lain adalah penggerak perubahan, pendobrak pemikiran kolot, pemikiran yang berusaha menjinakkan dan meniadakan kritikan. Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, Lengsernya Orde Lama dan Orde Baru ? Apakah engkau masih ragu dengan peran pemuda terpelajar sebagai pembaharu keadaan ?Aku yakin dalam hatimu tentu akan merasa bangga terhadap capaian para leluhurmu. Rasa isi tentu mendorongmu untuk mengikuti spirit juangnya.

            Tetapi bagaimana dengan keadaan sekarang ini ? Kemana mahasiswa yang menyuarakan lantang ketidakadilan ? Tidak ada suasana riuh yang tetiba sunyi. Sederhananya jika pada rimba terjadi kebakaran hampir separuhnya tentu dalam memadamkan kobar apinya tidak sama halnya dengan memadamkan nyala api pada lentera kan ?

            Aku rasa perubahan yang digencarkan mahasiswa tidak selamanya murni berangkat dari kesadaran diri utuh dan keberpihakan penuh dengan semangat kerakyatan. Saya masih ingat, Hasyim Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Im dalam karyanya berjudul Telikungan Kapitalisme Global menjelaskan bahawasannya setiap usaha untuk memberikan diagnosa dan terapi atas persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterikatan dengan konstelasi global, niscaya akan menemui kegagalan (Hayim Wahid, hlm. 1).

            Baru aku sadari kesemuanya itu manakala aku banyak membaca, berdiskusi, dan merefleksikan segala yang kudapat dari dunia kata-kata (baca : buku) dengan dunia nyata-bumi manusia. Dan sampai akhirnya, aku tak sadar seberapa langkahku jauh meninggalkan kampung halaman sampai aku hampir lupa jalan pulang.

            Dunia perkuliahan dan seluruh seluk beluknya (kebijakan, tim pelaksana) dan kelompok penekan (baca: kaum pergerakan) telah membawa ku mungkin juga engkau dalam dunia yang tidak kita pijak. Dunia dimana kita tidak tahu siapa diri kita. Apakah kita ini manusia, dewa, atau hantu ? Dan ilmu-ilmu perkuliahan, dan doktrin-doktrin perjuangan telah mercerabut kita dari akar prinsip, dan budi luhur yang sedari kecil diajarkan.

            Bukan kah seorang penjual tidak pernah menganjurkan pembeli untuk jeli dan mengkritisi barang dagangan yang ia tawarkan ? tentu sebagai seorang penjual baik dengan disadari atau tidak – pun saya akan melakukan hal yang sama. Lebih memilih barang dagangannya laku dengan lebih banyak melakukan bujukan – mengobral kata-katanya sampai si pembeli percaya dan memastikan barag dagangannya laku – bahkan memastikan si pembeli tidak akan menawar harga yang dipatoknya. Tidak ada kompromi !

            Ya, keadaan yang semakin pelik membuat dan memaksa kita untuk menjadi pedagang yang lebih menekankan kuntungan daripada kejujuran.

            Dari Mahasiswa Mau Kemana ?

            Mengenakan jas almamater, duduk diruang ber-AC, mengkonumsi teori-teori ilmu pengetahuan, dan menyandang lebel agen perubahan – siapa yang tidak menginginkan ? Aku bangga menjadi seorang mahasiswa. Pada awal-awal masuk perkuliahan dan mengenal samudera ilmu yang sungguh luas tentu akan menumbuhkan benih kesombongan dalam diri. Baik itu kecil. “Ya, aku mahasiswa ! Tau kah kau tentang…?” pertanyaan itu yang kerap muncul ditengah forum temu kangen dengan teman-teman alumni SMK yang kebanyakan kerja. Mungkin teman-teman dalam benaknya berpikir aku yang sok tau. Ya, aku memang tau ketimbang kalian. Apalagi aku kuliah di Yogya, sebuah kota pusat ilmu pengetahuan dan basis gerakan yang kerap melahirkan tokoh-tokoh besar.

            Tau kau dengan Bapak-Ibu yang kini menjadi mentri, dewan, bupati ? mereka jebulan Organisasi mahasiswa yang aku ikuti. Mereka dulu sama sepertiku-seperti kalian. Setelah mereka kuliah, aktif berorganisasi, berjejaring mereka tidak kesulitan dalam mencari gawean (baca : pekerjaan). Kelak mungkin nasibku sama dengan mereka dan aku yang akan menggantikan mereka. Mengatasi banyaknya pungli, menurunkan harga kebutuhan pokok yang tinggi, pokoknya pro wong alit (baca : menengah kebawah).

            Aku berproses. Dan begini prosesku yang aku tuangkan dalam cerita yang tak patut diceritakan. Tapi barangkali akan menjadi sangat menarik jika engkau tau di bumi manusia ini benar tidak bisa kau berfikir dengan cara-cara berfikir nabi atau para wali (baca : orang-orang pilihan) apalagi jika fikiran suci manusia telah terkontaminasi yang namanya politik ! maka di abad ke dua puluh satu ini kau semestinya berfikir dengan cara-cara manusia. Manusia sebagai perubah keadaan dengan berbagai kepentingannya.

            Aku mulai dan mengajak engkau berfikir mengapa atmosfer zaman perbedaannya. Aku tidak mau muluk-muluk membandingkan zaman orde baru dengan hari ini. Lihat saja pada tahun 2010 kau bisa telisik kebenarannya bagaimana mahasiswa di Yogya masih bersahabat dengan jalanan – menyuarakan hasil pembacaan matang tentang situasi pemerintahan. Buku-buku sosial-ekonomi-politik dengan kajian kemasyarakatan, teologi pembebasan, pemikiran para tokoh mereka jadikan amunisi sehingga terbentuk suatu konsepsi. Media masa dan jalanan mereka jadikan penyalur konsepsi.

            Aku masih merasakan pada generasiku 2014 bagaimana aksi demonstrasi masih digencarkan kaum gerakkan. Dan kini ? Mahasiswa saja jauh dari buku. Bahkan jika mereka ditanya tentang pendiri bangsanya sendiri, hanya sedikit dari mereka yang mengetahui arah pemikiran para tokoh bangsa. Aku pun begitu kini seakan jauh dari para tokoh pendiri negeriku.

            Ini adalah sejarah. Sejarah baru generasi ku termasuk aku. Generasi Linglung.

            Yogyakarta, Oktober 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun