Indonesia adalah negara besar yang dinaungi beragam suku bangsa dengan budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Keberagaman ini tentu harus memiliki payung ideologi yang dapat mengayomi segala perbedaan di dalamnya. Ideologi ini nantinya akan mengikat erat keberagaman sehingga perpecahan akibat egosentris dapat diidentifikasi dan diantisipasi lebih dini. Perlu diakui, egosentris acapkali menjadi tabir hitam penghalang persatuan dan kesatuan antar sesama anak bangsa. Padahal keberagaman harusnya menjadi salah satu variabel yang dapat menyatukan berbagai perbedaan.
Bersyukurnya, founding father bangsa ini telah memikirkan isu keberagaman ini jauh sebelum kemerdekaan diproklamirkan. Para pendiri bangsa telah memikirkan perlunya idieologi bangsa yang haluannya menyatukan keberagaman ini. Bung Karno sebagai salah pendiri bangsa dalam pidatonya 1 Juni 1945 kemudian mengemukakan rumusan dasar-dasar negara yang dinamakan Pancasila. Ide yang dikemukakan tersebut menjadi rumusan panitia kemerdekaan indonesia yang dalam perkembangannya mengalami tahapan perubahan dalam rumusannya. Hingga bermuara pada penetapan secara resmi Pancasila sebagai dasar negara oleh Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 yang terdiri dari lima asas.
Pancasila tidak berdiri sendiri namun ditopang oleh berbagai kearifan lokal dari seluruh pelosok nusantara. Tentu saja dalam pengamalannya berdasarkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila itu sendiri.Â
Seperti halnya 'Poasa-Asa Pohamba-Hamba', kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Tomia, Wakatobi.
Secara suku kata 'Poasa-Asa Pohamba-Hamba' berarti bersama-sama saling tolong menolong.
Jika mengacu dari makna etimologinya kearifan lokal masyarakat Tomia tersebut mengusung nilai gotong royong dalam penerapannya. Dimana gotong royong sejatinya merupakan salah satu nilai yang terkandung dalam pengamalan nilai luhur Pancasila.
Hingga kini masyarakat Tomia tetap memegang teguh prinsip tersebut. Prinsip kebersamaan dan gotong royong yang dibangun masyarakat Tomia tetap tegak ditengah gempuran perkembangan zaman yang lebih mengedepankan sikap individualistik. Bagi masyarakat Tomia, gotong royong dalam bingkai 'Poasa-Asa Pohamba-Hamba' merupakan kearifan lokal warisan leluhur yang harus dijaga dengan baik hingga generasi selanjutnya.Â
'Poasa-Asa Pohamba-Hamba'Â memberi kode bahwa potret pengamalan nilai luhur pancasila selalu bersinergi dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia termasuk kearifan lokal masyarakat Tomia.
Khusus kearifan lokal masyarakat Tomia tentu ini tidak semata sebagai simbol saja, namun tercermin di setiap kegiatan masyarakat Tomia yang selalu mengedepankan kebersamaan dan tolong menolong. Masyarakat Tomia sadar bahwa kebersamaan adalah kunci pemersatu keragaman dan perekat persatuan antar sesama anak bangsa.
Kearifan lokal 'Poasa-Asa Pohamba-Hamba' merupakan satu dari sekian banyak pesona kearifan lokal bangsa Indonesia yang pengamalannya tetap berpedoman pada nilai asas Pancasila sebagai dasar negara sekaligus pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Â
Melalui kearifan lokal masyarakat Tomia, mengajarkan bahwa konsep gotong royong hendaknya dibangun mulai dari kehidupan bermasyarakat hingga lebih luas lagi dan menjadi benteng kokoh pemersatu semua simpul kekayaan budaya nusantara. Tentu saja dalam penerapannya Pancasila mempedomani kearifan lokal tersebut.Â
Menerapkan kearifan lokal 'Poasa-Asa Pohamba-Hamba' sama halnya mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Untuk itu, mari menjaga dan mengamalkan kearifan lokal ini agar tidak tergerus oleh arus globalisasi, pun tali persatuan tetap terjalin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H