generasi muda sekarang? Benarkah demikian?Â
Post-truth menjadi ancaman serius bagiPost-truth adalah suatu era dimana fakta objektif lebih dikucilkan, sementara itu emosi dan keyakinan personal lebih dirujuk dalam membentuk opini publik. Publik lebih mendasarkan kebenaran pada emosi pribadi yang didorong oleh sensasi, viralitas dan dramatisasi suatu isu.  Menariknya, fenomena post-truth ini menggunakan fakta tertentu yang tidak sesuai dengan konteksnya untuk mendukung kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dalam meyakinkan publik. Hal tersebut menyebabkan batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi sulit dibedakan, sehingga memicu terjadinya hoax, fake news dan hate speech.
Sebenarnya istilah post-truth telah diperkenalkan oleh Steve Tesich sejak tahun 1992 dalam esainya yang berjudul The Government of Lies. Kemudian, tren post-truth semakin meningkat dengan hadirnya platform digital yang semakin memberikan kebebasan pada setiap individu untuk menerima, menyebarkan informasi, bahkan membuat informasi pribadi. Di Indonesia sendiri, fenomena post-truth terlihat nyata pada perhelatan akbar demokrasi di tahun 2019 dan 2024, dimana berita hoax banyak menghiasi platform digital sebagai senjata utama untuk mempengaruhi publik dalam menentukan pilihanya.
Lantas, bagaimana dengan sikap generasi muda? Generasi muda yang aktivitasnya lebih dominan dilakukan di platform digital menjadi kelompok yang rentan terpapar hoax akibat adanya fenomena post-truth tersebut. Sebab, platform digital khususnya sosial media menjadi saluran utama yang mendukung terciptanya berita hoax, bahkan kominfo mencatat bahwa telah ada 12.547 konten hoax dalam kurun waktu Agustus 2018 sampai Desember 2023. Fakta tersebut semakin memprihatinkan dengan kondisi generasi muda sekarang minim literasi dan kemampuan berpikir kritis yang rendah, sehingga berita yang diterima tidak dapat difilter dengan baik.
Apa dampak buruk post-truth bagi generasi muda? Dampak negatif yang paling dirasakan adalah kecemasan, keresahan, terjadinya konflik antar generasi muda, polarisasi kelompok sosial, ujaran kebencian, isu SARA dan berbagai dampak merugikan lainya. Kondisi tersebut nyatanya akan semakin merusak mental generasi muda. Padahal generasi muda yang diharapkan menjadi aktor dalam mewujudkan indonesia emas 2045, namun dengan kehadiran fenomena post-truth tersebut akan menjadi hambatan bagi kemajuan generasi muda kedepan.
Oleh sebab itu, perlu adanya peningkatan literasi di kalangan generasi muda agar dapat memfilter berbagai berita yang diterima di platform digital. Kemudian kemampuan berpikir kritis juga perlu ditingkatkan agar tidak mudah percaya dengan berbagai isu dan dapat mengidentifikasi kebenaran dari isu tersebut. Selain itu, etika berkomunikasi pada platform digital juga perlu diperhatikan sebagai acuan utama yang membimbing penggunanya agar dapat menggunakan platform digital dengan bijak. Menurut Bustami et al. (2024) etika tersebut bertujuan untuk melindungi hak pengguna platform digital, seperti hak atas informasi yang benar, hak atas privasi dan hak atas kebebasan berekspresi.
Harapanya generasi muda dapat lebih bijak dalam menggunakan platform digital, terutama media sosial agar berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh fenomena post-truth tersebut dapat dihindari. Apalagi bertepatan dengan momentum pesta demokrasi atau PILKADA 2024 akan semakin menonjolkan fenomena post-truth, seperti berita hoax, fake news dan hate speech. Oleh sebab itu, generasi muda harus lebih bijak dalam menggunakan platform digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H