Pertama, mengintrodusir Bawaslu Kabupaten/Kota dalam aturan pelaksana (PKPU/Perbawaslu) tentu bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan yakni kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Namun melihat sisi efisiensi, pemuatan nomenklatur tersebut, sangat sesuai dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Kedua asas yang tercantum dalam Pasal 5 UU 12/11 tentang Pembentukan Perundang-undangan / UU P3) asas-asas tersebut merupakan hal yang wajib ditaati. Jadi, faktualnya saat ini adalah terjadi konflik asas.
Berbeda dengan konflik norma, dalam jenjang pengetahuan hukum dogmatik dan teoritik, jawaban ini tidak akan ditemukan. Sebab konflik asas adalah bidang kajian filsafat hukum. Menurut Herman Bakir, yang mana jikalau dua asas berkonflik, maka yang didahulukan adalah pendekatan keadilan. Keadilan disini adalah sebagaimana prinsip neminem laedere menurut Schopenhuear, yakni prinsip menghindari tindakan yang menyebabkan penderitaan, kerugian bagi orang banyak.
Dapatlah dimaknai bahwa tidaklah perlu perekrutan kembali lembaga pengawas pemilihan dengan menguras energi negara. Meskipun nomenklatur, sifat organ, dan keanggotaan berbeda antara UU Pilkada dengan UU Pemilu. Notabene pun lembaga pengawas pemilihan itu diberi nama apapun jua, ia tetap terdesain sebagai pengontrol tegaknya asas penyelenggara dan asas penyelenggaraan pemilihan. Ditambah pula sifat Bawaslu Kabupaten/Kota yang kini menjadi permanen akan menunjang pelaksanaan fungsi pengawasan pemilihan.
Kedua, persoalan keabsahan penyelenggaraan Pilkada saat ini manakala MK mengabulkan permohonan dengan mengakomodir Bawaslu Kabupaten/Kota sebagai pengawas. Dalam jejak hukumnya, saat UU Pemilu berlaku, disaat bersamaan pula Panwas Kab/Kota (ad-hoc) mengawasi 2 (dua) tahapan yang beririsan dan saling menindih yakni tahapan Pilkada 2018 dan tahapan Pemilu 2019 yang dimulai sejak akhir 2017, 2018, hingga 2019. Inilah contoh, legitimasi itu tetap ada sepanjang tidak ada pembatalan (annuled). Hal ini berpijak pada Asas presumptio iustea causa. Sepanjang itu tetap konstitusional.
Lebih jauh menukik, bagaimana jika yang dipertanyakan perihal landasan Asas Non Retroaktifnya? Yah, bidang lingkup Hukum Administrasi Negara sesungguhnya tidak kokoh menganut Asas Non Retroaktif. Ia bisa saja menjadi retroaktif (berlaku surut), yang beroperasi pada waktu sebelum ditetapkan. Salah satu keadaan yang membenarkan, menurut Elmer A. Driedger adalah undang-undang yang membawa akibat baik terhadap peristiwa yang sebelumnya terjadi. Notabene UU Pilkada dapat dikategorisasi dalam hal ini. Sebagaimana pendekatan efisiensi dan keadilan diatas.
Kembali ke atribusi. Melihat kewenangan Bawaslu Kabupaten/Kota dari sisi materil, sesungguhnya dalam jejak peraturan perundang-undangan. Pada level aturan pelaksana (autonome satzung) seperti pada PKPU 16/2019 dan berbagai Perbawaslu terbaru, sudah memberikan kewenangan terhadap Bawaslu kabupaten/Kota untuk menjalankan fungsinya.
Sebagai bahan rujukan, menjejaki Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, yang mana fungsi kemandirian penyelenggara pemilihan telah menempatkan posisi yang setara antara Bawaslu dengan KPU. Jauh sebelum itu pula Putusan MK Nomor: 72 -73/PUU-II/2004, menganasir antara KPU dan Bawaslu yang berkedudukan di daerah dalam penyelenggaraan Pilkada di bawah rezim pemerintahan daerah, secara materil menjalankan asas pemilu, Luber dan Jurdil, tetap keduanya dapat difungsikan secara berjenjang.
Sebagai batu ujinya, UUD 1945 telah menetapkan Pilkada secara demokratis, maka baik pemilihan langsung maupun cara lain tersebut harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum. Maksud "dipilih secara demokratis" dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, pembuat undang-undang telah memilih cara Pilkada secara langsung, adapun tafsiran MK saat itu sebagai interperter constitution yakni sebagai konsekuensi logisnya, asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum harus tercermin dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) yang diselenggarakan oleh lembaga yang independen.
Konsekuensi prinsip jujur adil, maka dalam penyelenggaraan Pilkada harus dijalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum pemilu. Secara fungsi kelembagaan Bawaslu - Bawaslu Kabupaten/Kota lah yang melaksanakan hal tersebut. Saat ini tidak ada lembaga lain yang existing menjalankan pengawasan. Apakah ini dapat dibenarkan secara hukum?, sekali lagi dijawab, legitimasi itu tetap ada sepanjang tidak ada pembatalan.
Oleh : La Ode Muhram Naadu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H