Gong dimulainya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak sudah terdentumkan. Menggaung di 270 daerah, yang tersebar pada 29 provinsi di 224 kabupaten dan 37 kota. Ini merupakan gelombang ke 4, untuk Pilkada yang terakhir terhelat di Desember 2019. Sepintas, tersibak satu titik krusial, yakni berkenaan legalitas pengawas pemilu-Bawaslu Kabupaten/Kota.
Meninjau kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota, pada UU No 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), menyebutkan bahwa lembaga pengawas pemilu yang berkedudukan di Kabupaten/Kota adalah Bawaslu Kabupaten/Kota yang sifatnya permanen dengan keanggotaan 3 atau 5 orang. Notabene Bawaslu Kabupaten/Kota hari ini dibentuk oleh regulasi itu.
Disisi lain, pada Rezim Pilkada rujukan regulasinya adalah UU No 10 Tahun 2016 perubahan kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang penetapan PerPPU No 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang Undang (UU Pilkada). Yang mana Bawaslu Kabupaten/Kota masih merupakan sebuah lembaga yang bernama Panitia Pengawas Kabupaten/Kota (Panwas Kab/Kota) yang pembentukan dan penetapannya melalui Bawaslu Provinsi. Dengan kata lain, fungsionalnya tentu menimbulkan masalah. Dengan menilik sisi nomenklatur, sifat organ, dan keanggotaan.
Langkah futuristik berupa tambal-sulam regulasi kepemiluan pun dilakukan. Terakhir, PKPU Nomor 15 tahun 2019 diubah dengan PKPU 16 tahun 2019, mengakomodir nomenklatur Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pasal 8A, yakni Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang dibentuk oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai pemilihan umum.
Disisi lain, proses Judicial Review tengah diajukan. Adapun pasal yang dimohonkan yaitu Pasal 1 ayat 17, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 24 UU Pilkada terkait dengan kelembagaan Panwaslu Kabupaten Kota. Urgensinya, pemohon meminta MK untuk menyatakan sepanjang frasa "Panwas Kabupaten/Kota" dinyatakan konstitusional bersyarat apabila dimaknai Bawaslu Kabupaten Kota.
Ada pendapat, bahwa pelbagai upaya menemukan pijakan hukum Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mengawasi Pilkada sejauh ini belum menjawab sisi legalitasnya (legaliteits beginselen). Tidak sedikit yang berurai pikir, menyadur fungsi kelembagaan Panwas Kabupaten/Kota ke Bawaslu Kabupaten Kota, berupa argumentasi dogmatik yang melekatkan fungsi secara mutatis-mutandis dari UU Pemilu ke UU Pilkada.
Menurut penulis, sebelum membicarakan fungsi, dan seterusnya, tentu pertanyaan yang harus dilewati terlebih dahulu adalah apakah Bawaslu Kabupaten/Kota saat ini mempunyai kewenangan? Apa dasarnya? Tanpa menjawab hal tersebut maka runtuhlah argumentasi perihal fungsi.
Memang, fungsi (functie) berkaitan erat dengan wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik. Sedang wewenang (bovedegheid) adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang adalah kekuasaan yang sah. Tidak ada kewenangan tanpa undang-undang yang mengaturnya. Memijak sisi legaliteits beginselen, maka tanpa kewenangan tentu tak ada perwujudan fungsi.
Membahas kewenangan tidak terlepas dari 3 hal, yakni atribusi, delgasi dan mandat. Hal yang ditelaah saat ini adalah atribusi. Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli, berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, melihat perundang-undangan, ada dua sisi yang dapat dilihat, dalam arti formil (wet in formele zin) dan dalam arti materil (wet in materiele zin). Melihat secara formil adalah melihat peraturan perundang-undangan dari segi pembentukannya atau siapa pembentuknya. Sedang melihat secara materil adalah melihat segi isinya tanpa melihat siapa pembentuknya. Olehnya itu wet in formele zin disebut undang-undang. wet in materiele zin disebut peraturan perundang-undangan.
Dari sisi formil, kita tidak menemukan nomenklatur Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU Pilkada (jenjang formell gesetz - menurut Hans Nawiasky), terkecuali pada level dibawahnya (autonome satzung) seperti pada PKPU 16/2019 dan berbagai Perbawaslu terbaru. Terdapat dua titik kritis dari aturan pelaksana PKPU dan Perbawaslu tersebut, yang pertama adalah konsideransi atau payung hukumnya (umbrella act) masih berpijak pada UU Pilkada yang notabene masih mengukuhkan nomenklatur Panwas Kab/Kota. Yang kedua, bagaimana keabsahan penyelenggaraan Pilkada saat ini walaupun nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pemohon.