Mohon tunggu...
La Ode Farmin
La Ode Farmin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Antara Status Ilegal dan Hak Pendidikan: Dilema Anak-Anak Migran di Malaysia

30 November 2024   03:29 Diperbarui: 30 November 2024   04:00 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, bagi anak-anak pekerja migran di Malaysia, realitas ini jauh dari harapan. Status orang tua mereka yang sering kali dianggap "ilegal" membuat mereka terpinggirkan, tidak hanya dari sistem pendidikan formal tetapi juga dari hak-hak mendasar lainnya. Kisah anak-anak di Sanggar Bimbingan Permai, Penang, menjadi potret nyata dari perjuangan mereka melawan stigma dan keterbatasan.

  • Realitas Hidup di Negeri Orang

Kehidupan pekerja migran di Malaysia, terutama yang berstatus ilegal, dipenuhi dengan tantangan besar. Banyak dari mereka bekerja sebagai buruh kasar dengan upah minim dan kondisi kerja yang sulit. Dalam situasi ini, pendidikan anak-anak menjadi prioritas yang kerap terabaikan. Sekolah-sekolah formal di Malaysia memiliki aturan ketat terkait status kewarganegaraan dan dokumen resmi, yang membuat anak-anak migran tidak dapat mengakses pendidikan formal.

Anak-anak ini, meskipun lahir dan besar di Malaysia, sering kali dianggap "tidak terlihat" oleh sistem. Mereka menghadapi diskriminasi ganda: sebagai anak-anak migran dan sebagai individu yang status hukumnya tidak diakui.

  • Sanggar Bimbingan Permai: Oase di Tengah Ketidakpastian

Di tengah keterbatasan tersebut, Sanggar Bimbingan Permai hadir sebagai penyelamat. Sanggar ini didirikan oleh komunitas pekerja migran dengan tujuan memberikan akses pendidikan dasar bagi anak-anak yang terpinggirkan. Meski fasilitasnya sederhana, semangat yang tercermin di sanggar ini sangat luar biasa.

Di sinilah anak-anak diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Mata pelajaran yang diajarkan sering kali mengikuti kurikulum Indonesia, agar mereka tetap terhubung dengan akar budaya mereka. Selain itu, sanggar ini juga menjadi ruang aman di mana anak-anak dapat bermain, bercanda, dan bermimpi tanpa rasa takut.

Namun, keberadaan sanggar ini tidak sepenuhnya bebas dari ancaman. Operasi razia oleh petugas imigrasi sering kali menjadi momok menakutkan bagi anak-anak dan pengajarnya. Dalam situasi seperti ini, pendidikan menjadi perjuangan berat, bukan hanya melawan keterbatasan fisik tetapi juga tekanan psikologis.

  • Hak Pendidikan di Tengah Status Ilegal

Dilema besar yang dihadapi anak-anak migran adalah bagaimana mereka dapat mengakses pendidikan tanpa harus terjerat status hukum yang rumit. Di satu sisi, pemerintah Malaysia memiliki kebijakan yang ketat terhadap pekerja migran ilegal. Di sisi lain, pendidikan adalah kebutuhan fundamental yang tidak boleh dinegasikan hanya karena status hukum seseorang.

Organisasi internasional dan lokal telah mencoba mengadvokasi hak-hak anak migran, tetapi hasilnya sering kali terbatas. Sanggar-sanggar seperti Bimbingan Permai menjadi solusi jangka pendek, namun tidak mampu sepenuhnya menggantikan akses ke pendidikan formal.

  • Harapan Masa Depan

Lomba Mewarnai Gambar.
Lomba Mewarnai Gambar.
Meski penuh tantangan, anak-anak di Sanggar Bimbingan Permai terus bermimpi. Mereka percaya bahwa pendidikan, sekecil apa pun yang mereka terima, adalah kunci untuk membuka masa depan yang lebih baik.

Perjuangan mereka seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa setiap anak, di mana pun mereka berada, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, organisasi internasional, dan komunitas lokal untuk menciptakan kebijakan inklusif yang memungkinkan anak-anak migran ini mendapatkan pendidikan tanpa rasa takut.

Dilema ini bukan hanya persoalan hukum atau kebijakan, tetapi juga soal kemanusiaan. Jika kita percaya bahwa pendidikan adalah hak universal, maka tidak ada anak yang boleh tertinggal, termasuk mereka yang hidup di balik bayang-bayang status ilegal. Sanggar-sanggar kecil seperti Bimbingan Permai adalah bukti nyata bahwa harapan bisa tumbuh, bahkan di tempat yang paling sulit. Kini saatnya memastikan harapan itu tidak lagi terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun