Serasa baru kemarin Pemilukada DKI Jakarta selesai diselenggarakan, hiruk pikuknya pun masih bisa dirasakan. Di mana semua elemen masyarakat Jakarta menaruh harapan besar kepada sosok seorang Joko Widodo untuk mewujudkan Jakarta yang lebih baik, termasuk di dalamnya adalah Persatuan Mahasiswa Jakarta (PERMATA DKI). Pilihan politik Permata DKI mendukung Jokowi tentu bukan tanpa alasan. Permata DKI mendukung Jokowi karena komitmennya untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan masalah DKI yang semakin rumit, ingin memperbaiki Jakarta menjadi lebih baik, serta ingin merubah DKI Jakarta menjadi kota dengan wajah baru.
Namun komitmen tinggallah komitmen, sekarang Jokowi lebih memilih kekuasaan, dengan mendeklarasikan diri sebagai Calon Presiden, daripada hanya sekedar menjaga komitmen dengan warga Jakarta. Fenomena ini tentu sangat menyedihkan, di tengah situasi negeri ini yang sedang membutuhkan figur pemimpin baru dengan kapasitas moral dan kompetensi faktual di segala bidang, yang bisa membawa bangsa ini maju dan menjadi lebih baik. Khususnya para pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas yang baik untuk menduduki kursi kekuasaan dan bekerja untuk rakyat. Langkah Jokowi ini hanya menambah daftar panjang kesulitan negeri ini untuk berangsur baik dengan pemimpin-pemimpin yang bisa melahirkan kepercayaan publik atas perilakunya.
Permata DKI menilai pencapresan Jokowi bukanlah sebuah masalah karena ini alam demokrasi, siapa saja berhak mengajukan diri sebagai calon presiden. Namun karena ini menyangkut jutaan warga DKI Jakarta, maka Permata DKI berhak menagih janji dan komitmen Jokowi. Ini bukan sekedar masalah politik, tapi lebih dari itu, ini masalah kepemimpinan Indonesia masa depan, sehingga Permata DKI harus menyampaikan kebenaran ini kepada masyarakat. Bagi Permata DKI, ada beberapa hal dan alasan kenapa Jokowi tidak layak menjadi calon Presiden.
1.Jokowi Abaikan Menjaga Amanah Warga Jakarta.
Terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pemilukada 2012, merupakan bukti bahwa warga Jakarta memberikan amanah penuh kepada Jokowi untuk memperbaiki ibukota selama lima tahun. Namun sayangnya, majunya Jokowi sebagai calon presiden pada 2014 ini menandakan bagaimana dia telah menghianati amanah warga Jakarta, sekaligus menandakan jika dirinya merupakan sosok yang tidak teguh dalam memegang amanah. Padahal bagi seorang pemimpin besar, amanah rakyat merupakan hal yang paling prinsipil dan mendasar.
Kesanggupan seorang pemimpin amanah terus direalisasikan dengan tanggungjawab saat menjalankan kepemimpinannya. Tanggungjawab dalam arti mampu melaksanakan tugas dengan baik, sehingga di bawah kepemimpinannya lingkungan menjadi lebih sejuk, rakyat merasa dilindungi, dan bangsa menjadi lebih maju. Selanjutnya pemimpin amanah dapat dipercaya saat menjalankan kepemimpinannya, yang terindikasi dari sikapnya yang jujur, adil, dan selaras antara kata yang diucapkan dengan tindakan yang dilakukan. Pemimpin yang amanah mampu mengutamakan kepentingan publik dibanding dengan kepentingkan pribadi. Maksudnya adalah seorang pemimpin amanah akan berani melakukan tindakan tidak popular. Dia tidak tega melakukan tipu muslihat dan tidak lagi berpikir periode mendatang harus menjabat lagi. Pemimpin yang amanah adalah figur yang memiliki mental teguh dalam pendirian atau konsisten terhadap setiap gagasan serta perilaku yang dijalankan. Dari sini jelas bahwa Jokowi tidak tidak mampu mengemban amanah warga Jakarta, dan itu berarti bahwa Joko Widodo tidak layak untuk pimpin bangsa Indonesia.
Permata DKI menilai Gubernur DKI Jakarta harus memenuhi sumpah jabatannya Gubernur DKI Jakarta, untuk terus menyelesaikan jabatannya sampai tahun 2017. Ini baru satu tahun lebih, tugas masih menumpuk, program dan janji politik belum selesai. Maka belum pantas Jokowi turun sebagai calon presiden 2014. Warga Ibukota Jakarta dulu memilih Jokowi untuk menyelesaikan masalah kemacetan, banjir, kemiskinan, kesenjangan, dan lainnya, bukan untuk melancarkan jalannya menuju calon Presiden.
2.Loyalitas Jokowi Hanya pada Megawati
Keputusan Joko Widodo untuk maju menjadi calon presiden dari PDI Perjuangan ternyata memunculkan permasalahan lain. Pencalonannya bukan dari kematangan visi-misi serta keterpanggilannya untuk memperbaiki Indonesia, namun hanya berdasar pada kepatuhannya pada sosok Megawati Soekarnoputri. Ini tentu dapat dibuktikan, jika kepatuhan Jokowi terhadap Megawati telah menciderai amanah rakyat yang lebih besar. Sebelum menjabat Gubernur DKI, Jokowi adalah Walikota Solo yang diusung oleh PDI Perjuangan. Namun di pertengahan jalan, Jokowi dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Belum selesai masa jabatan gubernur, Jokowi sudah diajukan menjadi calon presiden oleh PDI Perjuangan.
Mandat yang dititahkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dipatuhi oleh Jokowi dengan segala konsekuensinya. Karakter pemimpin yang seperti ini tentu akan dapat menggoyang loyalitas pemimpin kepada negara dan masyarakat. Sehinga sangat beralasan jika masyarakat menilai Jokowi hanya akan menjadi “boneka” Megawati, karena loyalitas Jokowi yang luar biasa pada Megawati. Kekhawatiran dan kesan bahwa Jokowi tidak mandiri dalam membuat keputusan terutama ketika kepentingan masyarakat luas bertabrakan dengan kepentingan partai atau ketua umum, Jokowi akan lebih memilih kepentingan partai juga sangatlah beralasan. Dalam konteks ini, maka bangsa ini akan dihadapkan pada masalah yang serius sehingga harus dicegah demi kebaikan bangsa dan negara.
3.Belum ada Capain Jokowi Memimpin Jakarta
Kehadiran Jokowi untuk Jakarta Baru ternyata belum mampu direalisasikan. Masalah banjir, kemacetan, kemiskinan, pengangguran, perumahan, kriminalitas, serta masalah-masalah ibukota lainnya masih menjadi masalah sehari-hari yang dihadapi warga Jakarta. Bukti lain Jokowi gagal membenahi Jakarta adalah serapan APBD DKI Jakarta tercatat paling rendah se-Indonesia dan sepanjang sejarah dengan hanya 55%. Penyerapan APBD adalah indikator utama dalam menilai kemampuan dan kinerja seorang kepala daerah. Jika APBD hanya terserap 50% itu artinya, seorang kepala daerah sudah gagal total. Program-program pemda tidak jalan, kesejahteraan rakyat tidak meningkat, stimulus ekonomi dan pembangunan minim, pajak yang dipungut dari rakyat mengendap alias tidak dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk proyek-proyek pembangunan dan peningkatan pelayanan, dan seterusnya. Dengan hanya 55% APBD yang terserap itu artinya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta tidak kerja. APBD DKI yang terserap pada tahun 2013 sebagian besar hanya untuk biaya rutin yakni pembayaran dan belanja gaji pegawai pemda DKI dan DPRD.
Jokowi terbukti tidak mampu tunaikan tugas dan tanggung jawab pokoknya sebagai Gubernur DKI dengan kegagalannya menjalankan program-program pembangunan yang dituangkan dalam APBD DKI Jakarta yang tekah disahkan oleh Peraturan Daerah (Perda). Kegagalan melaksanakan program pembangunan dan APBD inilah yang menjadi momok bagi Jokowi sehingga dirinya ngotot untuk cepat-cepat ditetapkan sebagai capres agar ketidakmampuan dan rendahnya kapasitas Jokowi tidak menjadi sorotan atau terungkap luas ke publik. Itu artinya Jokowi harus menguji dirinya untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah di tingkat Jakarta, tanpa harus berpikir mampu menghadapi tantangan lebih besar sekelas negara Indonesia.
4.Jokowi memiliki popularitas tapi munis Kapalitas
Sebenarnya hal itu sah-sah saja, tapi menjadi persoalan jika popularitas merupakan ukuran yang dipakai seseorang untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala daerah, maka betapa rendahnya makna seorang pemimpin. Pemimpin adalah seorang teladan bagi masyarakatnya dalam semua hal. Lebih dari itu, ia juga seorang visioner yang mampu membawa masyarakat yang dipimpinnya menjadi masyarakat yang diinginkan di masa depan. Ia mesti mempunyai prediksi dan strategi langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan zaman. Seorang pemimpin daerah tentu dituntut menguasai kompleksitas persoalan daerah yang dipimpinnya. Tanpa itu, ia tidak akan mampu mengambil atau merumuskan strategi pemecahan masalah yang pasti tidak sedikit. Dengan demikian tidak cukup dengan modal pas-pasan, apalagi hanya karena popularitas.
Pemimpin model ini pasti tidak akan tahan lama. Dia adalah pemimpin yang selalu mengukur sesuatu serba praktis, teknis, sangat transaksional dan kontraktual, yang potensial merusak iklim dan kultur politik. Namun di balik kebisingan politik dan kekecewaan rakyat, di sana terdapat proses pembelajaran dan pendewasaan rakyat yang sangat signifikan, yaitu bagaimana rakyat merespons isu politik dan menilai aktor-aktornya. Dalam hal ini, mantan Presiden Amerika Serikat, Nixon mengatakan “seorang pemimpin tidaklah mengejar popularitas, tapi seorang pemimpin akan dikejar popularitas.”
5.Jokowi Belum memiliki pengalaman dalam mengelolah konflik politik, pertahanan, dan keamanan
Indonesia adalah bangsa besar, multi etnis, multi kepentingan, serta mangalami masalah multi dimensional, sehingga Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang pengalaman dan kemampuan di segala hal, khususnya di bidang politik, pertahanan, dan keamanan. Dengan milihat rumitnya masalah bangsa ini, sampai saat ini, Jokowi belum kelihatan menonjol dalam pengelolaan konflik dan dinamika politik dalam negeri, percaturan politik nasional, dan pengelolaan teritorial terkait dengan negara tetangga, apalagi masalah-masalah luar negeri.
La Ode Ahmadi Eks Ketua Umum PERMATA DKI, Tahun 2012 ( Persatuan Mahasiswa Jakarta )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H