Aksi terorisme tidak bisa dibenarkan, dicontoh, dan ditiru. Pun demikian, aksi 'nantangin' para pelaku teror baik secara aktif dan masif adalah hal yang konyol. Kemunculan hashtag #KamiTidakTakut, bagi diri saya pribadi, memunculkan perasaan was-was, kalau tidak mau dibilang takut. Melawan aksi teror memang wajib. Tapi menantang mereka, yang seolah membangunkan mereka dari tidurnya, membuat adrenalin mereka kembali tertantang, membuncahkan kejengkelan luar biasa pada pelaku teror adalah aksi sok. Apalagi terlontar dari kicauan publik.
Hashtag ini sendiri, beberapa jam sejak kemunculannya sudah dicuit sampe ratusan ribu kali dan menjadi terbendung topik baik secara nasional maupun dunia.Â
Jika dilihat, setidaknya dari segi psikologi bahasa hashtag #KamiTidakTakut seolah memberi pesan pada pelaku teror, ini seperti 'nantangin' dan melawan.
Ada beberapa poin yang saya lihat pada hashtag tersebut. Yang dimana memiliki pesan atau makna yang sama:
Pertama, silahkan teror saja kami, kami tidak akan takut.
Kedua, aksi kalian pengecut, kami gak takut.
Ketiga, cuma segitu kemampuan kalian, gak ada yang lebih wow? Kami gak takut.
Keempat, bagaimanapun teror kalian, dengan ini kami lebih kuat dan bisa bersatu.
Berikut di atas adalah poin yang bisa saya lihat. Bukankah ini perlu dicermati lagi secara hati-hati.
Hashtag #KamiTidakTakut adalah sebuah frasa yang terdiri dari tiga kata. Yakni, kami-tidak-takut. Kata-kata ini jika dicermati lebih jauh lagi, lumrah digunakan dikalangan remaja yang dalam fasa adrenalin sedang membuncah. Mari kita lihat lagi penggunaan frasa ini di kalangan anak muda.
- Elu mau neror gue gara-gara rebut si Intan, gue gak takut.
- Hari gini masih takut sama hantu? Hello...gue gak takut kale.
- Gue gak takut, sama tu guru BP. Palingan dia cuma nggertak aja.
Poin dalam kalimat di atas adalah sebentuk sikap menantang dari seseorang. Dalam konteks #KamiTidakTakut, ada sikap menantang yang lugas dan kuat pada pada pelaku teror.