Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Dirman

3 Mei 2016   00:48 Diperbarui: 3 Mei 2016   15:31 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dirman, begitu lelaki itu menuliskan namanya. Dia menjadi ayah ketika usianya sudah lanjut, 40 tahun. Kala itu Tuhan menganugerahinya dua putri sekaligus, Dona dan Dora. Dirman sangat bahagia begitu mendengar tangisan makhluk mungil itu, begitu indah, membekas di hatinya. Dia selalu menyapa anak-anaknya itu ketika dia bangun tidur, berangkat ke ladang, kembali lagi ke rumah hingga tertidur. Bergantian kedua anaknya itu tidur di pangkuannya. Dirman meminjam kaset lagu anak-anak dari tetangganya, dikumpulkannya rupiah demi rupiah lalu membeli seperangkat televise berikut CD player. Dia membujuk Torang, anak tetangganya yang kaya, yang sudah memiliki televisi, CD player bahkan lengkap dengan loudspeaker bahkan sejak dia masih orok untuk mengajarinya menggunakan perangkat yang dianggapnya ajaib itu.

Maka kedua kakak beradik itu selalu mendengarkan lagu anak-anak, mulai dari “cicak-cicak di dinding,  potong bebek angsa hingga si lumba – lumba.

Dona memiliki wajah yang cantik, dia juga mulai mengikuti lagu yang diputar Dirman melalui CD player. Dia juga sudah mulai memanggil-manggil Dirman dan istrinya, “ pa.. pa .. pa “ dan “ ma..ma.. ma “. Berbeda dengan Dona, Dora tidak menunjukkan reaksi apapun. Ketika Dirman menutup wajahnya dengan kedua tangannya, lalu berkata “ cilukba..” Dona akan tertawa terpingkal-pingkal sedangkan Dora hanya mengamati wajah bapaknya, jangankan tertawa tersenyumpun  dia tidak.

Ada yang salah dengannya, begitu bisik Dirman di dalam hatinya.

Apakah dia tidak bisa melihat?

Tidak. Dora selalu marah ketika Dirman menutup mata Dora, dia akan menyingkirkan tangan Dirman. Dora juga sesekali menoleh ketika dipanggil, walaupun dia juga akan menoleh ketika Dirman memanggil nama Dona.

Waktu berlalu dan Dora selalu tertinggal di belakang Dona, tadinya hanya satu langkah, dua langkah, tiga langkah hingga Dora benar-benar tertinggal sepenuhnya.

Dona kini menjadi seorang wanita yang mengecap pendidikan di luar kota. Dia lebih sering berbicara lewat telepon, membuka laptopnya, lalu sibuk mengetik ini dan itu. Dia juga tidak tinggal bersama Dirman. Dia tinggal disebuah bangunan bertingkat, yang memang hanya dikontraknya satu kamar. Tetapi bagi Dirman, tinggal di sebuah rumah yang bertingkat adalah mimpi masa kecilnya. Dia begitu senang ketika Dona mengajaknya untuk singgah dibangunan bertingkatnya. Ya, putrinya itu selalu mengajaknya untuk sekali sebulan ke kota memeriksakan kesehatannya. Sedangkan Dora, Dirman selalu bertanya kepada Tuhan mengapa putrinya itu tertinggal ribuan langkah di belakang Dona. Tentu saja Dirman tidak menyalahkan Dona, tidak, itu bukan kesalahan Dona.

Dona mengambil semua keberuntungan, memiliki wajah cantik, pintar dan waras (penggunaan kata ini terlalu kasar, tetapi begitulah orang banyak melabelinya).

Bukan sekali dua kali Dirman mendengar tetangganya mempergunjingkan nasib kedua putrinya yang memang berbeda 180 derajat. Dalam hati Dirman pergunjingan itu juga terjadi. Mengapa kedua putrinya tidak memiliki wajah yang sama seperti anak-anak kembar lainnya, ah.. sudahlah dia tidak mengharapkan itu, setidaknya seandainya saja Dora bisa menjalani hidupnya seperti orang kebanyakan, seandainya Dora tidak berbicara kepada mahkluk-mahkluk yang tidak terlihat, tidak tertawa dalam gelap dan di usianya yang sudah melewati  usia dimana warga negara menggunakan hak pilihnya, Dora bisa seperti anak yang lain.

Dona sudah datang memperkenalkan calon suaminya. Dirman sangat senang, tentu saja di depan Dona dia senang. Sama seperti ayah yang lain yang sesumbar mereka ingin putrinya cepat-cepat menikah lalu menangis dalam gelap, menyanyangkan waktu yang berlari demikian cepatnya, Dirman juga menangis. Rasanya baru kemarin dia mengajari Dona melangkah, “ satu, dua, tiga, ya, ayo lagi.. “ dan kini dengan kakinya sendiri Dona akan meninggalkan rumah ini.

Ah ternyata aku hanya memilikinya sebentar

Dona telah menikah. Sedangkan Dora tetap pada kehidupannya, terkadang dia tertawa sendiri, terkadang dia berbicara kepada makhluk –makhluk tak kasat mata. Dirman semakin tua, rasanya tubuhnya sudah lebih sering mengirimkan sinyal-sinyal untuk beristirahat. Tak ada lagi yang dikhawatirkan Dirman, pula jika ajal menjemputnya. Hanya satu, ya hanya satu, bagaimana nasib Dora kelak. Anak gadisnya yang sekarang lebih sering tertawa sendiri sembari berbincang banyak hal dengan teman-temannya tidak bisa dilihat Dirman.

Akhirnya waktu yang dikhawatirkan Dirman tiba, tubuhnya tiba-tiba lumpuh. Dia sudah tidak sanggup lagi untuk bekerja di ladang. Istrinya menggantikannya merawat tanaman pisang yang tak seberapa. Dora, putri yang sangat dikhawatikan Dirman itu membantu merawatnya. Tak lama Dirman menyerah kepada pemilik kehidupan, Dirman menyerahkan nyawanya dan juga kekhawatiranya tentang Dora.

Pemakaman Dirman dihadiri banyak orang, kerabat silih berganti meratapi kepergiannya. Satu dua orang kerabat membawa nama Dora sambil meraung. Sama seperti Dirman, para kerabat juga mengkhawatirkan kehidupan Dora.

 Jika ada yang bersukaria di hari itu maka orang itu adalah Dora. Gadis yang lugu itu tidak mengerti bapaknya sudah tertidur selamanya. Dia menikmati keramaian dan suara musik yang dimainkan untuk upacara pemakaman Dirman.

Bebebapa hari berlalu sejak kematian Dirman, kerabat sudah meninggalkan kediaman mereka. Hari itu Dora tampak gelisah. Dia berjalan kesana dan kemari. Lalu gadis itu ke dapur, menjerang air lalu membuat kopi, dimasukkannya ke dalam termos kecil. Tak lupa disertakannya satu cangkir yang terbuat dari aluminium.

“ Kau mau kemana ? “ mamaknya bertanya keheranan.

“ Sudah tiga hari bapak tidak pulang dari ladang sejak kita antarkan, aku ingin memberikan kopi ini untuknya dan menyuruhnya pulang “ jawabnya.

Demi mendengar jawaban anak gadisnya itu, istri Dirman menangis, meraung.

Dora tidak pernah mengerti, Dirman tidak akan pulang, pula dia tidak akan meminum kopi buatannya. Dirman sudah pergi selamanya menggenggam kekhawatirannya tentang Dora hingga akhir hayatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun