Mendengar itu, kau hanya menggeleng kepala dan kita terus berjalan tanpa bergadengan tangan, hanya beriringan.
Kau pun tetap akan diam, misalkan kita berjalan malam ini dan aku bercerita tentang mimpi. Aku bermimpi ada cahaya yang menerobos jendela kamarku, kemudian terdengar tangis bayi, seolah cahaya itu mengantarkan bayi yang anehnya, aku mengiranya ibuku.
Ibu yang merupakan kebisuan hidup setelah Bapak meninggal. Beban kehilangan terpahat jelas pada wajahnya, pun sepasang matanya yang selalu berembun. Kepergian Bapak akibat kecelakaan memang sangat mengejutkan. Tidak ada yang mampu membayangkan seberapa besar duka Ibu sehingga mampu membuatnya berubah begitu rupa.
Duka juga menghantuiku dan sebagai  penyebab perubahan Ibu pada awalnya, hingga ibu menyerah dan menyusul bapak. Sejak saat itu, aku lebih menyukai sunyi. Hingga akhirnya menyukaimu karena aku lelah sendiri.
Aku tidak ingin mengulangi tragedi itu, Aku akan terus berjalan meninggalkanmu, dimulai dari kemarin saat dokter memvonis hidupku tak sampai genap setahun.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H