APAKAHÂ kau masih menyukai sebatang rokok dan kopi kental ketika sedang bersedih? Tubuhku selalu gemetar ketika tiba-tiba teringat wajahmu. Tubuhku kini lebih kurus dibandingkan saat terakhir kita bertemu. Ya kita ketemu di sebuah kedai pinggir jalan ketika langit gelap dan hujan. Kita hanya duduk, lebih banyak diam sepertinya kata-kata ikut membeku seperti hati kita yang kelu.
Malam ini aku dihajar kegelisahan dan sudah di puncak nyeri dada, aku melakukan kembali. Pergi ke kedai itu dan memesan secangkir kopi kental. Sebungkus rokok yang aku ambil sebatang dan aku hisap dalam-dalam, lantas kuhembuskan asap itu. Ini untuk pertama kalinya.
Seperti yang kau lakukan dulu waktu kita masih bersama.
Perlahan aku memejamkan mata, mencoba menikmati rokok yang dulu sering kau bilang menenangkan. Tapi aku justru merasai angin. Aku rasakan gejolak dalam jiwa, dalam pikiran yang terlunta-lunta. Aku mengatur napas. Tiba-tiba aku tersendak batuk, orang-orang disekitarku melihat, mungkin aku terlihat tak mahir merokok. Aku juga belum merasakan nikmat yang mengusir kegelisahan seperti yang dulu kau ceritakan.
Justru rasa sakit dan tulang-tulangku menggigil. Lantas aku teringat cerita seorang teman yang divonis hanya mampu bertahan hidup selama sebulan, kemudian pengobatan apapun ia coba, ia selamat dari penyakitnya.
Namun cerita lain datang, dokter memvonisnya hanya setahun hidup, tentu sesuai ilmu kedokteran. Namun baru enam bulan ia meninggal, Tapi dalam cerita ini, ia bahagia karena sudah melakukan hal-hal yang menurutnya tepat, memutuskan pertunangan, sebab ia tak mau jika ia melanjutkan pernikahan dan hanya akan melukai orang yang ia cintai, jadi ia memutuskan melukai lebih awal untuk memudahkan tunangannya itu berpaling, membencinya dan akhirnya akan menikah dengan orang lain.
Lalu apa yang kulakukan sekarang dengan datang ke kedai ini dan untuk pertama kalinya menghisap rokok dan kopi kental. Meniru kebiasaanmu itu apa termasuk hal-hal yang tepat. Atau menjadi kesia-kesia semata.
Ah, sudahlah... Biarkan aku menunggu hujan tak lagi turun. Ingin melihat bintang-bintang mulai muncul dan membuatku kembali berkhayal jatuh di jutaan bintang di langit. Aku berdoa jatuhku tak jauh dari rembulan biar aku bisa memantulkan cahaya saat langit benar-benar gelap. Tentu aku berharap di suatu malam kau akan melihatnya.
Dan lihatlah..
Air benar-benar tak lagi turun, tapi di sekitarku sunyi, orang-orang yang lagi duduk dan menikmati kopi entah obrolan atau sebuah pertemuan. Mulai senyap. Penjual kopi di kedai ini pun wajahnya tampak lelah. Aku pun mengurungkan khayalan itu. Berjalan keluar, menantang angin dingin masuk keselah-selah pori-pori kulit.
Biasanya di situasi seperti ini, aku akan mendengar kau gedumel karena aku tidak memakai jaket dan kau tetap tak mau memijamkan jaket yang kau pakai. Aku hanya tertawa kecil dan berbisik "Sehabis hujan reda, langit selalu mengirimkan hal-hal yang romantis."