Sudah setengah jam Lana berdiri di bawah pohon di muka sebuah rumah, Hari masih gelap, langit di ujuk timur masih memerah belum bersinar. Udara musim dingin membuat tubuhnya membeku. Ia tahu di dalam rumah itu dia akan merasa hangat dengan selimut tebal dan secangir teh. Mungkin tak perlu karena senyum dan sapaan akan membuat aliran darahnya menghangat. Seperti dulu. Sepuluh tahun yang lalu.
Kali ini, Kaki Lana masih kaku, tak mampu membawa tubuh dan tangannya mengetuk pintu. Jantungnya berdetak gelisah. Akhirnya ia melangkah menjauh berjalan ke arah matahari. Melihat jauh. Kampung ini tak banyak berubah, sawah di depan rumah masih sama dengan pohon pohon yang nyaris sama. Dimana dulu ia sering bermain petak umpet, bermain layang-layang, ah, masa kanak kanak adalah masa yang dirasa indah ketika dewasa.
Kenangan itu seperti baru kemarin, masih terasa dekat meski raga sudah pergi menjauh berjuta kilometer, melewati samudra, gunung, benua. Namun saat kaki Lana mengijak tanah kenangan itu berasal, ada rasa takut, merasa kerdil dan enggan. Apa ia terlanjur biasa menikmati siksa rindu hingga saat meluruhkan rindu itu ada penolakan dalam tubuhnya.
Ada ribuan kali tempat Lana berdiri sekarang, di pinggir sawah yang membentang hijau, ada sungai kecil dibawah sana dengan batu batu besar berserakan terbawa arus. Tempat dulu Lana kecil membantu ibu mencari batu, hadir dalam mimpi. Mimpi yang membuatnya terbangun dengan bercucuran keringat.
Dari jauh mata Lana menemukan seorang laki tua mungkin berumur 60 tahun atau lebih berjalan mengelilingi sawah, kadang berhenti sebentar dan mejeburkan kaki ke bawah padiyang  tumbuh hijau. Lana ingat betul apa yang dilakukan bapak tua itu, Seperti yang dilakukan Bapaknya setiap pagi setelah semalam bergadang di sawah untuk memperlancar perairan sampai membasahi seluruh hamparan padi yang baru tumbuh hijau bersama dengan rumput kecil-kecil yang harus dicabutin satu persatu agar padi tumbuh subur dan dua bulan lagi berbuah.
Lana kecil yang sering dipanggil Ila oleh Bapak dan Ibu sering ikut ke sawah mencabut rumbut, Namun Lana tak pernah telaten seperti ibunya, tak sampai tiga puluh menit sudah bosan dan memilih bermain air. Ia juga tak bisa mencabut rumput sebanyak ibunya yang sabar, cepat dan tak kenal lelah berjongkoh dengan tangan gesit merauk rumput.
Kadang Lana merasa seperti ibunya tapi jika melihat masa lalunya dan ketidakmampuannya melakukan apa yang dilakukan ibunya, Lana minder dan mau tak mau harus mengakui, Ia tak sesabar, berbakat dan tekun serta kreatif seperti ibu.
Ibu yang jari-jarinya cekatan mengayam, membuat tikar ayaman dari mendong, ibu yang pandai memasak dan membuatkan teh manis atau pahit yang pas dan nikmat. Ibu yang anggun berkebaya ketika di tempat pernikahan tetangga. Tak pernah dandan di salon dan hanya bersoleh sendiri di rumah dengan olesan bedak dan lipstik merah tipis sudah tampak menawan. Selalu mewiru jarik yang dipakai sendiri dan memasang sanggul di kepalanya sendiri yang tak pernah Lana kuasai.
Ah, Bukanya penyesalan itu adanya dibelakang, Lana yang dulu tak pernah menganggap itu penting atau selalu mengira masih ada hari esok dan selalu percaya Ibu akan hidup seribu tahun lamanya, seperti kata penyair besar Chairil Anwar.
Ada suara getar di saku kantong Lana bersama terbitnya sinar kuning yang perlahan demi perlahan menyapa merahnya langit ujang timur.