Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Cabe

6 Januari 2017   21:37 Diperbarui: 7 Januari 2017   00:22 2550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Aku melihat mata Ibu berair dengan tangan mengulek sambel di lemper. Cabe terulek lembut itu kemudian mengalir bergerak membentuk sebuah sungai merah, kami tenggelam dan menemukan gua di dalamnya.

Sebuah gua yang pintu masuknya tertanam cabe dua batang dengan daun yang sama namun bentuk cabenya berbeda. Ada aroma pedas sekaligus aroma sunyi. Ibu berjalan pelan membuka pintu, aku mengikuti dengan tetap diam. Aku merasa belum waktunya aku bertanya, jadi kuputuskan melangkah masuk, tampak lorong gelap. Di ujung hanya ada satu obor, membuat padangan remang-remang. Aku melirik Ibu, tetap berjalan tenang, seolah Ibu sudah bersahabat lama dengan remang dan gelap.

Di sisi aku berdiri ada bayangan. Nyaris saja aku berteriak, sebelum tersadar bayangan hitam itu diriku sendiri. Hidungku mencium aroma kematian, bulu kuduk berdiri. Namun ada keyakinan di ujang sana akan ada cahaya, cahaya senja mungkin... o, bukan... Mungkin hari sudah pagi.

Ya, mungkin hari sudah pagi dan di ujung lorong itu akan ada bunga-bunga indah, warna-warni dan wangi. Bukankah Ibu sering bercerita dalam hidup ini ada dua kutup. Hitam-putih, gelap-terang, tinggi-pendek dan lebih banyak lagi yang berlainan tetapi berkaitan.

Tetapi Ibu tetap berjalan, matanya sudah tak berair juga tidak sayup. Mata yang menatap lurus ke depan penuh keteguhan. Langkah kaki semakin berayun pasti. Aku tetap mengikuti Ibu, Langkahku tergesa mengikuti ritme Ibu berjalan. Aneh, aku melihat Ibu berjalan anggun tanpa ada hentakan atau nafas memburu. Kenapa aku ngos-ngosan, keringat mengalir di dahi.

Tiba-tiba aku teringat Ayah, tiba-tiba aku teringat kakak, dan tiba-tiba aku rindu pagi, mentari dan wangi bunga. Tetapi aku harus kuat, harus bisa terus berjalan seperti Ibu. Berjalan seperti keanggunan wanita seperti cerita putri raja atau permaisuri.

Lorong ini tetap tak berujung, Semakin ke dalam semakin gelap, semakin sunyi. Kakiku lelah, tubuh lemah, nyaris aku rebahkan badan dan bermimpi, berkhayal seperti kebiasaanku sebelum tidur. Tangan Ibu terasa lembut menarik tubuhku berdiri dengan kesabaran yang sering membuat aku iri ingin memiliki kesabaran dan kelembutan itu.

Ibu menuntutku berjalan. Kami kembali berjalan beriringan pelan. Mata Ibu tak lagi berair, tak lagi tegas menatap ke depan. Ibu tersenyum sambil merangkul bahuku lembut, berjalan sambil bercerita. Sesekali diselingi dengan tembang jawa. Membuat rongga dadaku penuh keharuan, kebanggan dan kedamaian.

Aku baru tersadar saat hidungku mencium wangi sambal. Aku menatap ke depan, lorong ini tak lagi gelap, tak lagi sunyi. Aku mencium wangi sinar matahari. Tetapi aku malah merasa tak ada kehidupan. Lorong ini perlahan menghilang, samar-samar terdengar suara sendok beradu dengan piring. Aku tersadar aku sedang duduk di meja makan bersama Ayah, dan kedua kakakku.

Ayah seperti biasa duduk paling utara sementara kedua kakak ku duduk di samping berhadapan denganku. Masih ada satu kursi yang kosong, di sisiku. Tempat duduk Ibu.

Keluarga kami memiliki kebiasaan yang berbeda dengan keluarga lain. Setiap makan malam maupun sarapan Ibu selalu membuat teh manis tiga gelas. Ya, cuma tiga. Karena aku lebih senang meminum di gelas Ibu, kakak atau bapak. Biasanya aku tidak pernah habis jika dibuatkan teh manis di gelas sendiri mungkin karena saat itu tubuhku masih kecil, usiaku baru 12 tahun. Empat belas tahun lalu.

Dan aku duduk di sini kembali setiap malam menyambut tahun berganti. Malam ini lengkap, kedua kakak ku bisa datang makan malam. Aku termenung mengingat lorong gua tadi. Apa hanya hidup di alam khayalku, apa memang ada di dalam hidupku? Apa perjalanan tadi bentuk perlepasan penyesalan.

Aku tersentah, teh di depanku masih utuh belum aku sentuh, begitu juga lemper penuh sambel, hanya sekilas tadi aku lirih. Menu makan malam ini harusnya terasa lezat. Semua kombinasi kesukaanku sejak kecil.

Sudah hampir delapan tahun Ibu pergi dan seolah seisi rumah ini kosong, ikut pergi. Rumah ini hanya menjadi bentuk kristal waktu dalam kebekuan. Gua tadi sengaja aku bangun lorong-lorongnya agar bisa berjalan pada waktu dan khayal yang sama.

Terkadang kita tak menyadari waktu terus berjalan, hidup terus berlanjut, tanpa sekat, tanpa terhenti semenitpun. Perjuangan tidak pernah mengenal kata akhir atau selesai meski raga terpisah dari jasad. Aku masih merasakan Ibu selalu berjalan beriringan, sering menuntutku kala lelah, jatuh.

*

Lemper: tempat mengulek sambel dari batu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun