Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Harus Memutus Rantai dalam Memandang Korban dan Paradigma Mendidik Anak

28 Desember 2016   22:00 Diperbarui: 6 Januari 2017   15:46 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyanyi Titik Puspa di suatu acara ketika menceritakan tentang lagu kupu-kupu malam (Sumber foto: DokPri)

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Hal tersebut sangat disadari oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) dengan mencetuskan program three end.

Sekarang kita bisa melihat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tersorot di media hanyalah beberapa. Padahal banyak sekali bentuk kekerasan di sekitar kita. Ironisnya, pelaku kekerasan adalah orang terdekat atau orang dalam lingkup korban.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan bisa berupa Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelacuran dan perdagangan perempuan dan anak (trafficking in women and children) dan pelecehan seksual. Tidak semua perempuan mengerti apa saja bentuk kekerasan yang mereka terima.

KDRT sering kali digunakan oleh laki-laki untuk menunjukan bahwa laki-laki berkuasa sehingga kekerasan digunakan untuk mengontrol, memenangkan perbedaan pendapat, dan untuk menyatakan rasa tidak puas. Padahal KDRT membawa dampak yang sangat buruk dalam kehidupan perempuan yang memiliki peran besar dalam kehidupan keluarga dan anak-anak.

Kekerasan dalam rumah tangga akan membuat traumatik pada perempuan maupun anak dan menghambat proses tumbuh kembang anak. Saya ingat karya-karya penulis Djenar Mahesa Ayu yang banyak mengangkat tema tentang perempuan seperti novel 'Mereka bilang, Saya Monyet'. Menyoroti keprihatinan mengenai tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang disebabkan minimnya edukasi masyarakat terhadap hak asasi manusia yang sebenarnya dimiliki secara individu.

Begitu juga dengan karya lain Djenar 'Nay'. Novel yang diangkat ke layar lebar diperankan aktris Sha Ine Febriyanti. Film ini bergulir dengan  pengalaman tokoh utama bernama Nay yang sejak  kecil lahir dan hidup tanpa mengenal sosok ayah. Rasa rindu dan keingintahuan tentang sosok ayah kandung selalu dijawab dengan amarah oleh ibunya. Ketika beranjak dewasa ia pun jadi liar, suka merokok dan minum alkohol. Usia 9 tahun ia harus kehilangan keperawanan yang direnggut oleh pacar dari ibunya sendiri. Hingga akhirnya ia hamil, tetapi pacarnya tidak mau bertanggung jawab. Ibu sang pacar pun memandangnya rendah dengan menyalahkannya karena menjadi perempuan kotor yang tak pantas dinikahi anaknya.

Film Nay karya Djenar Mahesa Ayu tentang perempuan yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti.
Film Nay karya Djenar Mahesa Ayu tentang perempuan yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti.
Film Ini membuat kita berpikir menjadi seorang perempuan tidaklah mudah. Dilihat dari sudut pandang laki-laki, begitu juga dari sudut pandang sesama perempuan. Pelacuran sering kali dicap hina tanpa melihat terlebih dahulu inti persoalannya. Mengenai maraknya  perdagangan perempuan dan faktor himpitan ekonomi, lingkungan yang membuatnya terjerum dalam dunia kelam tersebut.

Penyanyi senior Titik Puspa membuat lagu 'Kupu-kupu malam'. Setelah bernyanyi di luar kota, pintu kamarnya di ketuk oleh seorang perempuan yang berprofesi seorang pelacur yang bertanya kenapa dia begitu mudah mencari uang. "saya langsung bertanya apa pekerjaannya", perempuan itu menjawab pekerjaannya sebagai kupu-kupu malam. Mendengar ceritanya yang terjerumus menjadi kupu-kupu malam karena ditingggal suami dan tidak memiliki keterampilan dengan utang menumpuk.

Mendengar cerita perempuan itulah, Titik Puspa, akhirnya menciptakan lagu kupu-kupu malam, Mengingatkan kita jika Tuhan selalu bersama kita. Jika kita ingin berubah dan kembali ke jalan lurus pasti Tuhan akan membantu memberikan jalan.

Penyanyi Titik Puspa di suatu acara ketika menceritakan tentang lagu kupu-kupu malam (Sumber foto: DokPri)
Penyanyi Titik Puspa di suatu acara ketika menceritakan tentang lagu kupu-kupu malam (Sumber foto: DokPri)
*

Pelecehan seksual merupakan bentuk kekerasan yang sering terjadi dan dilakukan di sekitar kita. Menjadi cerita pahit yang terus berulang. Bukan sesuatu yang baru jika perempuan dijadikan objek intimidasi seksual baik di kalangan menengah ke bawah sampai menengah ke atas.

Misalnya, siulan, menggoda perempuan dengan berkata 'ysng baju merah jangan sampai lolos' hingga hal-hal yang terkadang dianggap laki-laki remeh sebatas lelucon tanpa disadari hal tersebut merupakan pelecehan dan membuat perempuan merasa risi dan terintimidasi.

Tantangan terbesar yang dialami para korban adalah budaya patriarki yang tertanam sejak lama dalam masyarakat kita. Kita banyak melihat di media sosial, banyaknya orang yang lebih senang menghakimi korban. Dengan mempermasalahkan dari segi pakaian, pelaku yang pulang malam.

Fenomena tersebut membuktikan belum adanya kesadaran masyarakat akan arti dampak kekerasan bagi para korban. Lantas wajar, banyak korban, keluarga yang menutup-nutupi dan tidak mencari keadilan dan perlindungan karena takut dihakimi dan namanya akan tercemar di masyarakat. Padahal yang lebih mengerikan adalah trauma korban yang berkelanjutan tanpa berusaha diobati.

JIka kita melihat 'pakaian' masih menjadi alat yang dipermasalahkan, kita bisa melihat beberapa kasus pemerkosaan yang terjadi pada anak-anak (Kasus Yuyun) dan nenek-nenek. Pelakunya juga orang terdekat seperti Ayah kandung, kakek, paman, saudara kandung. Apa kekerasan ini masih dikarenakan pakaian?

Setelah saya banyak membaca buku-buku tentang perempuan. Saya jadi mengerti dan menyadari bahwa saya juga korban. Saya pernah menjalin hubungan dengan seorang pria yang terkadang dia berkata kasar untuk mempertahankan pendapatnya. Pernah saya merasa tertekan dan trauma. Sebab dia melarang keras saya bercerita tentang kondisi hubungan kami bahkan kepada keluarga. Karena menurut dia itu sebuah aib atau urusan pribadi yang tidak sepantasnya diumbar.

Pernah suatu hari saya menulis di media sosial dengan status galau dan kemudian reaksi dia marah. Akhirnya saya putus.

Melalui pengalaman itu. Saya menyadari kebudayaan kita memaksa kita diam dan tutup mulut akan kekerasan yang kita alami dalam sebuah hubungan. Baik hubungan pacaran maupun yang sudah menikah.

Kekerasan terhadap anak

Melihat maraknya kasus kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak. Salah satunya disebabkan pola asuh yang salah, selama ini orang tua memiliki paradigma yang keliru dengan menganggap anak menjadi barang milik sehingga mereka merefleksikan kekerasan berlabel kasih sayang.

Kita juga tidak boleh menutup mata tentang kultur kebudayaan pendidikan di masyarakat kita selama ini terlanjur salah, kita pelihara turun menurun. Tentu kita pernah melihat atau mengalami dipukul penggaris oleh guru kita, atau dilempar kapur karena berisik di ruang kelas. Dengan alasan pembelajaran mengendalikan dan mendisiplinkan anak. Pembelajaran yang dulunya kita terima tanpa sadar kita terapkan terhadap anak kita sekarang.

Generasi kita, generasi yang lebih edukatif sehingga harus berani memutus kultur tersebut. Orang tua harus bisa memahami kenapa anak meningkatkan unsur tekanannya, misalnya, ketika mereka nakal, ketika main telat pulang. Semua itu dilakukan tentu bukan tanpa sebab. Bisa saja semua itu dilakukan anak karena suasana rumah yang tidak nyaman. Atau Orang tua belum bisa menjadi sahabat, tempat curhat.

Pendidikan dan ekonomi harus lebih ditingkatkan dan sangat berkaitan erat, dimana tingkat pendidikan tidak bisa lebih tinggi, akan terjerat pada kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan. Kepadatan penduduk juga mempengaruhi tingkat stres dan kita bisa melihat kekerasan sering terjadi di lingkungan yang padat.

Dan ingat, kekerasan terhadap perempuan bisa menurun menjadi kekerasan kepada anak. Seperti sudah saya singgung diatas,  perempuan nantinya akan menjadi seorang ibu yang memiliki peran besar dalam kembang tumbuh anak.

Guna mencegah kekerasan perempuan dan anak diperlukan peran semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan dengan dukungan pemerintah. Jadi mari kita mendukung dan sukseskan program three end KPPPA yang meliputi end violence against women and children (akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak), end human trafficking (akhiri perdagangan manusia), dan end barriers to economic justice (akhiri kesenjangan ekonomi).

Sekali lagi, mencegah lebih baik daripada mengobati. Stop kekerasan perempuan dan anak. Kita bisa ikut berpartisipasi untuk memberi sosialisai terhadap perempuan maupun laki-laki, bisa melalui tulisan positif, karya seni, seperti film dan lagu, pendidik yang jauh lebih baik dari sisi informal atau non formal.

Mulai sekarang kita harus putus rantai dalam memandang apa yang dikenakan, pakaian korban sebagai pemicu tindakan kekerasan, Maupun ideologi bahwa perempuan itu lemah, emosional dan tidak mandiri. Sedang laki-laki kuat, berkuasa, rasional dan mandiri.

Selain itu, pendidikan yang baik menjadi kunci akan berkembangnya manusia yang baik.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun