Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Pandangan Politik Soe Hok-Gie dari Kacamata Riri Riza dan Mira Lesmana di Film Gie

15 Desember 2016   17:23 Diperbarui: 17 Desember 2016   04:09 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika merujuk pada hasil skripsinya, “Dibawah Lentera Merah” dan “Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan”. Akan ada sebagian orang mengira Gie kental dengan kiri.  Namun, saat melihat keseluruhan film dan mencari, membaca jejak-jejak pikiran, tulisan dan aksi-aksi Gie selama dia hidup, yang tercecer dalam beberapa buku; “Soe Hok-Gie: Sekali Lagi, “Zaman Bergerak”, dan “Catatan Seorang Demonstran”. Kita akan paham bahwa Gie justru menolak ide-ide revolusioner dan aksi-aksi liar milik PKI selama ini.

Gie hidup di zaman rezim menumbangkan Soekarno dan meredam arus PKI. Penolakannya terhadap ide-ide komunisme itu dibuktikannya dengan ketidakterlibatan dirinya dalam organisasi mahasiswa yang menjadi ‘underbow’ PKI di kampusnya sendiri, Universitas Indonesia.

Namun, kejatuhan pemerintah Soekarno dan naiknya Soeharto diwarnai sebuah drama kemanusian yang memilukan dan banjir darah. Soe Hok-Gie salah satu intelektual muda yang paling awal berani bersuara dan memprotes penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan secara sewenang-wenang yang bertentangan dengan prinsip HAM. Gie pergi langsung untuk mengumpulkan data-data yang kemudian ditulis sebagai artikel.

Dalam serangkaian pembunuhan di bali, Gie membuat dua serial artikel dengan menggunakan nama samaran Dewa. di terbitkan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat dengan judul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau bali"  yang isinya pada pembelaan pada hukum, keadilan, dan kemanusiaan. Meski ia menyatakan sama sekali tak hendak membela Partai Komunis (PKI) yang juga kejam dalam memberlakukan lawan-lawan politiknya.

Ketika Orde baru mulai eksis, Gie mulai menemukan bayak kekecewaan salah satunya melontarkan kritik pada tokoh Tionghoa yang duduk di Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang dianggap secara membabi buta memusnahkan semua hal yang berhubungan dengan identitas ketionghoaan. Seperti mengganti nama lebih kedengaran Indonesia.

Meski kakaknya mengganti nama menjadi Arief Budiman. Gie tetap mantap menyandang nama Soe Hok-Gie. Walau nantinya dia mengalami kesulitan di kantor Imigrasi ketika mengurus paspor RI, pengalamanya tersebut dituangkan lewat tulisan yang diterbitkan di Sinar Harapan, Maret 1969 dengan judul "Saya Bukan Wakil KAMI".

Tidak salah jika banyak yang bilang Soe Hok Gie merupakan sosok yang penuh kontradiksi. Gencar mengkritik Partai Komunis Indonesia (PKI), Namun menjadi orang pertama yang memprotes keras terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965-1966.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun