Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Pandangan Politik Soe Hok-Gie dari Kacamata Riri Riza dan Mira Lesmana di Film Gie

15 Desember 2016   17:23 Diperbarui: 17 Desember 2016   04:09 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angkatan 66 adalah generasi yang menjadi tonggak sejarah Republik Indonesia. Angkatan anak muda yang mencoba bangkit melawan kesewenang-wenangan yang terjadi saat itu. Salah satu tokoh kunci dalam gerakan anak muda yang kemudian berujung dengan kejatuhan Orde Lama, Adalah, Soe Hok-Gie.

Soe Hok-Gie sangat dikenal dikalangan para aktivis karena tulisan-tulisan dan pemikirannya yang sangat fenomenal. Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Ia juga terkenal sebagai pemuda yang suka seni, film dan suka naik gunung. Pada tahun 1969  Gie mengdaki gunung Semeru. gunung tertinggi di pilau Jawa. namun disanalah ia meninggal tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 (16 Desember) akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

Pertama saya mengenalnya, lewat film karya Riri Riza dan Mira Lesmana "Gie" di rilis tahun 2005 dengan dibintangi Nicholas Saputra. Setelah melihat film itu, saya langsung berburu buku-buku tentangnya, seperti Buku Catatan Seorang Demonstran dan Soe Hok-Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya.Dari semua film yang bertemakan komunis, Film Gie tercatat sebagai film yang bisa dibilang mulus, tanpa penolakan atau gejolak di masyarakat. Padahal  Riri Rizal selaku sutradara banyak memakai simbol-simbol kekiri-kirian, memakai lagu Genjer-genjer dengan suara Bin Slamet dan gitar Jack Lesmana.

"Dalam film Gie, saya mencetak bendera PKI sekitar 50-60. Ada salah satu adegan syutingnya di Semarang, dimana para ibu-ibu pawai PKI dengan meneriakan hidup PKI...hidup PKI...hidup PKI... ketika saya bilang cut..cut.. mereka tetap teriak hidup PKI..."kenang Riri Riza beberapa waktu lalu dalam diskusi tentang sensor film.

"Kesepakannya cuma satu, semua atribut PKI yang dipakai selesai syuting harus diserahkan ke tentara. percetakan yang di pakai untuk mencetak bendera juga percetakan tentara," lanjut Riri, proses syuting Mirles juga menyewa Intel, marinir untuk melindungi aset mereka yang terlibat proses pembuatan film Gie.

Pemerintah melakukan pelarangan tayang film-film yang membahas peristiwa 1965 yang dianggap ingin memutar fakta sejarah seolah mereka adalah korban. Pada kenyataannya, film mengenai peristiwa peristiwa sejarah kelam bangsa Indonesia, tertanam lewat film Pengkhianatan G30S PKI yang diputar selama bertahun-tahun. Tidak hanya itu, dalam buku pelajaran sejarah peristiwa juga ditanam di sekolah.

Akhirnya setelah rezim Orba ambruk, film tersebut tak diputar lagi karena dianggap rekayasa sejarah. Sejak reformasi digulirkan, membicarakan film itu seolah tabu. Persepsi menganai peristiwa G30S PKI menjadi simpang siur. Banyak sineas yang mengangkat tema tentang partai komunis dalam film dengan kaca mata berbeda-beda.

Misalnya dari sudut korban, yang diduga terlibat tanpa melalui pengadilan hukum. Ada film "The Act of Killing, Jagal"Karyasutradara Amerika Joshua Oppenheimer. Menunjukkan betapa banyak orang tak berdosa terpaksa menjadi korban lantaran dicap komunis atau PKI. Lewat tokoh bernama Anwar Kongo, calo bioskop di Medan. Mereka diminta tentara membantai jutaan orang yang disebut komunis, etnis Tionghoa, maupun kalangan intelektual yang diklaim ‘berbahaya’ bagi negara.

Angga Dwimas Sasongko lewat "Surat dari Praha membungkus" komunisme dengan cerita bertema cinta. Pemeran utama film ini terjebak di Praha dan tak punya kewarganegaraan, menganut  Soekarno, sosialis, atau ‘kiri’ bukan berarti komunis. Sedang film dokumenter"Pulau Buru Tanah Air Beta"Rahung Nasution membuntuti’ pulangnya Hersri Setiawan, mantan tahanan politik 1965 ke Pulau Buru. Pulau itu pernah dijadikan tempat ‘pembuangan’ orang-orang yang dicap komunis, termasuk sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Lantas apakah Gie adalah seorang kiri?

Dalam film Gie, ada adegan Gie membaca buku Albert Camus; The Rebel, yang mendapatkan ilham besar dari Karl Marx. Bahkan lewat buku catatannya (Catatan Seorang Demonstran), mengakui bahwa dirinya seorang agnostic (tidak percaya Tuhan/agama). Hal ini juga “seolah” selaras dengan ajaran Marxist.

Jika merujuk pada hasil skripsinya, “Dibawah Lentera Merah” dan “Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan”. Akan ada sebagian orang mengira Gie kental dengan kiri.  Namun, saat melihat keseluruhan film dan mencari, membaca jejak-jejak pikiran, tulisan dan aksi-aksi Gie selama dia hidup, yang tercecer dalam beberapa buku; “Soe Hok-Gie: Sekali Lagi, “Zaman Bergerak”, dan “Catatan Seorang Demonstran”. Kita akan paham bahwa Gie justru menolak ide-ide revolusioner dan aksi-aksi liar milik PKI selama ini.

Gie hidup di zaman rezim menumbangkan Soekarno dan meredam arus PKI. Penolakannya terhadap ide-ide komunisme itu dibuktikannya dengan ketidakterlibatan dirinya dalam organisasi mahasiswa yang menjadi ‘underbow’ PKI di kampusnya sendiri, Universitas Indonesia.

Namun, kejatuhan pemerintah Soekarno dan naiknya Soeharto diwarnai sebuah drama kemanusian yang memilukan dan banjir darah. Soe Hok-Gie salah satu intelektual muda yang paling awal berani bersuara dan memprotes penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan secara sewenang-wenang yang bertentangan dengan prinsip HAM. Gie pergi langsung untuk mengumpulkan data-data yang kemudian ditulis sebagai artikel.

Dalam serangkaian pembunuhan di bali, Gie membuat dua serial artikel dengan menggunakan nama samaran Dewa. di terbitkan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat dengan judul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau bali"  yang isinya pada pembelaan pada hukum, keadilan, dan kemanusiaan. Meski ia menyatakan sama sekali tak hendak membela Partai Komunis (PKI) yang juga kejam dalam memberlakukan lawan-lawan politiknya.

Ketika Orde baru mulai eksis, Gie mulai menemukan bayak kekecewaan salah satunya melontarkan kritik pada tokoh Tionghoa yang duduk di Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang dianggap secara membabi buta memusnahkan semua hal yang berhubungan dengan identitas ketionghoaan. Seperti mengganti nama lebih kedengaran Indonesia.

Meski kakaknya mengganti nama menjadi Arief Budiman. Gie tetap mantap menyandang nama Soe Hok-Gie. Walau nantinya dia mengalami kesulitan di kantor Imigrasi ketika mengurus paspor RI, pengalamanya tersebut dituangkan lewat tulisan yang diterbitkan di Sinar Harapan, Maret 1969 dengan judul "Saya Bukan Wakil KAMI".

Tidak salah jika banyak yang bilang Soe Hok Gie merupakan sosok yang penuh kontradiksi. Gencar mengkritik Partai Komunis Indonesia (PKI), Namun menjadi orang pertama yang memprotes keras terjadinya pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965-1966.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun