Sudah beberapa tahun seni grafiti dan street art bergeser dari ruang publik berupa jalanan ke ruang yang lebih privat, yakni galeri seni. Diawali pada tahun 2010 Pekan Seni Urban Indonesia-Perancis di Galeri Salihara. Tahun ini Off The Wall Jakarta/ Pekan Seni Urban Indonesia-Perancis dibuat di dinding kawasan sekitar Yello Hotel, Harmoni dan tembok IFI Tamrin.
Museum Nasional sebagai lembaga pelestarian budaya ikut membawa seni grafiti ke ruang publik tidak hanya lewat jalanan. Dengan memberi ruang live graffiti pada 5 seniman grafiti Indonesia dan 5 seniman grafiti Perancis di papan yang sengaja dibuat di halaman gedung museum.
Selain itu beberapa karya mereka juga dipamerkan di dalam yang bisa disaksikan pengunjung Museum Nasional. Tidak hanya di ruang privat, tetapi karya kolaborasi mereka juga bisa dilihat di tembok IFI Tamrin.
Jejak seninya telah memenuhi kota Perancis dan sekitarnya. Colors sangat menguasai gaya ekspresif. Mengeksplorasi warna-warna yang berani. Semua garis dan warna melukiskan masa lalu dan visi ke depannya. Tinggal dan bekerja di Perancis, menggeluti seni sejak 1987 dengan membuat tagging, grafiti, melukis di dinding di kereta-kereta.
Kemacetan, kekacauan, dan kesibukan Kota Jakarta telah menginspirasi untuk menciptakan karakter Cumi yang menurutnya, mendeskripsikan alter ego menghadapi kota yang keras. Memiliki ciri khas warna hitam dan putih dengan sedikit aksentuasi yang dia anggap sebagai obat bagi kota yang riuh dan sesak dengan warna-warni papan iklan, neox box serta lampu-lampu jalanan.
Dalam menjaga karakter yang ia ciptakan tetap eksis, ia mengaplikasikan ke berbagai macam media seperti pakaian dan beberapa merchandise lainnya, kemudian menjadi bagian dari budaya urban.
Tertarik pada dunia grafiti pada usia 15 tahun, karyanya kebanyakan terpengaruh dengan kenangan-kenangan masa kecilnya. Hubungan dengan orang lain, kehidupan, kematian, dualisme, trinitas dan perempuan. Fenx telah mengadakan pameran di beberapa negara dan beberapa karyanya merupakan barang koleksi terkenal.
Lahir di Kota Lamongan, Jawa Timur, mulai mengenal grafiti akhir tahun 1989 bersama genk anak pecinta music metal. Banyak proyek seni yang ia kerjakan bersama seniaman grafiti, baik dari Indonesia maupun dari luar. Antara lain, Perancis, Cina, Italia. Sampai sekarang tetap rutin mengikuti proyek street art bersama komunitas Geneng Sreet art Project jogja.
Kongo
Seniman jalanan yang belajar secara otodidak. Memiliki darah Perancis dari ibu dan mengalir darah Vietnam dari sang ayah ini pindah ke Brazzaville, Republik Kongo pada usia 14 tahun. Dari sanalah asal-usul nama “Kongo”. Pengaruh multibudaya inilah yang membuat identitasnya dalam karya-karyanya semakin jelas.
Mengeguli dunia street art pada tahun 2000-an dan kemudian terlibat dalam berbagai pameran, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Beberapa karyanya telah diterbitkan di beberapa buku, antara lain di buku Indonesia Eye, Contemporary Indonesian Art oleh penerbit Skira, dan Jogja Agro Pop oleh Langgeng Art Foundation. Penerima Best Five pada gelaran kompetisi seni visual Philip Morris Asean Art Award pada tahun 2001.