Kineforum adalah bioskop pertama di Jakarta yang menawarkan ragam program film sekaligus diskusi tentang film. Sabtu (5/11) kemarin memutar kembali film Sunya karya sutradara Harry Dagoe. Banyak penonton yang antusias karena film yang rilis 6 oktober 2006 ini tidak bertahan lama di layar bioskop besar di Indonesia.
Wajar, film yang bernuansa tradisi Jawa kental sepanjang film berdurasi 80 menit dengan dialog berbahasa Jawa. Hanya bertahan seminggu atau dua minggu di layar bioskop. Mengingat bukan satu karya yang popular dan menarik minat penonton Indonesia.
Film yang dibintangi Erlandho Saputra ( Bejo dewasa) Eko Supriyanto (Rohman), Satria Qolbun Salim (bejo kecil) dan Astri Kusumawardhani (Raisa) ini berpusat pada satu tokoh bernama Bejo yang dari kecil sampai dewasa mengalami kejadian-kejadian aneh dan gaib.
Dari mulai melihat gadis kecil yang muncul dan menghilang di pinggir hutan. Munculnya peri-peri menari. Hubunganya dengan Rohman yang ditugaskan untuk selalu menemani dan menjaganya. Hingga kisah wayang Gatot kaca dan raksasa Buto.
Bejo tumbuh dewasa bersama keanehannya dan anggapan orang-orang sekitar bahwa dia memiliki jimat yang membuat karirnya berjalan mulus dan akhirnya bisa menikahi perempuan pujaan hatinya, Raisa yang pada awalnya memandangnya jijik dan hina.
Keanehan hidup Bejo tidak sampai disitu, dia harus bisa memecahkan misteri kenapa Mbah Ibu. Nenek yang membesarkannya dari kecil sekarat dan dokter yang merawat tidak mendiagnosa satu penyakit pun.
Namun beranjak ke menit akhir, kepala saya dibuat pening berpikir sebenarnya film ini mau dibawa kemana. Sampai akhir film sang sutradara seolah sengaja membuat cerita film ini tanpa ending. Akhir yang berputar kembali ke awal.
Saran saya ketika menonton film seperti ini, jangan mencoba menerka dan mencari cari dimana logikanya. Nikmati saja dari satu fragmen ke bagian berikutnya.
Film ini terbilang berhasil memikat saya dari segi sinematografi. Penggambaran alur kilas balik yang dimunculan secara tiba-tiba. Dari kehidupan Bejo kecil. Kembali ke Bejo yang dewasa dengan Mbah Ibu yang sekarat. Lalu berlanjut pada pencarian Bejo untuk menyembuhkan Mbah Ibu. Ditutup dengan kembali ke gambar Bejo kecil masuk ke hutan yang dikramatkan penduduk setempat.
Semua digambarkan secara tersirat, termaksud kultur jawa atau Kejawen. Bagi penonton yang kurang akrab dengan kebudayaan Jawa. Besar kemungkinan akan tersesat.
Namun secara luas, film ini mencoba menggambarkan masyarakat di negeri ini, yang kebanyakan masih mempercayai klenik disamping juga menikmati hal logis seperti perkembangan teknologi.
Dalam diskusi seusai pemutaran film, Harry mengaku mengangkat budaya Jawa karena dirasa menarik dan dekat dengan kehidupannya yang memiliki nenek dari Jogja. Ia menilai orang Jawa unsur rasional dan klenik berjalan beriringan.
"Selama ini, saya merasa masih ada kekeliruan atau sesuatu yang belum tergali dari kebanyakan film yang menggambarkan kebudayaan Jawa. Memahami orang Jawa itu tidak gampang. Tak bisa sebatas melihat dari mata saja. Tapi perlu melihat langsung ke pikiran dan perasaan mereka,” ujarnya dalam diskusi setelah pemutaran film.
Dalam membuat film Sunya Harry mengaku membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk memindahkan budaya Jawa ke dalam bentuk sinematografi film
Kekuatan film ini disamping alur cerita yang absrak, adalah pemilihan pemeran-pemerannya. Dari pemeran utama sampai figuran semua memainkan karekter mereka dengan sangat pas dan meyakinkan.
Selama proses pembuatan model yang pernah bermain film Arwah Goyang Karawang ini mengaku sempat depresi dan berniat mundur dari produksi yang sudah mencapai 90%
“Mendalami karakter Bejo yang aneh, membuat saya depresi dan benar-benar gila. Selama sebulan syuting saya dikurung di desa, jauh dari kota, dan jujur saja saya anak mall banget. Di sana hanya ada satu mini market dan itu tempatnya jauh di kecamatan. “ujar Erlandho yang harus menaikan berat badannya sampai 18 kg.
Harry Dagoe pun mengakui memilih Erlandho Saputra karena karakter wajahnya dinilai cocok dan pas. Ia juga mengapresiasikan kerja kerasnya untuk merasuk dalam karakter bejo. “Sebelum Erlandho saya menawarkan film ini kepada Reza Rahadian, tetapi setelah proses casting ternyata karakter wajah Reza kurang cocok.”
Lain cerita dengan yang dialami pemeran tokoh Bejo masa kecil. Satria Qolbun Salim, kebetulan anak indogo. “Pada saat syuting di hutan, satria bikin heboh kru karena dia berteriak-teriak merasa di tarik-tarik bajunya. Kalau sudah kayak gitu, Ibunya lansung telpon tantenya di Solo yang kebetulan bisa menerawang. Katanya makhluk itu pengeng ikut syuting.” jelas Harry.
Harus saya akui pemeran Raisa cocok dimainkan Astri karena penjiwaan sangat total selain gerakan tubuhnya saat menari sangat indah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana film ini jika dibintangi Luna Maya atau Reza Rahadian.
Mungkin dari segi Komersil, film ini akan banyak bicara di media-media. Tetapi dari segi akting saya tetap memilih Erlando dan Astrid. Mungkin lebih ke faktor saya belum pernah melihat mereka di film sebelumnya. Jadi setelah keluar dari bioskop saya tetap beranggapan merekalah Bejo dan Raisa jika ada di dalam kehidupan nyata.
Penampilan Eko Supriyanto yang aslinya seorang penari juga sangat memikat, bahkan ia sangat total dan tak keberatan ketika harus berakting vulgar untuk mendukung keutuhan alur cerita.
Jika ingin melihat film Indonesia yang tidak komersil atau film festival bisa melihat film Sunya. Jenis film absrak yang menawarkan simbol-simbol dalam sinematografi. Membuat penonton berfikir dan pada akhirnya dipaksa untuk menikmati. Tak perlu otak kita berontak menanyakan dimana logikanya.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H