Film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia. Di situlah letak tugas, fungsi, dan wewenang Lembaga Sensor Film (LSF). Ironisnya, dalam pemotongan LSF sering dirasa mematikan kreativitas sineas di Indonesia. Nilai penting yang ingin disampaikan sutradara justru kena sensor. Membuat alur cerita menjadi sulit dimengerti karena cerita bisa menjadi terkesan melompat-lompat.
Seperti yang dialami film 3 Hari Untuk Selamanya karya sutradara Riri Riza. Film yang dibintangi Adinia Wirasti dan Nicholas Saputra ini mendapat pemotongan adegan terpenting dalam film. Sehingga ketika film dilempar di bioskop, penonton tidak mendapatkan inti keseluruhan cerita.
"Saya merasa dihukum waktu itu. LSF seperti sengaja membiarkan bagian depan film utuh. Masuk ending langsung dipotong tanpa dikasih cela sedikit pun. Sehingga penonton sengaja dibuat tersesat," ujar Riri Riza setelah pemutaran Film 3 Hari Untuk Selamanya di Kineforum (30/10).
Film 3 Hari Untuk Selamanya tayang di bioskop pada tahun 2007 dan merupakan road movie yang masih belum seproduktif genre lainnya. Film ini bercerita tentang perjalanan sepasang sepupu bernama Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) dari Jakarta menuju Jogja.
Dalam perjalanan, terjadi berbagai peristiwa, beberapa dialog, saling curhat masalah, yang akhirnya membuat perjalanan tersebut menjadi berkesan dan ditempuh selama 3 hari. Padahal dalam perjalanan normal, Jakarta-Jogja tidak sampai sehari.
Tokoh utama film ini masih berusia anak kuliahan, usia-usia mencari jati diri. Dialog yang dibangun terkesan vulgar dan tidak mendidik seperti tentang kehidupan pernikahan, seks, narkoba, hingga agama, tetapi terasa mengena dan jujur.
Banyak adegan ngelinting ganja, menghisap ganja dan rokok, serta minum alkohol lulus sensor. Namun, memasuki bagian akhir adegan seks dipotong dengan kasar, bahkan adegan ciuman. Potongan itu membuat beberapa bagian film tiba-tiba gelap dan menyisakan ruang kosong buat penonton.
Seluruh anggota LSF dan Tenaga Sensor, dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada UU Perfilman Tahun 2009 dan PP No. 18 Tahun 2014. LSF bukan lembaga 'jagal film', oleh karena itu seharusnya anggota LSF mengadakan pendekatan dialog dengan sineas terlebih dahulu sebelum melakukan pemontongan dan sensor.
Tujuan dan patokan LSF untuk memotong dan menyensor film sampai sekarang masih dipertanyakan. Sudah menjadi rahasia umum, dalam mekanis sensor ada aturan yang tidak diperbolehkan tetapi ternyata semua berbalik kepada tergantung tim yang penyensor.
"LSF itu dibagi oleh beberapa regu, jadi nasib film tergantung dapat tim yg mana. Jika dapat tim yang intelek mungkin akan memainkannya dengan intelek. Jika dapat tim yang konservatif, yang sudah itulah yang sudah diputuskan," ujar sutradara kelahiran Makassar tersebut. Ia mengaku film 3 Hari Untuk Selamanya tidak ada panggilan kedua seperti yang ia alami ketika memproduksi film Gie.
LSF memegang peranan yang sangat penting dalam upaya melindungi pemikiran masyarakat Indonesia dari film-film yang mungkin dapat menjerumuskan. Ironisnya, melihat realita di dalam bioskop, film-film superhero dari luar negeri yang oleh pihak LSF diperuntukkan bagi usia 17 tahun ke atas. Tetapi masih saja ada orang tua yang mengajak anak-anak mereka yang masih berusia sekitar 7 sampai 10 tahun. Apa masih perlu LSF sebagai filter utama film yang akan disajikan kepada masyarakat? Jika tidak, adakah ketaatan dari pihak bioskop dalam masalah batasan usia penonton?
*
Foto-foto: Koleksi Pribadi (Trie yas/aka.lanang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H