Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hukum Adat Vs Hukum Negara (Papua)

17 Mei 2015   03:33 Diperbarui: 13 Agustus 2015   19:13 4464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption id="attachment_417958" align="aligncenter" width="560" caption="Warga Papua dalam mengadakan musyawarah."][/caption]

Sulit memisahkan masyarakat Indonesia dari hukum adat meski hukum negara yang diatur dalam undung-undang sudah ada dan diterapkan. Tiap daerah memiliki hukum adatnya sendiri bahkan dari dalam satu suku hukum adat bisa berbeda-beda. Sanksi yang diterapkanpun berbeda. Bisa hanya seperti dikucilkan di masyarakat tetapi ada juga yang berupa denda. Sebab pada umumnya masyarakat Indonesia lebih suka melakukan musyawarah mufakat.

[caption id="attachment_417959" align="aligncenter" width="630" caption="Film dokumenter tentang Pupua "]

14318080191770679350
14318080191770679350
[/caption]

Dalam film dokumenter Tanah Mama selain menyoroti perjuang tangguh para mama di Papua, juga memperlihatkan hukum adat Papua. Dimana masyarakat Papua lebih suka menyelesaikan pekara secara adat daripada menyelesaikan sesuai prosedur hukum. Film yang di produksi Nia Diana ini, mengisahkan seorang mama yang terlilit kemiskinan dan harus berjuang untuk bertahan hidup dengan empat anak dengan suami yang kurang bertanggung jawab dan sudah memiliki istri lagi. Sehingga dia terpaksa mengambil ubi di kebun adik iparnya agar anak-anak tidak mati kelaparan. Tetapi apa yang dia dapat, Dia dilaporkan ke ketua adat dituduh mencuri. Dan harus membayar denda satu juta.

Kita bisa bayangkan berapa harga ubi, apa pantas ubi yang diambil atau dianggap mencuri tersebut harus diganti rugi sampai 1 juta ? Begitulah masyarakat Papua selain memiliki keunikan sosial dan budaya. Hukum adat lebih mengguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana atau perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah dan harta benda lainnya yang harus ditanggung pelaku terhadap korban. Dendan semacam itu jelas lebih berat bila dibandingkan dengan putusan di pengadilan negeri. Hukum adat lebih dominan meski jika kita pikir secara nalar lebih menguntungkan pihak korban tetapi pada kenyataannya masyarakat Papuan masih lebih suka menyelesaikan semua perkara secara hukum adat karena lebih dipahami.

[caption id="attachment_417960" align="aligncenter" width="630" caption="keindahan dan kekayaan alam Papua ternyata banyak masyarakat yang masih terlilit kemiskinan. Ironis."]

14318081631450665868
14318081631450665868
[/caption]

Namun ketidakadilan hukum di Indonesia sering kita lihat tidak hanya di daerah tetapi kota ibu negara pun demikian. Praktik pengadilan lebih banyak merugikan korban karena mereka tidak memiliki uang.

Sekarang banyak berita-berita tentang pelaku hukum di Indonesia, banyak para koruptor yang susah terjerat hukum tetapi masyarakat kecil , tidak berduit menjadi korban ketimbang mereka yang berduit. Hukum di Indonesia memang lebih runcing ke bawah, pencurian dihukum 6 bulan sampai 1 tahun penjara selain harus bolak-balik menghadiri persidangan di pengadilan, mereka juga tak mampu membayar para jaksa, hakim, dan pengacara untuk membela. Karena itu, dalam pengadilan masyarakat kecil sangat lemah.

Hukum adat di Papua juga bisa melahirkan peperangan antar suku jika tidak ada kata sepakat dari kedua belah pihak. Sebab keuntungan dari tuntutan hukum adat, tidak hanya bagi korban, tetapi hampir seluruh anggota keluarga yang dekat dengan korban atau semua anggota suku itu. Karena itu, dukungan dari suku terhadap korban sangat besar.

Dalam perang adat, pihak yang kalah diyakini telah melakukan kebohongan, sedang pihak yang menang dinilai telah bertindak adil dan jujur. Perang terjadi jika sudah disepakati dan ada aturannya, terutama menyangkut jumlah suku yang terlibat perang, tampat waktu, perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh dalam perang. Bila kedua belah pihak saling bertemu di lokasi lain yang tidak sesuai kesepakatan, tidak akan ada permusuhan.

Tentu kita ingat perang adat di Timika pada Agustus 2003 antara kelompok pendukung dan penentang pemekaran Iran Jaya Tengah. Kesepakatan perang pagi hari sebelum  matahari terbit, dan diakhiri siang hari setelah matahari merangkak hilang di balik bukit. Ketika waktu makan siang perang berhenti sementara kemudian dilanjutkan kembali.

Dalam era globalisasi ini hukum adat di Papua sangat tergantung pada masyarakatnya yang pluralistis mempertahankan nilai-nilai budaya dan norma-norma adat ideal dan prosedural guna menyeleksi nilai-nilai dan norma-norma asing akibat arus globalisasi.

Pendidikan dan kesehatan  masyarakat Papua harus ditingkatakan dan diperhatihan pemerintah. Sekarang para sineas kita sudah berani menampilkan wajah masyarakat papua dalam belum audio visual atau film, kita harap pemerintah tidak hanya sibuk dengan dirinya dan kelompoknya sendiri. Sudah waktunya masyakarat papua hidup layak. Jangan hanya memikirkan cara mengambil kekayaan alam Papua tetapi juga bagaimana masyarakat Papua bisa mandiri dan pintar dan mengangkat Papua dari kemiskinan.

Hukum di Indonesia cukup bagus dan adil tetapi harus banyak perbaikan, ada sebagian para pelaku hukum (jaksa, hakim, dan pengacara) yang kurang manusiawi. Tentu masyarakat miskin yang awam akan hukum gampang dimainkan, dia tidak seperti kaum kaya, berduit yang mampu menyewa pengacara untuk membelanya di pengadilan.
[caption id="attachment_417961" align="aligncenter" width="700" caption="Salah satu upacara adat di Papua, Bakar batu, ketika musim panen ubi tiba."]

1431808265954946294
1431808265954946294
[/caption]

*

foto-foto: adegan-adegan  film dukumenter Tanah Mama ( yang menceritaka tentang tanah Papua)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun