[caption id="attachment_414032" align="aligncenter" width="490" caption="dok. pri"][/caption]
Candra Naya, mungkin nama tersebut tak sepopuler kota tua meski sama sama merupakan bangunan tua bersejarah dan lokasinya tak jauh dari kawasan wisata kota tua. Beralamatkan Jl. Gajah mada No 188, Jakarta barat. Jika kota tua sangat kental unsur koloniel Belanda, Candra Naya sangat kental nuansa Tiongkok karena dulu merupakan kediamana Mayor Khouw Kim. Mayopr Tionghoa yang terakhir di Batavia, pada pemerintahan tahun 1910-1918.
Tidak mudah orang menemukan gedung ini karena letaknya dari pinggir jalan besar kita akan susah melihatnya diapit gedung-gedung pencakar langit di komplek bangunan Green Central City. Ada Hotel Novotel yang menjulang tinggi disebelah kiri dan waralaba 711 di sebelah kanan. Dilihat dari bagian depan, Candra Naya tampak begitu kecil di antara bangunan-bangunan raksasa yang berada di sekelilingnya. Hotel Novotel lebih menonjol terlihat dan biasanya menjadi patokan sebab gudung Candra Naya terletah dalan superblok Novetel Hotel yang berdiri megah. Tetapi jika kalian masuk, pasti akan merasa takjup. Bagaimana tidak, bangunan tua yang sangat kental budaya diapit gedung gedung tinggi nan megah, tetapi banguna tua dan kecil itu lebih mempesona dan seolaha tak kalah anggun dari bangunan bangunan modernt di sekelilingnya.
Yan Wei atau ekor walet merupakan atap bangunan Candra Naya, dimana atapnya terlihat melengkung yang kedua ujungnya terbelah dua yang menandakan status sosial penghuninya. Bagian pemisah antara halaman depan dan halaman samping terdapat jendela penghubung atau sering disebut sebagai jendela bulan atau Moon gete. Ruangan Bagunanan yang menjadi Cagar Alam ini terdiri dari dari ruang tamu, ruang semi pribadi, ruang pribadi, ruang pelayanan dan halaman.
Hiasan-hiasan yang terdapat di beberapa pintu tidak sebatas pemanis semata, tetapi merupaka suatu kepercayaan yang kuat, seperti B Gua (delapan Diagram) yang berupa pengetuk pintu berbentuk segi delapan tersebut bertujuan untuk menolak bala, hiasan Jamur Lingzhi pada pintu masuk utama melambangkan umur panjang dan ragam hiasan bergambar buku, papan catur, kecapi serta gulungan lukisan yang terletah di bagian atap teras depan merupakan wujud perlambangan sang pemilik rumah adalah seorang cendekiawan juga seorang hartawan.
Pada awalnya bangunan Candra Naya ini di gunakan sebagai tempat berkumpulnya Perhimpunan Sosial Sin Ming Hui pada tahun 1946, (Xin Ming Hui, ‘perkempulan Sinar baru) yang bertujuan membantu korban kerusuhan Tangerang 1946. Tetapi pada tahun 1965, Sin Ming Hui berganti nama menjadi Tjandra Naja atas saran dari Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Hingga akhir 1992, Gedung Candra Naya tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai poliklinik, kantor yayasan, tempat berlatih olahraga dan sekolah. Meski bergitu gedung ini juga sempat dijadikan tempat pesta pernikahan sekitar tahun 1960-1970. Dan pernah dijadikan sebagai tempat kompetisi pertama yang diadakan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia maupun kompetisi Bilyar dan angkat berat pertama di Jakarta.
Tahun 1992, Candra Naya dijual kepada Modern Grup yang dimiliki oleh Samadikun hartono yang hendak merelokasi ke Taman Mini Indonesia Indah tetapi ditentang oleh pencinta bangunan tua yang tidak setuju sebuah bangunan heritage (pusaka) Â dipindah dari habitan aslinya, demi kepentingan bisnis semata. Akhirnya Sutioso yang saat itu masih menjabat sebagai Gebernur Jakarta tidak menandatangani pemindahakan Candra Naya.
Candra Naya hampir bertahun tahun tak terurus sampai akhirnya tahun 2012 Gree Central City menjadikan gedung ini sebagai bagian kompleks hunia dan komersial terpadu sehingga menjadi tampak indah dan tetap terjaga keaslian nilai leluhurnya. Bangunan sayap (wings) kiri-kanan, begitu pun gazebo-nya, juga dibangun kembali setelah sebelumnya dibongkar total, sedangkan bangunan belakang (back building) yang berlantai dua dan mempunyai "sayap" di kiri-kanannya  tidak berhasil diselamatkan karena telah dibongkar untuk selamanya.
Sekarang Candra Naya tetap berdiri tegak dan unik di apit bangunan bangunan besar, jika ke sana bisa menikmati kopi di café yang berada di sisi bangunan utama sambil melihat magis dan nilai budaya serta sejarah Tiongkok di Indonesia.
Â
Coba rasakan sendiri.
*
[caption id="attachment_414033" align="aligncenter" width="491" caption="dok. pri"]
[caption id="attachment_414034" align="aligncenter" width="491" caption="dok. pri"]
[caption id="attachment_414036" align="aligncenter" width="491" caption="dok. pri"]
[caption id="attachment_414037" align="aligncenter" width="491" caption="dok. pri"]
[caption id="attachment_414038" align="aligncenter" width="491" caption="dok. pri"]
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Foto-foto : Koleksi pribadi (Trie Yas) http://www.kompasiana.com/lannang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H