Sebegitu banyak orang yang sangat menyukai praktek-praktek hidup relijius namun tidak mencoba mengolahnya sehingga mencapai fase spiritualitas, sebuah jebakan hidup yang sangat halus. Â
Cinta kasih dan kepedulian adalah aspek fundamental yang menjadi dasar hubungan dengan Yang Diatas dan sesama manusia disekitar kita. Namun nampaknya orang lebih senang mendapatkan predikat saleh karena rajin melakukan aktivitas ibadah namun kehilangan hubungan dengan sesamanya. Menjadi relijius itu mudah, namun menjadi spiritual itu perlu perjuangan.
Pelita, lilin, janur, bunga, kopyah, jubah, pakaian kebesaran, kotbah, kitab, dan orasi adalah  bagian dari relijiusitas. Namun menjalani hidup karena kesadaran akan pengenalan, cinta kasih dan kepedulian Sang Khalik adalah buah dari spiritualitas.
Penampilan, gaya berkotbah, gaya berorasi, bahkan jubah atau jas indah yang dipakai saat di podium akan segera mudah dilupakan orang. Sepulang dari ibadah mereka segera lupa apa pesan yang diberitakan, sebab setiap hari kepala bagaikan pabrik pikiran dengan ribuan produk pikiran, ide, atau gagasan yang harus diselesaikan.
Namun, memberi porsi khusus pada hubungan pribadi, semangat memperhatikan secara personal, gagasan untuk membantu memecahkan masalah, maupun keterlibatan langsung  dalam kehadiran secara fisik akan memberikan makna yang mendalam dan tentu saja sebagai berkah yang luar biasa, yang terekam lama dalam memori, apalagi jika itu mampu memberikan perubahan hidup yang lebih baik. Inilah wujud nyata aspek spritualitas di dalam kehidupan: semakin mengenal Yang Diatas -- semakin mempedulikan yang disekitarnya.
Apalagi yang bisa dicontohkan? Makan malam dan berdiskusi tentang sekolah anak-anak dan kesibukan istri hari ini, mendoakan kawan yang sedang menunggu ujian masuk kerja, menjenguk teman yang telah pulang dari opname di rumah sakit, membantu sahabat mencarikan kontrakan baru, memberikan ide kepada tetangga yang bingung mencari universitas untuk anaknya, mengirim WA messages untuk kawan yang lama tak berjumpa, mengunjungi rekan kerja ke rumahnya, mengirimkan daging kurban untuk kenalan baru, memberi ide solusi mengurai masalah finansial, membantu memulihkan hubungan keluarga yang retak, melayat dan menguatkan keluarga yang berduka, dan masih banyak lagi praktek-praktek sederhana dari fase hidup spiritualitas.
"Aku tidak membutuhkan kesalehanmu, yang kubutuhkan adalah cinta kasih dan kepedulianmu", sebuah pesan abadi dari pengemis kurus dengan rambut panjang kumal tak terurus. Masih adakah ia bergema di hati kita atau sudah menjadi omong kosong belaka, ataukah kita sudah sedemikian terjebak menjadi orang saleh yang nyaman dengan dunia sendiri dan lupa mempedulikan sesama..
***