Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Papa Bolehkah Aku (yang Kristen) Ikut Berpuasa?

17 April 2021   22:21 Diperbarui: 18 April 2021   05:46 3599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika sedang makan malam bersama, tiba-tiba Gavriel alias Viel anak lelaki kami yang berusia 7 tahun dan masih duduk di kelas 1 SD bertanya, "Papa boleh aku ikut berpuasa?".

Kami berdua berpandangan karena tidak mengira ia akan bertanya tentang itu. Sementara kakaknya yang sudah kelas 6 SD, senyum-senyum menggoda adiknya yang polos.

Sejenak saya berpikir lalu menjawabnya, "Wew ide keren, ngomong-omong kenapa adik ingin ikut berpuasa?". Dengan cepat ia menjawab, "Kan teman-temanku puasa semua, Mas Ramdhan, Mas Rayhan, Aizah, Athar, Alya, boleh enggak?"

Tenang saya menjawab, "Puasa itu baik untuk kesehatan Dik, dengan berpuasa maka mengurangi lemak dalam darah".

Entah ia bisa mengerti atau tidak, saya lanjutkan bicara, "Jadi kalau Adik ingin ikut puasa, itu supaya Adik semakin sehat. Kalau teman-teman Adik berpuasa di bulan Ramadhan karena memang tuntunan ibadah sesuai agama Islam. Walau Adik Kristen, boleh kok ikut berpuasa bukan untuk beribadah seperti umat muslim tetapi untuk menjaga kesehatan tubuh".

"Tapi puasa anak-anak beda dengan puasa orangtua, ya", istri saya menyahut. "Bedanya?", sergah Viel.

"Kalau orangtua berpuasa sehari penuh dari subuh sampai maghrib, kalau anak-anak puasanya setengah hari, sampai jam 12 siang", jawab istri saya.

Dengan semangat Viel menyahut, "Viel puasanya jam 6 pagi sampai jam 12 saja, Ma. Tapi kalau lapar ya Viel makan aja". Haaaa...kami semua tergelak, karena jawaban polos itu.

Dinamika yang Bermanfaat

Hidup dalam masyarakat dengan sebagian besar warga muslim memang ada pernak-perniknya, salah satu contohnya adalah saat bulan Ramadhan tiba.

Anak-anak kami yang masih kecil belum mengerti fenomena bulan Ramadhan: tentang puasa, takjil, ngabuburit, tiba-tiba banyak orang jualan makanan enak-enak di sepanjang pinggir jalan, petasan dikala subuh, dan anak-anak yang asyik jalan pagi selepas sholat subuh, dan tentu tentang lebaran dengan segala kemeriahannya.

Bagi kami, kuncinya adalah jangan melarang-larang anak yang ingin mengetahui hal-hal yang belum dia ketahui. Termasuk yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan yang berbeda, apalagi di Indonesia ini ada banyak agama dan kepercayaan.

Tidak perlu merasa takut bahwa anak akan berpindah agama gara-gara mengetahui ajaran agama lain, maaf itu pemikiran yang terlalu sempit.

Justru ketika anak mengetahui dengan benar maka rasa penasarannya akan terpuaskan, dengan demikian orangtua bisa kembali mengarahkan pada prinsip-prinsip yang dianut dengan lebih baik.

Jangan Memberangus Rasa Penasaran Anak

Mengapa rasa penasaran anak tidak boleh di berangus, dibungkam, atau dinihilkan?

Sesuai dengan usia tumbuh kembangnya, otak anak akan berfungsi semakin lengkap. Pada jalur saraf otak yang mendukung komunikasi, pemahaman, hingga emosional, akan berkembang dengan baik apalagi jika didukung dengan asupan nutrisi yang baik dan stimulasi yang dirancang secara sistematis.

Bertanya, merupakan salah satu tanda istimewa perkembangan otak anak. Di dalam bertanya anak membangkitkan keberanian untuk mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, ini berarti ia bebas dari rasa takut, atau berhasil membesarkan rasa berani sekaligus mengecilkan rasa takut demi mendapatkan sebuah jawaban. Ini hebat bukan, perhatikan beberapa aspek yang muncul ketika anak bertanya: ada rasa penasaran, ada keberanian, ada mengelola ketakutan.

Sebuah perkembangan kognitif yang harus disyukuri dan didukung, bukan dihindari dengan mematahkan semangat anak ketika bertanya karena ogah menjawab dan malas mencari jawaban yang bisa diterima anak sesuai tumbuh kembangnya. Mematahkan semangat bertanya anak sama saja dengan mematikan perkembangan saraf-saraf otak anak.

Ilustrasi Perbincangan hangat seorang ibu dan anak. Sumber: flipboard.com
Ilustrasi Perbincangan hangat seorang ibu dan anak. Sumber: flipboard.com

Keberanian Bertanya adalah Perkembangan Kognitif yang Baik

Psikolog dan tokoh konstruktivisme berkebangsaan Swiss, Jean Piaget (1896-1980) menyatakan bahwa anak mengkonstruksi pengetahuan tentang realitas lewat rangkaian proses transformasi (gelisah, bertanya, mencari) dan pengendapan (refleksi) secara berulang-ulang dan dengan begitu ia mengalami perkembangan. Inilah yang disebut teori perkembangan kognitif.

Perkembangan itu berlangsung dalam tahap-tahap, masing-masing tahap ditandai oleh cara atau kemampuan penalaran yang berlainan. Secara garis besar Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat tahap:

  1. Tahap sensori motor
  2. Tahap pra operasi
  3. Tahap operasi konkret
  4. Tahap operasi formal

Tahap sensori motor lebih ditandai dengan pemikiran anak berdasarkan tindakan inderawinya. Tahap pra-operasi diwarnai dengan mulai digunakannya simbol-simbol untuk menghadirkan suatu benda atau pemikiran, khususnya penggunaan bahasa.

Tahap operasi konkret ditandai dengan penggunaan aturan-aturan yang logis dan jelas. Dan tahap operasi formal dicirikan dengan pemikiran abstrak, hipotesis, deduktif, serta induktif.

Ketika Gavriel yang saban hari berteman dengan anak-anak sepermainan yang sebagian besar Muslim, maka mulailah ia mengenal hal-hal berbeda dengan apa yang ditemuinya sebagai kebiasaan di rumah. Fakta yang mulai mengusik perkembangan kognitifnya seperti perbedaan cara berdoa, perbedaan kalimat atau kata rohani yang berciri khas bahasa arab bagi yang muslim dan ibrani atau latin bagi yang kristiani.

Misal ketika sebelum buka puasa bersama seluruh warga, biasanya warga muslim membatalkan puasa dengan takjil lalu segera melakukan sholat maghrib berjamaah di balai RT, baru setelah itu makan besar bersama-sama seluruh warga baik muslim maupun bukan muslim.

Ketika ia melihat teman-temannya melakukan wudhu, atau melihat gerakan-gerakan tubuh dan mulut yang melafalkan doa dalam jamaah tersebut maka kami memberitahu bahwa gerakan-gerakan tersebut disebut sebagai sholat.

Untuk sementara waktu Viel merasa puas atas rasa penasarannya dengan pengetahuan baru yang disebut sholat, ini adalah bentuk keseimbangan atau mengutip istilah Y.B Mangunwijaya disebut sebagai equilibrium.

Suatu kali ketika Viel melihat teman-temannya bersama ratusan jamaah melakukan sholat di halaman masjid sampai meluber ke tepi jalan raya, pemahamannya tentang sholat menjadi terganggu.

Dulu sholat yang ia pahami dilakukan oleh warga di balai RT sebelum berbuka puasa bersama, sekarang kenapa berbeda? Ketidakseimbangan ini membuat Viel menafsirkan ulang pengetahuannya tentang sholat.

Keadaan tidak seimbang pada kognitif anak ini disebut disequilibrium, dimana ia harus memikirkan dan menafsirkan ulang pengetahuan awal yang didapatkankan tentang sesuatu.

Dengan sedikit bantuan mamanya, Viel mengerti bahwa sholat diakhir masa sebulan berpuasa disebut Sholat Ied, sebagai tanda berakhirnya puasa dan dimulainya hari raya Idul Fitri. Proses menafsir ulang pengetahuan yang terdahulu untuk mendapatkan pengetahuan yang baru ini disebut proses akomodasi, suatu penyesuaian dengan situasi yang baru, yang menghasilkan kata baru Sholat Ied.

Ia menemukan keseimbangan baru dengan konsep Sholat Ied. Proses mengatasi disequilbrium ini disebut sebagai equilibration.

Ketika kemudian ia mendengar dari saya atau teman bermainnya, atau melihat dan mendengar berita televisi bahwa Sholat Ied disebut juga Sholat Idul Fitri, maka ia tidak akan mengalami kesulitan untuk memahaminya, sebab itu hanya soal nama saja. Pembentukan konsep baru telah terjadi ketika anak mengkonstruksi kata Sholat Ied.

Proses belajar yang disebut sebagai equilibration terjadi ketika anak menemukan ketidakcocokan antara sesuatu yang ia ketahui dengan apa yang ia alami. Dalam hal itulah saya setuju dengan konsep merdeka belajar, di mana anak belajar secara nyata dari apa yang ia lihat dan ia alami dari kehidupan keseharian.

Kebebasan anak untuk melakukan ekplorasi secara kreatif atas rasa penasaran dalam hatinya akan mengantarkan anak menemukan jawaban yang bermakna, kebebasan itu dimulai dengan "merdeka bertanya" kepada siapapun.

Orangtua dan juga tentu saja bapak-ibu Guru di sekolah, wajib membimbing dengan cara yang akomodatif dan menyenangkan sehingga anak merasa gembira untuk bertanya.

Ilustrasi Anak menemukan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sumber: id.theasianparent.com diolah dari shutterstock
Ilustrasi Anak menemukan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sumber: id.theasianparent.com diolah dari shutterstock
Maka ketika Gavriel tiba-tiba bertanya, "Papa bolehkah aku ikut berpuasa?". Jawabannya adalah boleh, setelah digali bersama untuk mendapatkan equilibration, yang nantinya anak mengerti benar bahwa berpuasa bagi umat muslim adalah sebuah ibadah sekaligus membawa manfaat positif bagi tubuh siapapun yang berpuasa baik muslim ataupun bukan muslim, sehingga semakin sehat. Asal, dilakukan secara benar.

Salam.

Baca juga: Mengawal Anak-Anak yang Eksploratif

***

Referensi:

Manusia Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein, oleh A. Ferry T. Indratno, Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun