Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menemukan Mata Air Kehidupan di Dalam Diri

11 April 2021   18:39 Diperbarui: 12 April 2021   12:20 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rusa Meminum Air Sungai yang Tenang. Sumber: kumparan.com

Berbahagialah ia yang menemukan mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal. -NN

Seorang bapak petani muda  yang baru pulang bekerja di ladang menjadi sangat jengkel mendengar celoteh anaknya yang tidak jelas, semakin ia bertanya semakin tidak jelas anaknya menjawab. Rasa capek dan lelah seharian rupanya membuat dirinya menjadi sensitif melihat hal-hal yang tidak beres dalam pemandangannya. Anak kecil berusia 1,5 tahun yang semestinya lucu celoteh dan tingkahnya di hadapan siapapun, justru menjadi menjadi aneh dalam pemandangannya.

Namun menjadi berbeda ketika sang ibu datang menetralkan keadaan. Kata tak bermakna dituntun diejanya menjadi kalimat berharga. Tingkah yang kurang pas di koreksinya dengan sebuah contoh untuk ditirukan anaknya.

Seringkali kita terjebak menuntut orang lain untuk tampil menjadi dewasa sebelum waktunya. Dampaknya banyak pengorbanan yang merugikan terpaksa harus diterima. Sebagian orang pintar mengatakan itu adalah ongkos yang harus dibayar sebagai sebuah pembelajaran, sebagian lain mengatakan kitalah yang tidak mampu mengenali tanda-tanda kapan memutuskan orang sudah memasuki fase dewasa atau masih anak-anak.

Di luar sana banyak fenomena; Manajer muda yang kebingungan membawa ke arah mana departemennya, Pimpinan Korporasi Pemerintah yang semata-mata melayani kepentingan partai, Ketua Ormas yang hanya bisa membeo apa yang diinginkan para donaturnya, Legislator di kursi parlemen yang terbuai dengan retorika pidatonya demi mendulang suara namun kebingungan mewujudkan janji-janji surganya, dan Pengkotbah yang mengejar popularitas dengan menjual kisah-kisah lucu bahkan tragedi kesedihan orang lain untuk mendapatkan perhatian jamaahnya. Itu semua terjadi karena mereka sesungguhnya belum menemukan aliran sungai kehidupan yang menumbuhkan pohon-pohon kebijaksanaan di dalam hati nuraninya. Dalam bahasa berbeda mereka sebenarnya belum dicerahkan jika tidak ingin dengan jujur menyebutnya masih berada dalam kegelapan.

Pohon kebijaksanaan semestinya muncul secara alamiah karena dihasilkan alam yang selalu berganti-ganti iklimnya. Cuaca badai, topan, hujan, banjir, tanah longsor, panas, dan kering justru menghasilkan pohon-pohon terbaiknya yaitu yang tetap bertahan tegak berdiri tanpa rekayasa. Demikian pula dengan para manajer, pimpinan korporasi, ketua ormas, legislator, maupun pengkotbah dan lain sebagainya adalah hasil proses iklim alamiah kehidupan yang menjadi saringan untuk menentukan mana yang berdiri sebagai pohon kebijaksanaan yang berkualitas atau semata-mata pohon kayu  untuk dibakar saja.

Bapak petani muda dengan sedikit berpeluh dan usaha sesungguhnya mampu menyiapkan bibit-bibit pohon kebijaksanaan baru, namun serahkanlah kepada semesta dan pemiliknya untuk menentukan mana yang  harus kokoh bertahan berdiri menjadi rimbun bercabang tempat bernaung burung-burung dan orang-orang yang membutuhkan peristirahatan dari lelahnya hidup. Dan mana pohon-pohon yang harus menjadi kayu bakar, abu, kompos, sebuah jalan lain melayani semesta dengan  memberi nutrisi bagi bumi tempat pohon-pohon baru lainnya bertunas dan bertumbuh.

Sebagaimana ibu menuntun, mengeja, dan membawa kepada makna, maka di sanalah kedapatan kualitas diri yang luar biasa. Hati yang lentur untuk menerima kenyataan yang berbeda dari yang diharapkan, dan berusaha membawa kepada pertumbuhan berharga sarat makna. Inilah kesejukan air di dalam diri, yang dicari seekor rusa hutan yang kehausan dan menemukan aliran sungai kehidupan  yang jernih gemericik. Membawa kehidupan yang tercerahkan dan menebar kedamaian dari dalam diri kepada mereka yang ada di luar.

Ilustrasi Pohon yang Tumbuh Subur di Tepi Aliran Sungai. Sumber: pixabay.com
Ilustrasi Pohon yang Tumbuh Subur di Tepi Aliran Sungai. Sumber: pixabay.com
Hati yang tercerahkan tidak akan mudah kecewa karena ia tidak banyak berharap  kepada yang masih bertumbuh, sebagaimana pohon-pohon di hutan yang tidak semuanya siap menjadi kayu untuk soko guru sebuah rumah. Sebagian menjadi kayu dinding, jendela, kusen, dan sebagian menjadi kayu bakar atau membusuk di dalam tanah yang pun demikian masih memberikan manfaat kepada semesta.

Siapa menemukan air sejuk di dalam dirinya, akan turut mengalir menjadi air yang menghidupkan; tidak lagi kebingungan menentukan arah karena ia sudah memiliki tujuan. Tidak lagi ia frustasi karena berupaya menyenangkan semua orang sebab ia sudah memiliki prinsip untuk dijalani. Tidak lagi membeo dan membela yang bayar sebab air kehidupan lebih berharga dari lembaran-lembaran uang yang biasa diterimanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun