Orang-orang hanya sekali dua kali saja memberi apresiasi, selanjutnya tergilas lupa yang menguapkan semua kebahagiaan semu tersebut. Sampai akhirnya orang menyadari bahwa kebutuhan memakai sepatu adalah sebatas nyaman dan sesuai peruntukannya saja, kembali kepada tujuan awal dibuatnya sepasang  sepatu.Â
Itulah hedonic treadmill, keinginan untuk terus mengejar kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan dengan kepemilikan atas barang-barang dan apapun juga, namun tidak pernah tercapai.Â
Persis seperti treadmill alat olah raga modern yang sering dipakai orang berlari  berkilo-kilo meter tetapi sesungguhnya ia hanya berada ditempat saja, tahu-tahu capek.
Mengapa konsepsi "Jika memiliki lebih banyak, aku  menjadi lebih dihargai" adalah mitos? Sebab nilai benda tidak bisa disamakan dengan nilai diri. Seseorang dihargai bukan karena apa yang dimilikinya, tetapi karena kebermaknaannya diantara orang-orang lain disekitarnya.Â
Bermakna bukan sekedar ada dan memberi kenangan tetapi memberi arti mendalam, memberi pengaruh positif, dan membawa inspirasi perubahan sekalipun itu kecil saja.Â
Jika seseorang memahami ini maka ia akan lepas dari jebakan "ingin memiliki lebih banyak" dan mulai bersyukur untuk setiap nikmat yang saat ini diberikan kepadanya.Â
Didalam bersyukur orang bisa merasakan kepuasan dari dahaga kepemilikan bendawi, dan berkata cukup. Bertolak belakang dengan mental miskin yang selalu merasa kurang, sehingga selalu menuntut, selalu meminta, dan terjebak menyalahkan pihak lain atas ketidakbahagiaan diri sendiri. Inilah mental kaya: yaitu dengan penuh syukur berani berkata hidupku diberkati, kebutuhanku dicukupkan Illahi, aku tidak berkekurangan.
Dari sinilah kemudian mulai mengalir kebesaran hati untuk melihat siapa yang ada disekitarnya, sehingga bisa menumbuhkan rasa kepedulian tercermin dari cara bertutur yang tidak menyakiti, mengendalikan diri,  berpenampilan sepantasnya, dan biasa  berbagi bagi sesama.Â
Kemampuan untuk menyadari nilai diri lebih berharga dari pada  nilai bendawi akan membawa hidup kita lebih bahagia dan lebih sederhana  karena tidak lagi terjebak dalam konsepsi ingin memiliki lebih banyak.
***