Bergegas dirinya menemui asisten pemilik toko dan menyampaikan keluhannya bahwa sudah dua jam dan ia belum menerima barang orderannya.Â
Asisten pemilik toko terkejut mendengar keluhannya, ia tidak mencari siapa pramuniaga yang salah, dan ini yang luar biasa yaitu  ia mengumumkan kepada seluruh pramuniaga untuk mencari barang orderan tersebut, yang kemungkinan tertukar pada pelanggan lain, atau bisa jadi belum sempat disiapkan.Â
Riuh para pramuniaga saling menyemangati untuk segera menemukan orderan istri saya yang rupanya namanya cukup familier di kalangan mereka. Setelah kurang lebih setengah jam mencari, tiba-tiba ada seorang mbak pramuniaga yang berteriak, "Woi sudah ketemu...". Dan semua pramuniaga yang berjumlah kurang lebih sepuluh orang secara hampir bersamaan berteriak, "Horeee....". Ada juga yang  bersiul, "Suiit..suiit..". Suasana menjadi meriah walaupun sebenarnya sudah hampir tutup toko, dan biasanya para pramuniaga ini sudah mulai loyo karena letih bekerja seharian.
Istri saya senang sekali dengan pelayanan yang istimewa ini, mengingat nilai orderannya tidak seberapa, jauh dibawah orderan para pedagang besar yang puluhan juta sekali belanja. Sekalipun ia hanya pedagang kecil, tetapi pelayanan yang ditunjukkan asisten dan para pramuniaga tidak membeda-bedakan. Bahkan mungkin karena "keteledoran" mereka, sebagai gantinya kemudian mereka memfokuskan perhatian untuk menyelesaikan masalah keluhan ini sampai tuntas.
Apa yang dilakukan oleh asisten pemilik toko dan para pramuniaga ini sungguh sebuah perilaku yang layak untuk diapresiasi. Ketika mereka memfokuskan kepuasan pelanggan sebagai tujuan yang harus dicapai, maka secara tidak sadar mereka sedang menunjukkan nilai-nilai budaya perusahaan dimana mereka bekerja. Sorak-sorai mereka ketika barang orderan ditemukan, adalah cara mereka untuk menunjukkan rasa empati kepada pelanggan yang semula kecewa kemudian berubah seratus delapan puluh derajat menjadi bahagia. Ketika pelanggan kecewa mereka berusaha keras melakukan upaya perbaikan pelayanan secepatnya, dan ketika pelanggan puas, mereka turut bersorak bahagia. Sebuah budaya perusahaan (baca: toko) yang tidak kalah dengan perusahaan-perusahaan besar yang sudah kokoh menancapkan dirinya dengan visi, misi, dan budaya organisasi yang fully established.
Berbicara tentang budaya organisasi, maka secara sederhana budaya organisasi dapat diungkapkan  sebagai cara berpikir, cara bekerja, dan cara berperilaku para anggota suatu organisai atau perusahaan dalam melakukan tugas pekerjaan mereka masing-masing.Â
Lapisan pertama adalah lapisan paling luar, lapisan ini bisa dilihat langsung, bisa diamati, dan menjadi ekspresi dari budaya itu sendiri. Lapisan ini adalah perilaku yang ditunjukkan oleh para karyawan perusahaan. Perilaku yang bisa nampak ada bermacam-macam misalnya selalu tersenyum ramah kepada setiap orang, persis seperti sering kita lihat pada pramugari pesawat, staf resepsionis hotel, atau pada seorang pemandu wisata. Tetapi apa yang nampak pada wajah pasukan khusus pengawal presiden yang dingin, jarang tersenyum, tatapan mata tajam, dada membusung, dan gerakan yang kaku juga merupakan perilaku dari budaya organisasi ketentaraan.Â
Lapisan kedua adalah nilai-nilai atau values, yaitu hal-hal yang baik, pantas, benar dan layak mendapatkan prioritas untuk dilakukan. Nilai atau values tidak bisa dilihat secara langsung, tetapi ia terimplementasikan dalam perilaku. Misalnya: nilai setia kawan akan ditunjukkan dengan perilaku membantu menyelesaikan pekerjaan sesama karyawan yang keteteran, nilai  profesionalisme akan ditunjukkan dengan rela pulang lebih lambat demi menyelesaikan pekerjaan secara tuntas, nilai trengginas akan nampak dalam cara bekerja yang cepat, nilai melayani akan nampak dalam kesabaran ketika menerima komplain pelanggan, atau  nilai keterbukaan akan terlihat dengan selalu mengklarifikasi setiap informasi yang diterima.
Dan yang terakhir adalah lapisan terdalam dari tingkatan-tingkatan yang ada dalam budaya organisasi atau perusahaan. Lapisan yang  paling dalam dari budaya perusahaan  ini disebut  beliefs, yaitu keyakinan yang sangat kokoh dan mendasar pada suatu prinsip yang bersifat kekal. Misal: keyakinan bahwa kerja adalah ibadah, ini menjadi dasar mengapa orang kemudian memiliki nilai-nilai profesionalisme, setia kawan, trengginas, sabar, terbuka, dan nilai-nilai lain yang kemudian teraktualisasikan dalam perilakunya di tempat kerja. Keyakinan bahwa kerja adalah ibadah membuat seseorang ingin melakukan yang terbaik, giving my best.
Budaya perusahaan atau budaya organisasi yang bisa dicerna dengan baik oleh setiap orang yang menjadi anggotanya  akan menjadi  safety belt yang kuat ketika terjadi turbulensi dalam diri individu-individu yang berada di dalamnya, bahkan ketika harus terjadi konflik antar pribadi yang terjadi dalam organisasi atau perusahaan maka budaya perusahaan bisa menjadi konsensus bersama untuk mencapai resolusi sehingga perusahaan atau organisasi bisa terus maju dan berkembang. Dengan demikian, setiap founding father perlu benar-benar menemukan dan memilih budaya seperti apa yang akan ditetapkan menjadi budaya organisasi atau budaya perusahaan yang mendukung keberhasilan perusahaan dan membawa perusahaan berumur panjang.