Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ini Ilmu Perang Jokowi: Menundukkan Lawan Menjadikan Kawan

29 Desember 2020   16:29 Diperbarui: 29 Desember 2020   18:16 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: m.liputan6.com

Seminggu belakangan public Indonesia banyak yang bertanya-tanya dengan reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi. Publik semakin terfokus dengan masuknya Bang Sandi sang mantan rival dalam Pilpres 2019 kemarin. 

Berbagai analisis dan opini mengemuka di berbagai tempat, mulai dari televisi, media online, sampai di warung kopi dan angkringan. Memang menarik ngobrolin Pak Presiden kita ini, tidak ada yang lepas dari pengamatan publik semenjak beliau menjadi Gubernur DKI sampai saat ini. Maklum masyarakat telanjur terpolarisasi menjadi dua kubu, yang semakin memuncak saat Pilpres.

Gemas juga di era yang semakin mengglobal seperti ini, di mana masyarakat dunia sudah banyak berpikir tanpa sekat, kita malah masuk lagi ke dalam dikotomi kawan-lawan, cebong-kampret, dan sebagainya yang intinya membawa kita menjadi kelompok yang militan membela pilihan kita bahkan dengan tidak rasional lagi. 

Bukti tidak rasional adalah sampai saat ini masih ada gesekan, kebencian antara pendukung para kontestan di Pilpres kemarin. Ini bak api dalam sekam di kalangan masyarakat akar rumput yang sewaktu-waktu bisa membara menjadi api besar kembali jika ditiup-tiup angin provokasi.

Sementara di kalangan bawah masih seperti itu, di atas, para pemimpin sudah berbaikan, berangkulan, berteman kembali, bersinergi menjalankan roda pemerintahan. Mestinya masyarakat belajar sesuatu dari fenomena sosial politik satu dekade terakhir, agar memiliki pola pikir rasional yang baik untuk mengimbangi rasa emosional yang sering membutakan diri.

Secara kultur, Pak Jokowi ini orang Jawa, Solo pula. Semua orang tahu bahwa Solo memiliki peradaban cukup lama sebagai sebuah kerajaan bernama Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang bersama dengan kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meneruskan Kerajaan Mataram Islam yang dipecah menjadi dua akibat adanya perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 (kompas.com). Artinya bahwa Pak Jokowi ini memahami banyak filosofi Jawa yang dipelajari melalui budaya, ulama, karya sastra, kisah-kisah lisan turun-temurun di masyarakat yang berisi nilai-nilai filosofi yang diyakini dan dipraktekkan, termasuk dalam menjalankan roda pemerintahan.

Mengamati sepak terjang Pak Jokowi memimpin Kabinet Indonesia Maju dari awal pembentukan tanggal 23 Oktober 2019 sampai dengan terjadi reshuffle pada hari Selasa tanggal 22 Desember 2020, rasanya tidak salah jika saya mengatakan bahwa Pak Jokowi sedang menjalankan prinsip perang "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" yang artinya menyerang tanpa membawa bala pasukan atau masa dan memenangkan peperangan tanpa merendahkan lawan. Sebuah prinsip yang tidak dipakai sama sekali oleh kelompok gangster yang gemar mengumpulkan orang untuk demo besar-besaran, menggelar kekuatan masa untuk memberikan tekanan, intimidasi, dan pada akhirnya bertujuan meraih kemenangan.

Bagaimana prinsip "nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" yang dilakukan oleh Jokowi? Jika anda ingat apa yang dilakukan Jokowi saat terjadi masalah di masyarakat berkaitan dengan program kerja pemerintah, mulai dari semenjak di Kota Solo pada tahun 2012. 

Saat itu sebagai Walikota hendak menata kawasan elit Banjarsari dengan merelokasi ribuan Pedagang Kaki Lima. Bukan dengan cara menggusur namun dengan cara merangkul. Para PKL di undang untuk makan siang bersama, sambil ngobrol rencana dan program pemerintah kota, dan para PKL pun bisa curhat secara bebas dengan Walikotanya. Ini adalah bentuk nguwongke alias memanusiakan orang lain yang secara status sosial berada dibawah. 

sumber:voaindonesia.com
sumber:voaindonesia.com

Sampai ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI, dengan berbagai permasalahan yang ruwet, kebiasaan ini masih dibawa untuk menyelesaikannya. Demikian pula saat terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2014, Jokowi menyempatkan mengundang puluhan pedangan burung untuk mendapatkan masukan dalam upaya memajukan pasar tradisional. Fenomena ketika Jokowi dan Prabowo bersaing dalam Pilpres 2014 dan 2019 adalah pembelajaran yang menarik bagi orang-orang yang haus pembelajaran tentang kepemimpinan. 

Ketika pada akhirnya Jokowi menang dalam dua periode, kita disuguhi lagi adegan makan siang, dan kali ini oleh kedua tokoh bangsa ini. Dan selanjutnya kita semua tahu bahwa Prabowo masuk menjadi bagian dari Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Pertahanan. (republika.co.id, setkab.go.id, kompas.com)

Inilah prinsip "perang" Jokowi dalam menghadapi rival-rival politiknya. Bukan langsung gebuk dengan kekerasan, bukan dengan acaman dan intimidasi, tetapi dengan pendekatan manusiawi. Menyadari selayaknya manusia sepertinya Jokowi yakin bahwa selama ada kesempatan untuk bertemu dan berkomunikasi maka peperangan ide dan peperangan idealisme yang membawa perbedaan prinsip bisa dipertemukan untuk mendapatkan penyelesaian. 

Ini memang gaya perang para "wong pinter" jaman dulu, sebelum terjadi adu kesaktian secara fisik, mereka akan adu ilmu, ilmu tentang filsafat kehidupan. Dan hukumnya adalah, siapa yang kalah akan berguru kepada yang menang alias menjadi murid.

Pada posisi sebagai pemegang kekuasaan maka tindakan Jokowi untuk turun dari tahta dan berinisiatif menemui lawannya tentu mendapatkan pujian karena mencirikan kepemimpinan yang transformatif, bukan otoriter. Dengan mengkomunikasikan ide-ide ke depan, serta menyadari bahwa ia bukan orang yang sempurna, sehingga membutuhkan orang lain yang memang diakui memiliki kompetensi, maka terbukalah jalan untuk membangun sinergi. 

Alih-alih mengungkit-ungkit kesalahan dan kekurangan rivalnya di masa lalu, Jokowi memilih memberikan kesempatan untuk mencoba hal yang baru sebagai program kerja yang selaras dengan visinya selaku Presiden. Inilah prinsip "menang tanpa ngasorake", memenangkan peperangan idealisme tanpa harus mempermalukan lawan di hadapan publik. 

Mantan lawan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membuktikan kinerjanya sehingga publik tahu bahwa kawan ini memiliki kapasitas yang bagus, dan bisa berkontribusi pada perkembangan negeri dengan cara bersinergi di bawah pemimpin yang visioner.

Salam..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun