Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Parodi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Negara Kita Lemah?

28 Desember 2020   16:47 Diperbarui: 28 Desember 2020   16:52 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaannya apakah pemikiran sebagai negara serumpun yang semestinya rukun, saling menjaga, saling menghormati, saling membantu dan sebagainya ada dalam benak publik Malaysia juga pada saat ini? Jangan-jangan pada generasi kini, tidak ada lagi pikiran itu di benak masyarakat Malaysia, dan sebaliknya itu masih melekat di benak masyarakat Indonesia sebagai propaganda warisan generasi baby boomer yang lahir tahun 1944-1964. 

Kalau ini memang terjadi demikian, kita sudah terbelenggu dengan pikiran sendiri. Sehingga tidak mampu untuk bersikap tegas, karena buaian diksi "negara serumpun" dipermanis dengan sama-sama pemeluk agama islam yang mayoritas, sama-sama suku melayu, harus sabar, semua bisa dibicarakan, dan sebagainya.

Serumpun iya, berusaha menjadi tetangga yang baik iya, tetapi harga diri bangsa, prinsip dan nilai keindonesiaan adalah nomor satu. Tidak bisa ditawar menjadi barang murahan, apalagi bahan ejekan.

Sengketa Sipadan dan Ligitan. Bawah Sadar Mengatakan Pernah Menang dan Bisa Menang Lagi.

Sengketa Sipadan & Ligitan terjadi sejak 1967 sampai 2002, selama 35 tahun. Artinya ini terjadi sejak rezim Soeharto memegang kendali atas pemerintahan Indonesia dengan diksi "negara serumpun", sampai kepada pemerintahan Megawati yang mewarisi carut-marut kondisi negara dari pemerintahan sebelumnya. 

Kita melihat bahwa pemerintah Malaysia memiliki tekat yang sangat kuat untuk menguasai pulau Sipadan dan Ligitan, karena sangat strategis dan menguntungkan. Dengan demikian ketika sengketa ini dibawa ke ranah Mahkamah Internasional maka mereka berjuang dengan penuh konsentrasi diplomasi untuk memenangkan sengketa di MI (Sumber)

Pemerintah Malaysia diisi oleh generasi yang paham betul pasang-surut hubungan INA-Malaysia. Jangan dilupakan bahwa pada tahun 1962-1966 Indonesia dan Malaysia terlibat perang yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno, dikenal dengan Konfrontasi Ganyang Malaysia. Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya Gerakan 30 September. 

Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Sukarno (yang tidak lagi memegang kendali pemerintahan secara efektif), Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi hubungan antara kedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian. (Sumber)

Secara moril logika saya mengatakan bahwa pemerintah Malaysia "merasa menang", dan tidak mungkin hal ini tidak menjadi pemahaman bersama dikalangan rakyatnya, dan generasi-generasi selanjutnya. Mereka belajar bahwa konflik internal dalam negeri Indonesia, kalau boleh saya katakan jatuhnya rezim Soekarno berganti ke Rezim Soeharto ditambah keterpurukan ekonomi karena "perang internal" itu membuat Negara Indonesia menjadi lemah.

Pada masa 1967 bermulanya sengketa Sipadan dan Ligitan, tentu saja pemerintah Malaysia berisi orang-orang yang dulunya sebagai pengambil keputusan pada masa konfrontasi perang dengan Indonesia. Bawah sadar mereka tentu sangat kuat memori tentang "merasa menang" dalam penyelesaian konfrontasi tersebut. 

Tiga puluh lima tahun berlangsung perjuangan pemerintah Malaysia untuk memenangkan sengketa Sipadan dan Ligitan oleh generasi pemerintahan yang berbeda namun dengan semangat bawah sadar yang sama yaitu "merasa menang sehingga bisa menang lagi". Dan hasilnya adalah berbuah manis, pada sidang di Mahkamah Internasional hari Selasa 17 Desember 2002, memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun